13 Juli 2010

» Home » Jawa Pos » HKTI dalam Sandra Parpol

HKTI dalam Sandra Parpol

Oleh Selamet Castur

HKTI yang berdiri sejak 1973 sebenarnya merupakan subordinat kekuasaan Orde Baru dan menjadi substruktur kepentingan Golkar dalam mengonsolidasikan kekuatan sosial petani, termasuk untuk kepentingan politik pemilu. Jadi, kalau dilihat dari konteks sejarah yang ada, HKTI bukan merupakan gerakan sosial politik massa yang berlandaskan kesadaran kolektif petani untuk menuntut hak sipil dari sistem sosial demokrasi.

Perjalanan sejarah HKTI memang menjadi fragmentasi politik elite di tengah konstalasi politik demokrasi totaliter, dan menjadi instrumen konsolidasi kekuasaan dalam melakukan proses politik pembangunan. Di saat konsolidasi politik dan pembangunan itulah, petani sebagai struktur elementer sosial yang memiliki sumber potensi politik, dan sekaligus memiliki kekuatan ekonomi dalam negara agraris, akhirnya dikendalikan secara kooptatif dan sistematik melalui kekuasaan politik.

Menifesto Parpol

Momentum sejarah reformasi politik pada 1998 melahirkan berbagai ekspektasi politik publik untuk merestrukturisasi seluruh institusi sosial kembali pada kepentingan elementer sosiokultural. Termasuk HKTI, diharapkan mereformulasi gerakannya untuk mengakomodasikan kepentingan petani secara proporsional. Tetapi, di tengah transisi politik yang ada, HKTI belum maksimal melakukan perubahan orientasi organisasi. Karena dalam transisi tersebut, HKTI yang saat itu dipimpin Siswono Yudohusodo, masih menjadi bagian dari kekuatan Golkar.

Begitu juga di saat Munas HKTI 2005, ketika Prabowo Subianto terpilih menjadi ketua umum, yang diharapkan bisa membawa HKTI dalam proses transisi, tapi akhirnya juga gagal. Ini disebabkan Prabowo juga menjadi bagian dari Golkar. Sehingga, dia tidak lepas dari vested interest politik tersebut. Selanjutnya, menjelang Pemilu 2009, Prabowo mendirikan Partai Gerindra, yang secara tidak langsung juga membawa kepentingan parpol dalam HKTI. Apalagi, ketika Prabowo terlibat dalam pencalonan wakil presiden.

Dengan demikian, harapan publik dan petani untuk memiliki organisasi sosial dan profesi yang memadai dalam melakukan konsolidasi selalu dihadapkan pada persoalan kekuatan dan kekuasaan parpol.

Quo Vadis

Struktural HKTI yang diharapkan mampu menjadi bagian integral dari sosial petani, ternyata belum optimal melakukan koordinasi dan konsolidasi terhadap kepentingan petani. Bahkan, persoalan nasional maupun domestik yang menyangkut petani, tidak dimanifestasikan secara sistemik melalui kerja struktural.

Akibatnya, banyak sengketa pertanahan yang melibatkan sosial petani dengan PTPN, pengusaha, dan pemerintah, yang terjadi di berbagai daerah, belum banyak melibatkan kekuatan HKTI. Masalah regulasi sektor pertanian, baik distribusi pupuk, subsidi, insentif, intensifikasi produksi, dan pemberdayaan ekonomi petani, juga belum dirumuskan secara proporsional oleh HKTI. Seakan kekuatan struktural ini kehilangan momentum strategis dalam menfasilitasi berbagai persoalan petani.

Begitu juga masalah struktur internal, ternyata belum memberikan apresiasi mendasar dari kebutuhan petani di tengah transformasi liberalisasi pembangunan. Pusaran kekuatan struktur HKTI masih menjadi represi kepentingan politik dan kekuasaan elite yang cenderung pragmatis, sehingga mengabaikan persoalan petani itu sendiri.

Di tengah perhelatan Munas HKTI 2010 ini, tampilnya berbagai konfigurasi figur politik nasional yang akan maju menjadi calon ketua umum HKTI 2010-2015, kelihatannya belum memiliki kompetensi membawa perubahan signifikan, baik struktural maupun masalah sosial petani. Hadirnya kembali Prabowo Subianto dan sejumlah nama populis lain, seperti Titiek Soeharto, Ja'far Hafsah, Anton Apriantono, Sutiyoso, dan Oesman Sapta, justru menjustifikasi pandangan bahwa HKTI memang menjadi subsistem kekuasaan parpol.

Seharusnya persoalan utama munas kali ini adalah terjadinya sebuah rekonsolidasi antara kepentingan dasar petani di tengah transisi budaya dan sistem sosial ekonomi, yang selama ini memberikan pengalaman memarginalkan peran petani dalam struktur yang lebih luas. Dengan demikian, dari hasil Munas HKTI, setidaknya lahir keputusan strategis bagi petani dengan seluruh entitas produk yang dimiliki menjadi kekuatan elementer pembangunan.

Secara parsial, hasil munas hendaknya memperkukuh struktur sosial petani, sehingga memiliki legitimasi domain dari proses tersebut. Pada akhirnya, diharapkan struktur HKTI dan sosial petani memiliki koordinasi menjalankan fungsi dan peran strukturalisasi. Karena bagaimanapun, ekspektasi petani terhadap HKTI tetap besar, yang diharapkan mampu menjembatani berbagai persoalan yang dihadapi.

Maka dalam munas ini, bukan persoalan siapa yang menjadi ketua umum HKTI, tapi apa dan bagaimana konstribusi yang dimanifestasikan kepada petani oleh pengurus dari hasil munas tersebut. Kalau pada akhirnya HKTI masih menjadi represi di antara parpol yang ada, dapat dipastikan HKTI tetap menjadi sirkulasi kepentingan politik parpol terhadap struktur sosial petani. Padahal, di tengah persoalan deformasi HKTI ini, kemampuan memperkukuh dasar otonomisasi struktur HKTI menjadi langkah utama untuk merumuskan kembali struktur sosial petani menjadi gerakan kolektif.

Mengeluarkan HKTI dari kooptasi dan sandera politik parpol pada munas saat ini kelihatannya sulit. Berbagai persoalan struktural masih dihadapkan pada persepsi kemampuan mobilitas dan kapasitas ekonomi personal figur. Karena itu, asumsi ini memiliki legitimasi kembalinya kekuatan pemilik distribusi modal menjadi subordinat kekuasaan mengendalikan HKTI. (*)

*) SELAMAT CASTUR , pengurus DPP-HNSI, ketua Bidang Pemberdayaan Ekonomi Pesisir dan Nelayan
Opini Jawa Pos 14 Juli 2010