21 Desember 2010

» Home » Opini » Republika » Remunerasi Kinerja Polisi

Remunerasi Kinerja Polisi

Standar baru tentang remunerasi personel Polri akhirnya ditetapkan. Dengan standar baru itu, Polri bertekad akan meningkatkan kualitas pelayanan mereka terhadap masyarakat. Dan, bagi para personel yang masih saja membandel dengan tetap melakukan kelakuan-kelakuan koruptif, Polri-sesuai pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri-akan memberikan tindakan tegas.

Mengapa Polri mendapat perlakuan yang sedemikian 'spesial'? Apalagi asumsinya kalau bukan, pertama, bekerja sebagai aparat polisi dan petugas pajak sama artinya dengan bekerja di medan yang penuh dengan cobaan. Ini diperkuat oleh pernyataan Transparency International pada 2007-di banyak negara, kepolisian adalah institusi yang paling sering menjadi tempat berlangsungnya suap menyuap (bribery).

Asumsi kedua, tidak dapat diingkari, untuk profesi seberat personel Polri, penghasilan yang mereka terima pada waktu-waktu sebelumnya memang jauh dari cukup. Ketidakcukupan itu yang mendorong personel Polri untuk memanfaatkan otoritas yang mereka punya sebagai instrumen untuk memperoleh penghasilan sampingan, betapa pun penghasilan itu ilegal sifatnya. Perbaikan standar remunerasi Polri, logikanya, akan memagari para personelnya dari godaan-godaan koruptif semacam itu.

Personel Polri perlu punya taraf kesejahteraan yang lebih baik. Saya sepakat tentang itu. Namun, jika pembenahan remunerasi ditujukan, bahkan diyakini untuk memangkas korupsi di tubuh kepolisian, saya tidak terlalu yakin akan efektivitasnya, betapa pun INTERPOL Group of Experts on Corruption di dalam Global Standards To Combat Corruption in Police Forces/Services (2007) mencantumkan rekomendasi khusus tentang perlunya langkah-langkah praktis untuk menjaga agar remunerasi polisi dapat lebih sesuai dengan standar kehidupan petugas polisi berikut keluarga mereka.

Persoalannya, barangkali ada satu argumentasi yang kerap terlupakan. Begini: logika mengatakan, gaji yang rendah adalah sesuatu yang tidak menarik terlebih bagi pencari kerja dengan keterampilan kerja yang baik. Dari situ dapat dipahami, kantor yang menawarkan nominal gaji yang pas-pasan besar kemungkinan hanya mengundang perhatian para pencari kerja dengan kemampuan kerja yang pas-pasan pula.

Itulah yang sangat mengkhawatirkan. Para pencari kerja sebenarnya sudah tahu berapa besar gaji yang akan mereka terima, andaikan mereka bekerja sebagai, sebutlah, aparat polisi. Akan tetapi, mengapa antrean pelamar di kantor polisi tetap panjang mengular? Alasannya, bisa jadi sangat pragmatis: pokoknya mempunyai pekerjaan, terlepas besar kecilnya potensi mereka (para calon personel Polri) untuk menggeluti pekerjaan itu. Yang lebih berabe adalah ketika para pencari kerja tahu persis 'peluang' yang bisa mereka dapat setelah bekerja sebagai personel polisi. Pengetahuan akan celah memperoleh "penghasilan ekstra" itu sudah menjadi rahasia umum, seperti dikemukakan Transparency International di atas.

Individu dan Organisasi

Korupsi yang telah begitu sistemis di lingkungan kepolisian, seperti disorot oleh banyak kalangan, menjelma sebagai sebuah gaya hidup. Manakala korupsi sudah menjadi gaya hidup, tindakan pemolisian yang memangsa (predatory policing) bukan lagi dilakukan sambil lalu, melainkan sudah menjadi mindset, bahkan watak yang lekat pada diri personel polisi. Korupsi sebagai perwujudan watak atau gaya hidup niscaya tidak akan bisa diatasi hanya lewat nalar simplistis dengan memperbaiki standar remunerasi personel Polri semata.

Lingkungan kerja Polri yang koruptif pada gilirannya tidak lagi sebatas menjadikan tindakan koruptif sebatas sebagai, katakanlah, kenakalan yang bersifat insidental. Korupsi bukan lagi inisiatif-inisiatif individual, melainkan sebuah subkultur yang terprogram lewat mekanisme penyeliaan atau supervisi yang koruptif pula. Personel yang korup diduga kuat bukan hanya diketahui dan ditoleransi, melainkan bahkan didorong oleh pihak atasan.

Alhasil, ada kesenjangan nalar di sini. Untuk menyetop reproduksi perilaku koruptif, perbaikan kesejahteraan sebagai program yang menyasar individu personel Polri tidak akan mencukupi, apabila tidak disertai dengan perombakan terhadap sistem pengaturan relasi antara atasan dan bawahan. Keberadaan sistem tersebut kian penting karena delapan puluh persen dari total personel Polri saat ini berada pada level bintara.

Mereka adalah pihak yang disebut-sebut akan menjadi sasaran utama penerapan standar baru remunerasi Polri. Jumlah yang besar tersebut berkonsekuensi bahwa bagi kebanyakan aparat Polri saat ini, profesionalitas kerja mereka memang sangat bergantung pada format hubungan penyeliaan antara mereka selaku bawahan dan
para atasan mereka.

Quah (1999) memperkuat argumentasi tersebut dengan mengatakan bahwa korupsi oleh personel polisi bukan semata-mata karena rendahnya penghasilan mereka, melainkan juga karena pada saat yang sama personel polisi memersepsikan korupsi sebagai tindakan dengan risiko yang rendah, bahkan justru ber-reward tinggi.

Di samping bertali-temali dengan unsur otoritas, tindakan koruptif oleh personel polisi juga berkaitan dengan tingkat kompetensi kerja yang kurang memadai. Dengan demikian, di samping fokus pada pembenahan standar kesejahteraan, Polri juga seharusnya menaruh keseriusan yang sama pada area penguatan kompetensi kerja para personelnya.

Dinyatakan Transparency International (2009), rendahnya penghasilan karyawan pemerintahan di negara-negara sedang berkembang mengakibatkan menurunnya efisiensi dan produktivitas sektor publik. Penghasilan yang tidak memadai juga menciptakan insentif sekaligus kesempatan bagi berlangsungnya tindak korupsi dan penyalahgunaan wewenang lainnya.

Kendati demikian, menaikkan upah bukan merupakan solusi jitu jika tujuannya adalah untuk menekan ketidakpatutan perilaku (misconduct) semacam korupsi. Menaikkan upah tanpa disertai langkah meningkatkan sistem pengawasan serta penerapan sanksi yang tepat, tidak akan berefek besar bagi menurunnya tindak korupsi.

Di sinilah persoalan muncul. Marx (2007) menyatakan, kepolisian pada umumnya dikenal sebagai organisasi yang kurang memperhatikan secara serius aspek kesehatan organisasi. Hal ini dibuktikan lewat sangat jarangnya organisasi kepolisian melakukan evaluasi (termasuk audit terhadap segala ihwal yang berkaitan dengan sumber daya manusia). Evaluasi lazimnya dipraktikkan lewat pendekatan pemadam kebakaran, yakni diselenggarakan ketika organisasi digemparkan oleh skandal yang mengemuka ke publik.

Opini Republika 22 Desember 2010