21 Desember 2010

» Home » Suara Merdeka » Merdeka dari Penjajahan Korupsi

Merdeka dari Penjajahan Korupsi

BENTENG pertahanan terakhir itu pun ambruk sudah. Dugaan suap, korupsi, dan pemerasan telah meluluhlantakkannya. Siapakah kini yang masih bisa diharapkan menegakkan kebenaran, keadilan, dan membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan korupsi?

Ya, selama ini Mahkamah Konstitusi (MK) dipersepsikan publik sebagai lembaga negara yang masih relatif bersih di antara lembaga-lembaga negara lainnya yang sudah terkontaminasi korupsi. MK dianggap sebagai benteng pertahanan terakhir yang diharapkan mampu melahirkan kebenaran dan keadilan, serta menjadi contoh sebagai lembaga negara yang bersih dari korupsi. Tetapi ketika dugaan suap, korupsi, dan pemerasan menghantam MK, seketika itu pula citra lembaga ini langsung runtuh di mata publik. Tak ada asap jika tak ada api.

Adalah Refly Harun yang kali pertama mengendus dugaan suap, korupsi, dan pemerasan di lembaga itu sehingga dia pun menuliskannya di media massa. Kini, apa yang diendus Refly ternyata nyaris menemukan kebenarannya: panitera pengganti di MK, Mahfud, diduga menerima suap dari pihak yang berperkara, Dirwan Mahmud, calon bupati Bengkulu Selatan. Lalu, dua hakim konstitusi, Akil Mochtar dan Arsyad Sanusi, diduga melanggar kode etik.

Akil diduga memeras Bupati Simalungun, Sumatra Utara JR Saragih sebesar Rp1 miliar, sedangkan Arsyad keluarganya berhubungan dengan pihak yang berperkara. Arsyad kemudian mengundurkan diri sebelum dugaan pelanggaran kode etik itu dibuktikan. Sementara Akil? Bersama Ketua MK Mahfud MD, ia justru melaporkan Saragih dan Refly ke KPK.

Selama ini publik menaruh harapan besar pada MK, satu-satunya lembaga negara yang belum terjamah korupsi. Lembaga lainnya, seperti MA, Polri, Kejagung, DPR, KY, BPK, bahkan KPK sekalipun, sudah ternoda.
Tak terkecuali eksekutif. Maka kini pertanyaannya, ketika semua lembaga negara sudah terkontaminasi korupsi, kepada siapa lagi kita berharap?

Hukuman Mati

Kalau pada 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta berani memproklamasikan negara Indonesia merdeka dan bebas dari penjajahan, mengapa kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak berani memproklamasikan Indonesia merdeka dari korupsi? Kalau pada 5 Juli 1959 Bung Karno berani mengeluarkan dekrit untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945, mengapa kini SBY tidak berani melenyapkan korupsi dari Bumi Pertiwi?

Sebelum mengumandangkan proklamasi atau dekrit kemerdekaan Indonesia dari belenggu korupsi, SBY beserta keluarga dan kerabatnya harus memastikan diri tidak terlibat korupsi.

SBY juga harus memastikan semua cabang kekuasaan negara, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah merdeka dari korupsi, bukan merdeka untuk melakukan korupsi. Setelah proklamasi, dekrit, atau apa pun namanya itu, jika masih ada pejabat atau siapa pun berani atau coba-coba korupsi, maka hukuman mati telah menantinya.
Kalau selama ini kebanyakan koruptor dihukum di bawah lima tahun penjara, setelah proklamasi, dekrit, atau apa pun namanya itu, tak ada lagi koruptor yang tidak dihukum mati.

SBY selaku kepala negara dan kepala pemerintahan harus menyatakan Indonesia dalam keadaan darurat korupsi, sehingga aturan baru yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor pun perlu diberlakukan. Kalau perlu dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).

Beranikah SBY melakukannya? Kalau berani, niscaya ia akan dicatat oleh sejarah dengan tinta emas sebagaimana Bung Karno dan Bung Hatta. Kalau Soekarno-Hatta memproklamasikan Indonesia merdeka dari penjajahan, SBY memproklamasikan Indonesia merdeka dari korupsi. Bisakah di hadapan Sidang Istimewa MPR pada 9 September 2011 SBY mengucapkan:

Proklamasi

Kami bangsa Indonesia
Dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia dari korupsi
Hal-hal yang mengenai pemberantasan korupsi dan lain-lain
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 9 September 2010
Atas nama Bangsa Indonesia
SBY-Boediono

Jika bisa dan berani pada 9 September 2011 SBY-Boediono memproklamasikan Indonesia merdeka dari belenggu korupsi maka tanggal itu akan dicatat sejarah sebagai ”Proklamasi Kemerdekaan II”, yakni Indonesia merdeka dari penjajahan korupsi.  (10) 

— Drs H Sumaryoto, anggota DPR Fraksi PDIP dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah X (Kabupaten Batang, Kabupaten/Kota Pekalongan, dan Kabupaten Pemalang)

Wacana Suara Merdeka 22 Desember 2010