05 Mei 2010

» Home » Republika » Asing, Aseng, atau Asong?

Asing, Aseng, atau Asong?

Revisi peraturan terkait Daftar Negatif Investasi (DNI) pada awal tahun ini sempat memicu kontroversi. Selain kepemilikan menara telekomunikasi, posisi asing pada bisnis ritel di Indonesia menjadi bahan perdebatan. Ada pihak yang menginginkan bisnis tersebut membuka pintu yang lebih besar bagi masuknya penanaman modal asing. Tetapi, banyak juga kalangan yang bersikeras agar bisnis toko kelontong (baik yang berskala besar, menengah, maupun kecil) terlarang bagi asing dan dikuasai sepenuhnya oleh kaum pribumi.

Sejatinya, ribut-ribut penanaman modal asing di sektor ritel sudah mengemuka sejak lima hingga satu dekade terakhir. Kebetulan, sasaran tembaknya sangat empuk. Investor asing pemilik ritel modern dengan jaringan yang luas menggusur para peritel dan pasar tradisional, serta pedagang asongan yang dipunyai pengusaha lokal.

Sebenarnya, resistensi asing terjadi hampir di semua ranah usaha. Misalnya, sektor telekomunikasi. Divestasi saham PT Indosat Tbk pada 2002 memantik gugatan berkepanjangan terhadap perusahaan asal Singapura, STT Telemedia, sebagai pembelinya. Lima tahun berselang anak usaha Temasek itu memilih hengkang. Tetapi, Indosat tetap dikuasai asing seiring masuknya Qatar Telecom (Qtel). Bahkan, jumlah saham Indosat yang dimiliki Qtel makin banyak hingga 65 persen. Mereka memperolehnya dengan membeli saham Indosat melalui bursa saham.

Padahal, sebenarnya pemerintah membatasi porsi asing di perusahaan telekomunikasi. Namun, sulit mendeteksi porsi asing di perusahaan yang mencatatkan sahamnya di bursa. Tiap hari, lembar-lembar saham itu bisa berpindah tangan dari satu investor ke investor lain yang berbeda kebangsaannya. Suatu saat, porsi lokal bisa lebih banyak dari asing. Tetapi, di hari lain bisa saja sebaliknya.

Kini, dana atau modal mengalir tanpa pandang bulu, dan menerabas batas-batas suatu negara. Atas nama globalisasi, Anda bisa memiliki saham perusahaan yang tercatat di bursa Hong Kong. Begitu pula sebaliknya, investor Hong Kong bisa mengempit saham perusahaan tambang yang berdomisili di Kalimantan dan melantai di bursa Indonesia.

Fenomena semacam ini dialami PT Hero Supermarket Tbk. Sejak akhir Maret 2010, hampir 100 persen saham perusahaan ritel skala kecil hingga besar ini dikuasai oleh Dairy Farm. Raksasa ritel asal Hong Kong ini membeli saham tersebut dari tangan PT Hero Pusaka Sejati. Sehingga, porsinya bertambah dari 69,73 persen menjadi 94,27 persen saham. Tak ada jaminan pula, komposisi pemegang saham perusahaan pemilik gerai Hero dan Giant ini tidak akan berubah lagi di masa depan.

Porsi saham asing di PT Matahari Putra Prima Tbk juga terus berubah. Pada akhir 2009, Grup Lippo melalui perusahaannya, PT Multipolar Tbk dan PT Star Pacific memiliki 56,78 persen saham Matahari. Sedangkan sebanyak 43,20 persen dipunyai publik, yang merupakan investor lokal dan asing. Namun, pada 22 April 2010, porsinya sudah berubah lagi di mana Multipolar hanya punya 9,68 persen dan Star Pacific memiliki 6,28 persen. Malah, muncul Credit Suisse Singapura sebagai pemegang 36,67 persen saham Matahari. Jadi, sangat sulit memastikan jumlah saham Matahari yang dimiliki para investor asing.

Kondisi serupa terjadi pada PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. Sebanyak 28,52 persen saham pemilik merek dagang Alfamart ini dipegang oleh Argo Volantis Pte Ltd., Singapura. Hal berbeda ditemui pada komposisi saham PT Alfa Retailindo Tbk. Sebanyak 79,89 persen saham perusahaan ritel ini dimiliki PT Carrefour Indonesia. Namun, sulit pula mencap bahwa Alfa Retailindo dikuasai investor asing asal Prancis. Sebab, sejak awal bulan ini, 40 persen saham Carrefour Indonesia dibeli oleh Para Group milik taipan Chairul Tanjung. Persoalan akan semakin 'rumit' jika saham Carrefour Indonesia dicatatkan di bursa saham dan setiap saat bisa berpindah tangan.

Dari berbagai contoh tersebut, kita kini sulit memilah-milah antara perusahaan ritel yang 100 persen masih murni milik pribumi, sudah bercampur-baur dengan investor asing, atau dimiliki sepenuhnya oleh pihak asing. Tak heran bila sempat muncul usulan dan draf aturan yang membolehkan perorangan atau perusahaan asing memiliki maksimal 49 persen saham peritel modern atau toko modern kecil.

Syaratnya, kepemilikan saham itu hanya dapat dilakukan secara tidak langsung melalui pasar modal. Sebelumnya, asing diharamkan memiliki saham peritel modern kecil. Sedangkan peritel modern menengah dan besar dapat dimiliki perusahaan asing, tanpa batasan persentase maksimal kepemilikan.

Akhirnya, kita sampai pada satu titik: masih efektifkah kita meributkan kepemilikan asing, aseng, atau asong di perusahaan ritel? Komisaris Utama Alfa Retailindo sekaligus pemilik Sumber Alfaria, Djoko Susanto, pernah bilang, masuknya asing ke sektor ritel kecil sudah tidak bisa dibendung lagi di tengah arus globalisasi. Karena, perusahaan memerlukan modal besar untuk terus berkembang.

Pada akhirnya penulis berpendapat bahwa hal positif bagi perekonomian Indonesia harus diutamakan. Kebutuhan masyarakat terpenuhi, iklim investasi memadai, serta meningkatnya gairah perekonomian pelaku UMKM merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan. Untuk mewujudkannya sinergi positif asing, aseng, atau asong pasti sangat membantu.

Opini Republika 5 Mei 2010