05 Mei 2010

» Home » Kompas » Menonton Negara

Menonton Negara

Pada Mei 2010 reformasi di Indonesia genap 12 tahun. Selama tiga dasawarsa rezim Orde Baru, rubrik ”Opini” Kompas tak kenal lelah mengetengahkan distingsi antara ”partisipasi” dan ”mobilisasi” seraya mengingatkan rezim Pak Harto agar memberi tempat pada ”partisipasi”.
Pada masa itu banyak program bernuansa ”mobilisasi”, mulai dari ”Keluarga Berencana”, ”Kelompencapir” (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pemirsa), hingga ”Penataran P-4”, hanya tiga di antaranya. Bahkan pemilu, yang sering dianggap sebagai batu sendi demokrasi, oleh Orde Baru telah dijadikan ritual mobilisasi lima tahunan.
Dengan latar historis seperti itu, konsekuensi logis dari era reformasi mestinya adalah pasang naik dari prakarsa dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara. Akan tetapi, kenyataan empiris berbicara lain. Di satu pihak, rakyat sederhana menyayangkan pudarnya atau malah absennya negara dari program ”mobilisasi” yang ”menyejahterakan rakyat kecil”. Di lain pihak, partisipasi rakyat kebanyakan semakin menampilkan sosoknya sebagai ”partisipasi simulakrum”. Bahkan, komisi-komisi independen yang berdiri pada awal reformasi sering dianggap ”nyaris tak terdengar” lagi, atau malah mengalami penggembosan dan kriminalisasi.


Negara pascareformasi belum dialami sebagai hasil musyawarah mufakat dari ”aspirasi rakyat”. Negara belum dialami sebagaimana orang-orang merdeka di Yunani Kuno mengalami ”polis”. Negara belum dialami sebagai—meminjam Kant—himpunan aspirasi dari rakyat yang beraneka atau realm of ends, serta masih jauh dari cita-cita penyelenggaraan negara yang ”adil” terhadap beraneka aspirasi dari rakyat sebagai partisipan yang masing-masing diperlakukan setara (equal).
Partisipasi simulakrum
Partisipasi rakyat, atau aktivitas ”menegara” sebagaimana dikonsepsikan mendiang Driyarkara, pada era reformasi ini lebih dialami sebagai ”menonton negara”. Setidaknya ada tiga sebab. Pertama, ”politik yang termedia- si” (Gary Woodward: 2000), kedua, munculnya keterpaksaan untuk melakukan ”kampanye permanen” (Bruce Gronbeck, 2000) dan ketiga, selebritisasi po- litik. Realitas negara adalah realitas di balik headlines dan breaking news. Ada sekat yang memisahkan individu dan keluarga di satu pihak dan ”negara” di lain pihak. Di ruang keluarga, rakyat bertepuk tangan atau mencaci maki perilaku ”negara” yang diputar di balik layar. Terbentang tirai tak terjembatani. Partisipasi politik rakyat adalah partisipasi ”dari seberang layar kaca”.
Abraham Lincoln pernah berkata, demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Akan tetapi, dalam ”demokrasi televisi”, partisipasi politik rakyat hanya sebatas partisipasi ”penonton”. Rakyat sulit ”menyeberangi tirai kaca” dan menjadi ”pemain”. Peristiwa makam Mbah Priok dan Batam mungkin dua peristiwa mutakhir yang menandakan demokrasi kita menjauh dari yang dipidatokan Lincoln.
Media cetak sudah memasang tirai bernama ”narasi jurnalistik”. Media elektronik, terutama televisi, malah mampu menyajikan narasi real time dan memungkinkan kita merespons secara real time pula. Dalam ”demokrasi televisi”, kita seakan- akan menghadapi politik nyata dan berpartisipasi dalam politik secara lebih nyata. Kita melupakan adanya proses seleksi, adanya kepentingan politik para pemilik modal, dan sebagainya. Politik terasa dekat dan partisipasi terasa nyata, padahal ada tirai kaca yang tidak tertembus.
Para politisi, birokrat, dan penyelenggara negara pada umumnya adalah pemain yang jadi tontonan rakyat. Ada plot, ada protagonis, ada antagonis, ada pemeran utama, ada pemeran pembantu, dan ada figuran. Para komentator dan kritikus juga diundang memeriahkan suasana dan memberikan ”pencerahan” kepada rakyat, dan ini atraksi lain yang terkadang lebih meriah dari panggung utama.
Dalam acara-acara yang diberi label ”interaktif”, penonton juga diundang menelepon, mengirim SMS, atau surat elektronik lewat internet. Timbul kesan partisipasi rakyat betul-betul digugah, padahal partisipasi tersebut tak berpengaruh sedikit pun bagi hidup bernegara. Istilahnya, ”anjing menggonggong kafilah berlalu”.
Ketika partisipasi politik bergerak ke arah ”partisipasi penonton”, kampanye juga akan jadi ”kampanye permanen” karena rakyat tidak hanya ”menonton” televisi menjelang pemilu dan karena ada stasiun televisi yang memfokuskan diri jadi ”televisi berita”. Frekuensi penampilan di media cetak dan lebih-lebih media elektronik dilihat relevan dengan kemungkinan demosi atau promosi seorang politisi, birokrat, atau penyelenggara negara.
Popularitas dan citra diri harus dijaga, bahkan ditingkatkan. Sebaliknya, popularitas dan citra pesaing harus digembosi. Kampanye permanen juga memuat ”kampanye negatif permanen”. Lembaga polling dan survei jadi amat relevan dan angka yang mereka peroleh menjadi layak ditonton. Ini semua membuat ”tontonan” negara semakin seru dan menarik.
Tatkala politisi menjadi selebriti di layar kaca dan tajuk utama, selebriti pun jadi politisi dan penyelenggara negara. Demokrasi seakan-akan sukses mengoyak sekat-sekat antarkelas dan menciptakan kesetaraan. Yang terjadi sebenarnya adalah bercampurnya pemain yang terbiasa lalu lalang di seberang layar kaca. Rakyat ”penonton” tetap di tempatnya semula, di sebelah luar layar kaca. Masuknya selebriti ke dunia politik mengukuhkan dikotomi antara ”mereka” yang bermain ”di dalam layar kaca” dan ”kita” yang menonton ”di luar layar kaca”.
Ilusi terbesar pada era reformasi ini adalah ilusi bahwa kita telah aktif terlibat dalam kehidupan bernegara. Padahal, sebagian besar dari kita hanya terlibat aktif sebagai penonton belaka ketika negara sedang mempertontonkan diri di dalam kotak ajaib yang bernama televisi.
Alois A Nugroho Guru Besar Filsafat di Prodi Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya, Jakarta

Wacana Suara Merdeka 6 Mei 2010