05 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Kasta dalam Pemeriksaan Wapres

Kasta dalam Pemeriksaan Wapres

PATUT kita acungi jempol kegigihan KPK dalam membongkar kasus Bank Century. Komisi itu telah menunjukkan taringnya sebagai institusi pemberantas korupsi dengan memeriksa orang nomor dua di Indonesia, yaitu Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Sayangnya ada ketidaklaziman dalam pemeriksaan Boediono dan Sri Mulyani. Keduanya diperiksa di Istana Wakil Presiden (yang kemudian berubah ke Istana Negara) dan kantor Kementerian Keuangan.
Fenomena ini patut mendapat sorotan mengingat pemeriksaan tersangka atau saksi kasus korupsi lazimnya dilakukan di kantor KPK.

Mengacu pada ketentuan hukum, tidak ada larangan bagi institusi KPK untuk meminta keterangan saksi atau pun tersangka di tempat mana pun, selain di kantor KPK. Hanya saja, terlepas dari ketentuan hukum yang ada, tulisan ini akan menganalisis dampak sosial psikologis khususnya bagi para koruptor dari langkah KPK yang tidak lazim itu.

Keganjilan dalam pemeriksaan KPK terhadap Boediono dan Sri Mulyani, mau tidak mau akan melahirkan penilaian miring di mata sebagian masyarakat. Pertama, pemeriksaan itu bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum. Asas ini sangat penting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin rule of law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Keganjilan dalam pemeriksaan KPK terhadap Boediono dan Sri Mulyani menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih mengenal kasta.


Kedua, perlakuan pemeriksaan terhadap Boediono dan Sri Mulyani yang diskriminatif akan melahirkan implikasi buruk bagi penegakan hukum. Secara psikologis, setidaknya, ketidaklaziman KPK ini akan membuat koruptor dari kalangan elite semakin berani, ”percaya diri”, bahkan berusaha ”mengatur” KPK.

Tidak bisa dibayangkan andaikata seluruh terperiksa (saksi, tersangka) meminta KPK untuk memeriksa di tempat masing-masing karena atas dasar permintaan. Jika ini terjadi, hukum di Indonesia akan menjadi arena tawar-menawar dan tak lebih dari sekadar permainan kalangan pemegang kasta tetinggi di republik ini.

Ewuh Pakewuh

Pantas bila lebih dari satu setengah abad yang lalu, John Austin mengatakan lewat bukunya The Province of Jurisprudence Determined (1832), hukum dibentuk oleh kalangan politikus atau pemegang kekuasaan.
Ketiga, perlakukan istimewa KPK kepada Boediono dan Sri Mulyani mengindikasikan bahwa dalam institusi KPK masih tersimpan sikap ewuh-pakewuh.

Tidak mengherankan bila perlakukan istimewa ini memunculkan statemen-statemen ekstrem dari berbagai kalangan, termasuk juga demonstran yang mengutuk sikap KPK.
Sikap ewuh pakewuh KPK dalam penegakan hukum ini mencerminkan moralitas dan integritas aparat penegak hukum. Fakta ini sekaligus menguatkan tesis Norman Johtston dalam bukunya The Sosiologi of Punishement  & Correction (1970), bahwa penegakan hukum mencerminkan budaya dan moral bangsa.

Meminjam istilah Syafi’i Ma’arif, aparat penegak hukum di Indonesia —khususnya pimpinan KPK—harus ”gila”. Maksudnya, penegak hukum harus kuat, tidak takut mati, tidak takut ancaman, dan konsisten dalam penegakan hukum. Selain itu, penegak hukum tidak boleh lemah terhadap perlawanan musuh-musuh hukum, termasuk kebal terhadap godaan materi.

Di samping itu, jalannya reformasi hukum tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya kesadaran kolektif dari seluruh rakyat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Penegak hukum yang kuat, cerdas, dan tegas serta kesadaran kolektif masyarakat untuk mematuhi hukum adalah dua syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan hukum yang adil.

Pada sisi yang lain, untuk mencetak aparat penegak hukum yang tegas, bertindak tanpa pandang bulu, dibutuhkan upaya kaderisasi penegak hukum yang ketat dan selektif. Bangunan hukum yang berkeadilan melalui proyek reformasi hukum harus dimulai dari pembangunan fondasinya, yaitu spiritual capital.
Fondasi ini menekankan pada moralitas religius dalam diri seseorang yang dapat melahirkan profesionalisme, integritas, dan ketegasan tanpa pandang bulu. (10)

— Abdul Waid, peneliti di Recearch Center of Philosopical Studies Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 Wacana Suara Merdeka 6 Mei 2010