05 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Birokrasi dan Pilkada Boyolali

Birokrasi dan Pilkada Boyolali

HARI Minggu (09/05/10) puncak pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Boyolali periode 2010-2015 bakal digelar. Pemungutan suara dengan jumlah pemilih terdaftar 769.994 orang itu akan serentak dilaksanakan di 1.693 TPS.

Dengan menampilkan empat pasang calon: Al Hisyam-Sugiyarto, Seno Samodro-Agus Purmanto, Daryono-Joko Widodo, dan Jaka Srijanta-Purwasi Ahmad Nur pilkada diperkirakan berlangsung seru.

Tanpa bermaksud mengesampingkan kekuatan pasangan calon lain, persaingan sengit kemungkinan besar terjadi antara pasangan Seno Samodro-Agus Purmanto dan Daryono-Joko Widodo. Selain karena persiapan mereka yang relatif jauh lebih lama dibanding dua pasang calon yang lain, faktor dukungan dari partai juga berkontribusi memberikan pengaruh signifikan.

Secara resmi, pasangan Daryono-Joko Widodo diusung oleh Partai Golkar dan PKS, sedangkan Seno Samodro-Agus Purmanto diajukan oleh PDIP dan PKB. Dukungan dari parpol besar untuk masing-masing pasangan calon itu tidak bisa dianggap remeh, apalagi dukungan bagi mereka selama ini relatif solid.

Daryono (sebelumnya sekda ), Seno Samodro (wakil bupati), dan Agus Purmanto (staf ahli bupati) juga diuntungkan oleh posisi mereka sebagai pejabat birokrasi. Mengapa? Pertama, asumsi popularitas. Calon yang saat ini menduduki jabatan tertentu diasumsikan tingkat keterkenalannya lebih tinggi dibanding bukan pejabat, paling tidak di lingkup internal.


Kedua, elite birokrasi diasumsikan memiliki masa riil, minimal di kalangan pegawai pemerintah. Beranjak dari pemikiran esprit de corps, jajaran birokrasi biasanya memiliki kecenderungan mendukung kolega mereka sebagai bentuk solidaritas.

Bisa dibayangkan, berapa massa yang diperoleh tanpa susah payah berkampanye bila pegawai pemerintah beserta keluarganya sukarela memberikan suara kepada bakal calon dari elite birokrasi?

Ketiga, elite birokrasi apalagi incumbent diasumsikan memiliki jaringan yang sudah mapan. Eksistensi jaringan tim sukses amat penting dalam mencari dukungan pemilih. Elite birokrat dianggap merupakan pemain lama yang menguasai medan pertarungan.

Keempat, elite birokrasi diasumsikan memiliki kesempatan lebih luas untuk mendekatkan diri ke masyarakat melalui jabatannya. Calon dari pejabat publik (khususnya incumbent) lebih terbuka peluang untuk meningkatkan popularitas.

Para pejabat tersebut bisa leluasa meresmikan proyek-proyek pemerintah, menghadiri berbagai acara, memberikan bantuan dari pemerintah kepada masyarakat, dan lain-lain yang semuanya membawa implikasi pencitraan positif ke publik. Kesempatan itu relatif tidak dimiliki oleh bakal calon yang bukan pejabat publik.

Maraknya pengajuan elite birokrat sebagai calon peserta dalam pilkada bukan tidak memiliki dampak negatif. Potensi dampak negatif yang paling tampak adalah terjadinya pengkotak-kotakkan birokrasi.
Mudah Terpecah-belah Birokrasi pemerintahan yang tidak stabil akan lebih mudah terpecah-pecah oleh elite birokratnya yang maju dalam pilkada. Semakin banyak elite birokrat ikut bertarung semakin besar kemungkinan perpecahan birokrasi pemerintahan.

Karena logikanya setiap calon akan membangun kekuatan, termasuk di internal birokrasi. Kalau ini menjadi kenyataan, timbulnya faksi-faksi sangat mungkin terjadi walau bersifat tersembunyi.

Ancaman perpecahan birokrasi tidak hanya sebatas sebelum atau menjelang pilkada, perseteruan antar(elite) birokrasi berpotensi masih berlangsung seusai pilkada. Pengalaman dalam pilkada-pilkada lalu menunjukkan bahwa persoalan klik, relasi perkoncoan atau tim sukses sering mencuat ke permukaan.

Pihak yang mendukung pencalonan (tim sukses) biasa mendapat tempat. Sebaliknya, pihak lawan sering dipinggirkan. Praktik-praktik kroniisme dalam penempatan pejabat tersebut hampir pasti akan mengesampingkan variabel-variabel pengangkatan pejabat yang sifatnya objektif; seperti kompetensi, daftar urut kepangkatan (DUK), dan jejak rekam karier pejabat.

Birokrasi tidak menutup kemungkinan pula akan dipolitisasi. Bentuknya bisa beragam, ada yang berwujud pemanfaatan fasilitas dinas atau anggaran pemerintah untuk kepentingan politis tertentu, atau dalam wujud lain, semisal memanfaatkan aparat birokrasi (pegawai) dalam mencari massa.

Netralitas harus pula dijunjung tinggi oleh penyelenggara (KPUD). Tudingan tidak netral yang dialamatkan kepada KPUD saat penyelenggaraan debat calon bupati/wakil bupati sehingga berujung batalnya acara debat beberapa waktu lalu hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi KPUD.(10)

— Didik G Suharto, dosen FISIP UNS Solo       

Wacana Suara Merdeka 6 Mei 2010