05 Mei 2010

» Home » Kompas » Sri Mulyani Sang Primadona

Sri Mulyani Sang Primadona

Sri Mulyani Indrawati benar-benar sedang jadi primadona. Sejak akhir tahun 2009, namanya jadi langganan kontroversi. Mulai dari skandal Bank Century, makelar pajak yang terjadi di lembaga yang dipimpinnya, perseteruannya dengan Aburizal Bakrie (Ketua Umum DPP Partai Golkar), pemeriksaan KPK yang dilakukan di Kantor Kementerian Keuangan, hingga penolakan terhadap kehadirannya di DPR mewakili pemerintah dalam pembahasan Rancangan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2010.
Belum reda gonjang-ganjing itu, Bank Dunia mengumumkan bahwa Sri Mulyani Indrawati (SMI) mereka pilih untuk memimpin lembaga keuangan dunia itu sebagai direktur pelaksana.

Tanggapan beragam
Sebagian khalayak langsung menanggapi positif pengumuman Bank Dunia tesebut. ”Kebanggaan buat Indonesia bahwa putri Indonesia dipercaya memimpin lembaga keuangan dunia”, demikian argumentasi mereka yang optimistis. Sebagian lagi menilai bahwa penunjukan SMI merupakan pengakuan atas sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membenahi perekonomian Indonesia.
Sebaliknya, tidak sedikit pula yang menanggapi negatif. Beberapa pihak menduga ini merupakan bukti bahwa selama ini sebenarnya SMI adalah kader Bank Dunia yang ”dikaryakan” untuk menata perekonomian Indonesia sesuai dengan rencana dan keinginan Bank Dunia. Kebijakan-kebijakan yang dibuat lebih ditujukan untuk memuaskan Bank Dunia dan para pemodal besar, bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat kecil bangsa Indonesia sendiri. Setelah sukses, SMI mendapat reward promosi jabatan di Bank Dunia.
Sebagian khalayak lagi justru lebih sinis menilai bahwa jabatan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini hanya menjadi muslihat SMI dan kabinet Yudhoyono untuk mengubur kasus Century. KPK akan kesulitan menyidik SMI jika dia sudah berkantor di Washington DC.
Tidak datang tiba-tiba
Keragaman tanggapan tersebut sangat dapat dimaklumi karena di tengah gencarnya perkembangan kasus yang menerpa SMI serta lembaga yang dipimpinnya, SMI justru mendapat kepercayaan yang luar biasa besar dari luar Indonesia. Namun, apakah benar keputusan Bank Dunia ini datang tiba-tiba?
Kedekatan SMI dengan lembaga keuangan internasional sudah dia rintis sejak lama. Oktober 2002, SMI menjabat Executive Director Dana Moneter Internasional (IMF) mewakili 12 negara di Asia Tenggara. Sebelumnya, tahun 2001, SMI hijrah ke Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, menjabat sebagai konsultan di USAid.
Sejak awal menjabat Menteri Keuangan pada tahun 2005, SMI sudah sering dipuji oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Bahkan, pada tahun 2006 SMI mendapat penghargaan sebagai Menteri Keuangan Terbaik se-Asia versi Emerging Market Forum dan ”Minister of Finance of the Year 2006” oleh majalah Euromoney terbitan Swiss. Pada tahun 2008, majalah Forbes menempatkan SMI pada peringkat ke-23 dalam The 100 Most Powerful Women (100 Wanita Paling Berpengaruh).
Tidak heran jika sejak awal SMI masuk kabinet, pihak yang skeptis sudah menilai bahwa kebijakan-kebijakan keuangan RI merupakan ”titipan” kepentingan internasional. Sebagian malah berpendapat bahwa SMI lebih mementingkan pujian dan penghargaan internasional ketimbang membawa manfaat nyata buat kesejahteraan rakyat kecil. Kebijakan-kebijakannya dinilai terlalu elitis, tidak menyentuh kehidupan wong cilik.
Akan tetapi, pihak optimistis tidak salah juga karena selama ini belum pernah ada putra ataupun putri Indonesia yang mendapat kepercayaan memegang jabatan super strategis seperti itu.
Sebagai lembaga keuangan dunia yang sudah sangat mapan, tentunya Bank Dunia tidak akan sembarangan menunjuk seseorang untuk memegang pucuk kepemimpinan lembaganya. Berbagai kriteria teknis, akademis, politis, serta penyaringan kualitas pribadi diterapkan untuk menjaring kandidat dari seluruh dunia. Salah satu tokoh yang pernah menjabat sebagai Presiden Bank Dunia adalah Paul Wolfowitz yang pernah menjadi Dubes AS di Indonesia dan kemudian menjadi salah satu orang kepercayaan George W Bush, Presiden AS ketika itu. Wolfowitz pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan AS sebelum ”dikaryakan” AS untuk menjabat sebagai Presiden Bank Dunia hingga akhirnya mengundurkan diri karena terlibat skandal pada tahun 2007.
Bank Dunia pasti menilai ada sesuatu yang luar biasa pada diri SMI sehingga mengumumkan penunjukan SMI di tengah badai yang bertubi-tubi menerpanya di dalam negeri. Bank Dunia tentu sudah memperhitungkan apa risikonya jika setelah menjabat ternyata KPK meningkatkan status SMI menjadi tersangka dalam skandal Century. Apalagi jika kemudian SMI diwajibkan menghadiri persidangan di Indonesia dan divonis bersalah. Betapa besar aib dan kerugian yang harus ditanggung Bank Dunia. Apakah Bank Dunia mau mengulangi episode Paul Wolfowitz?
Apakah ini merupakan sinyal bahwa Bank Dunia dan kalangan internasional yakin bahwa SMI tidak akan tersentuh lebih jauh dalam kasus Century? Apakah ini merupakan salah satu bentuk intervensi internasional terhadap proses hukum dan politik di Indonesia?
Ujian karakter dan komitmen
Lepas dari pro ataupun kontra, harus diakui bahwa SMI memang seorang profesional keuangan yang berkaliber dunia. Namun, yang menjadi sorotan publik saat ini justru kepada kepentingan mana SMI memberikan komitmennya.
Mengutamakan pengabdian untuk negara dengan melanjutkan program-program penguatan keuangan nasional dan reformasi birokrasi Kementerian Keuangan, atau mengutamakan karier pribadinya sebagai seorang profesional bidang keuangan dengan menerima jabatan di Bank Dunia? Bukan pilihan yang mudah dan tiap pilihan mengandung pengorbanan yang besar pula. Ini merupakan ujian karakter dan komitmen bagi SMI.
Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, situasi ini juga merupakan suatu ujian. Apakah Presiden akan melarang SMI menerima jabatan Bank Dunia untuk lebih mengedepankan kemajuan dalam manajemen keuangan negara atau lebih mengutamakan pujian dan kepentingan kalangan internasional dengan mengizinkan SMI menerima jabatan tersebut?
Sejak pengumuman Bank Dunia, para pemain pasar modal sudah dilanda kekhawatiran. Jika SMI melepaskan jabatannya, apakah penggantinya akan melanjutkan kebijakan-kebijakan yang ramah terhadap pemodal atau justru sebaliknya. Publik juga menunggu apakah program reformasi Kementerian Keuangan yang sempat tersandung kasus Gayus dan mafia pajak akan dapat dituntaskan atau akan kembali seperti dulu.
Apa pun keputusan SMI ataupun Presiden, publik tetap akan terbelah. Sebagian bangga, sebagian lainnya mencibir, bahkan mengecam. Namun, jika SMI memilih menerima jabatan di Bank Dunia, jelas KPK akan tambah pusing karena harus melanjutkan pemeriksaan SMI di kantornya di Washington, bukan di Lapangan Banteng lagi. Kecuali apabila KPK memutuskan untuk menghentikan pemeriksaan terhadap Sri Mulyani Indrawati.
Alvin Lie Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik

Opiini Kompas 6 Mei 2010