05 Mei 2010

» Home » Solo Pos » Membangun tanpa data itu mahal

Membangun tanpa data itu mahal

Yogyakarta (Espos)   Sesuai amanat Undang-undang (UU) No 16/1997 tentang Statistik, penyelenggara Sensus Penduduk adalah Badan Pusat Statistik (BPS). Sensus Penduduk diselenggarakan setiap 10 tahun sekali pada tahun berakhiran angka nol.

Sensus penduduk menjadi basis data untuk merancang, menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembangunan di segala bidang. Data sangat penting bagi pembangunan. Tanpa data pembangunan tidak akan mencapai tujuannya.

Kali ini, BPS menyelenggarakan hajatan statistik nasional berupa Sensus Penduduk 2010 (SP 2010). Secara resmi SP 2010 dimulai serentak pada tanggal 1 Mei sampai dengan tanggal 31 Mei 2010. SP 2010 mencakup 88.361 desa di 6.579 kecamatan yang berlokasi di 497 kabupaten/kota dan di 33 provinsi.

Kegiatan ini akan mencakup 60 juta rumah tangga. SP 2010 memiliki manfaat strategis seperti memperbarui data dasar kependudukan sampai ke wilayah unit administrasi terkecil (desa), mengevaluasi kinerja pencapaian sasaran Millenium Development Goals (MDGs), mengembangkan basis pengembangan statistik wilayah kecil, menyiapkan data dasar untuk keperluan survei-survei selama kurun 2010-2020 dan sekaligus menjadi basis pembangunan registrasi penduduk dan pengembangan sistem adminstrasi kependudukan. Diperkirakan dana yang akan dibelanjakan mencapai Rp 3,3 triliun dengan mengerahkan 700.000 petugas terlatih termasuk pencacah.

Melihat makna strategis yang diemban serta besaran anggaran yang dipergunakan dalam SP2010 ini telah mengundang banyak perhatian dari khalayak (publik) dalam penyelenggaraan SP2010. Publik berharap dalam SP2010, BPS mampu menyediakan data yang validitasnya tidak diragukan lagi (akurat).

Akurasi data demografi adalah sebuah impian sekaligus keharusan bagi Indonesia. Akurasi data ini sebagai pijakan kebijakan pemerintahan sehingga seyogianya BPS harus mampu untuk mencapai akurasi data yang maksimal dalam SP 2010, meski hal itu tidaklah mudah.

Masalah akurasi data dalam sebuah pengumpulan data—baik itu dalam bentuk sensus, survei maupun penelitian lainnya—sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal lebih menekankan pada seseorang yang menjadi pencacah. Darla Moore pernah mengingatkan bahwa sukses atau gagalnya sebuah aktivitas bukan hanya ditentukan oleh angka-angka saja, namun lebih ditentukan oleh kepribadian dan watak dari orang-orang yang menjalankannya.

Data kependudukan

Karena tutuntan target kunjungan wawancara, pencacah sering lepas kontrol. Mereka sering begitu terkesan atas target pencapaian responden dengan kuesioner yang semua terisi, meski kadang konsep yang telah diterapkan bias atau bahkan ada beberapa variabel dalam kuesioner yang tidak ditanyakan sehingga mereka tak bisa lagi melihat diri mereka ke dalam konteks realita.

hPenulis pernah mengalami temuan kasus di atas dalam salah satu proyek penelitian yang dilaksanakan di Bali. Orang Bali yang terlibat dalam proyek penelitian ini memalsukan data sehingga pengumpulan data yang menelan dana Rp 113 juta tersebut harus diulang kembali.

Begitu pula dengan laporan dari seorang kawan yang bertugas di Sulawesi Tenggara, pada bulan Maret 2010. Dalam sebuah proyek penelitian ditemukan manipulasi data di delapan wilayah pencacahan sehingga menyebabkan data yang ada harus dibatalkan. Temuan ini diketahui saat ada kunjungan ulang ke panel rumah tangga yang menjadi responden.

Dari kunjungan itu ditemukan fakta ternyata nama anggota rumah tangga yang ada hanya kepala rumah tangga saja. Sedangkan mulai nama pasangan kepala rumah tangga maupun nama anggota rumah tangga lainnnya fiktif. Ketidakakuratan biasanya disebabkan kecerobohan, kemalasan, penipuan atau ketidapedulian pencacah dalam menanyakan semua item yang ada dalam kuesioner. Sedangkan faktor eksternal lebih menyoroti kepada perilaku responden. Situasi sosial yang ada pada rumah tangga yang menjadi responden bisa menentukan benar tidaknya jawaban responden yang diwawancarainya.

Frank Bernieri, seorang psikolog dari Oregon State University, mengatakan, nyaman atau tidak nyamannya perasaan pada tingkat tertentu adalah masalah fisik. Seseorang perlu waktu yang tepat untuk mengoordinasikan gerak-geriknya untuk merasa nyaman. Sinkronisasi mencerminkan seberapa dalam keterlibatan pencacah dengan responden. Apabila pencacah sangat terlibat maka suasana hati pencacah akan mulai menyatu, entah positif entah negatif.

Bagaimana kualitas hubungan pencacah dengan responden amat tergantung dari sejauh mana pencacah mampu menyinkronisasikan emosi pencacah ketika berhadapan dengan rumah tangga yang menjadi responden. Di sinilah tingkat kredibilitas data yang disampaikan penduduk dalam sensus penduduk sangat bergantung pada kepercayaan penduduk pada kegiatan SP 2010. Semboyan yang diusung dalam SP 2010, “Kebenaran Jawaban Anda Membantu Keberhasilan Pembangunan Bangsa” bisa terwujud jika responden dan pencacah terhubung dalam suasana yang harmonis.

Data yang menyangkut penduduk dengan berbagai karakteristiknya merupakan salah satu data pokok yang amat diperlukan untuk perencanaan pembangunan di segala bidang. Penentuan kebijakan kebutuhan akan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keluarga berencana dan lain-lain sangat tergantung ketersediaan data kependudukan yang baik dan valid.

Perencanaan pembangunan nasional membutuhkan data-data kependudukan dan perumahan yang lengkap dan terkini. Sensus penduduk adalah salah satu sumber utama data dasar yang dimaksud. Untuk mewujudkan data kependudukan yang akurat dan kredibel tidak bisa lepas dari tata kelola data yang diterapkan oleh BPS di lapangan.

Supervisi dan verifikasi di lapangan perlu dilakukan oleh BPS secara berkesinambungan. Kontinuitas pengawasan dan verifikasi dalam dunia penelitian sedikit banyak akan mengurangi bentuk penyimpangan ketika pengumpulan data berlangsung. Data itu mahal tapi lebih mahal membangun tanpa data! - Oleh : Budiarto Eko Kusumo


Opini Solo Pos 6 Mei 2010