28 September 2010

» Home » Jawa Pos » Refleksi Hari Hak untuk Tahu, 28 September 2010

Refleksi Hari Hak untuk Tahu, 28 September 2010

Membangun Pilar Good Governance 

Oleh Abdul Rahman Ma'mun

MASIH ingatkah Anda tentang rencana Ketua DPR Marzuki Alie untuk menerapkan penggunaan finger print guna mencatat kehadiran para anggota dewan? Rencana saat ini, entah bagaimana realisasinya itu, dipicu oleh beredarnya daftar ketidakhadiran para anggota dewan dalam rapat-rapat yang menjadi salah satu tugas pokok mereka. 

Soal bagaimana data itu beredar, tentu tak lepas dari praktik keterbukaan informasi publik yang kini dilaksanakan sekretariat jenderal DPR sebagai bagian dari implementasi peraturan DPR tentang keterbukaan informasi publik di lingkungan DPR.


Dalam perkembangan yang sama, bila Anda membuka website pemerintah daerah, misalnya Pemerintah Kota Jogjakarta atau Pemerintah Kabupaten Malang, dengan mudah akan bisa diakses APBD (anggaran belanja pendapatan daerah) -data yang pada masa lalu dianggap ''sakral'' alias rahasia. Atas praktik transparansi dan akuntabilitas itu, tak mengherankan bila Pemkab Malang tahun ini kembali mendapat anugerah Otonomi Award dari Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).

Transparansi atau keterbukaan informasi publik menjadi bagian dari pemenuhan hak atas informasi atau ''hak untuk tahu'' (right to know) yang merupakan hak asasi yang dijamin konstitusi. Yakni, pasal 28 UUD 1945 (UUD '45 hasil amandemen). ''Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.''

Di seluruh dunia, kini sudah 79 negara yang memiliki undang-undang yang menjamin ''hak untuk tahu'' bagi warganya. Sejak disahkannya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) 30 April 2008, Indonesia menjadi negara kelima di Asia -setelah Nepal, Thailand, India, dan Jepang- yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi publik. Karena itu, menjadi relevan bila kita bersama warga dunia lainnya memperingati Right to Know Day (RTK Day). Hari Hak untuk Tahu pada 28 September ini.

***

RTK Day mulai diperingati secara internasional sejak 28 September 2002 di Sofia, Bulgaria, dalam sebuah pertemuan internasional para pembela hak akses atas informasi publik. Mereka mengusulkan dan menyepakati satu hari didedikasikan untuk mempromosikan ke seluruh dunia tentang kebebasan memperoleh informasi. Tujuan Hari Hak untuk Tahu itu adalah untuk memunculkan kesadaran global akan hak individu dalam mengakses informasi pemerintahan dan mempromosikan bahwa akses terhadap informasi adalah hak asasi manusia. 

Dalam konteks Indonesia, pemenuhan ''hak untuk tahu'' dengan membuka akses terhadap informasi publik ini tentu saja menjadi isu yang sangat strategis. Terutama karena reformasi yang digulirkan pada 1998, namun baru 10 tahun UU KIP disahkan. Bahkan, reformasi birokrasi yang menjadi target penting terkait tranparansi justru baru dimulai pada 2009 atau periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

Setidaknya bila itu dilihat dari nama baru yang dilekatkan pada Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara menjadi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Muara pemenuhan hak atas informasi publik itu tentunya adalah transparansi dan partisipasi yang menjadi pilar utama bagi terwujudnya tata pemerintahan yang baik (good governance).

***

Bila sebelumnya hanya wartawan, jurnalis, atau insan pers yang dijamin hak-haknya untuk mencari informasi, sebagaimana yang dipayungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) pasal 4 ayat (3) dan pasal 18 yang menyebutkan, jurnalis mempunyai hak untuk mencari dan menyebarluaskan berita -dan jika hak tersebut dihalang-halangi, pelaku yang menghalangi dapat dikenai ancaman pidana dua tahun atau denda Rp 500 juta-, kini setiap warga negara dijamin hak asasinya untuk mengakses informasi publik. 

UU KIP menjadi landasan operasional untuk penegakan ''hak untuk tahu'' bagi setiap warga yang dijamin konstitusi. Tentu, itu akan berdampak luar biasa ke depan bagi kehidupan kita berbangsa yang lebih baik, sebagaimana sebelumnya UU Pers Nomor 40/1999 yang membuka keran kebebasan pers pascareformasi 1998. 

Hingga lima bulan sejak mulai diberlakukannya UU KIP 1 Mei 2010, informasi publik telah pelan-pelan mulai mudah diperoleh. Begitu pula, akses terhadap informasi publik mulai terbuka. Meskipun di beberapa badan publik (instansi pemerintah dan lembaga nonpemerintah yang menggunakan dana publik) harus melalui sengketa di Komisi Informasi lebih dulu sebelum akhirnya bersedia memberikan atau membuka informasi publik yang diminta. 

Data di Komisi Informasi Pusat (KIP) menunjukkan, jumlah pengaduan sengketa informasi terus meningkat. Di antara puluhan pengaduan sengketa informasi hingga 23 September 2010, tujuh sengketa informasi telah diselesaikan melalui mediasi (enam di Sumenep, Madura, Jawa Timur, dan satu permintaan informasi dana BOS di beberapa SMP serta Dinas Pendidikan DKI Jakarta).

Sementara itu, mengenai permintaan informasi pengelolaan Blok Cepu tentang perjanjian kerja sama antara BUMD Kabupaten Blora Jawa Tengah PT Blora Patragas Hulu (PT BPH) dan informasi tentang rencana proyek/program 2010 dan rician DPA dari Dinas Perhubungan Kabupaten Sumenep, dua sengketa it memasuki proses putusan sidang ajudikasi oleh Komisi Informasi Pusat. Sementara itu, ada 11 sengketa informasi lainnya di Sumenep yang penanganannya diserahkan kepada Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur.

Banyaknya sengketa informasi tersebut, di satu sisi, menunjukkan adanya kesadaran akan ''hak untuk tahu'' di masyarakat. Namun, di sisi lain mengindikasikan kesiapan badan publik untuk memenuhi hak publik atas informasi yang masih kedodoran. Karena itu, momentum International Right to Know Day ini kiranya layak dijadikan penanda pentingnya kontribusi kita pada transparansi informasi publik dalam penyelenggaraan negara yang pada dasarnya juga bermanfaat bagi pencegahan sejak dini kemungkinan terjadinya korupsi. Sebagaimana yang pernah diungkapkan Hakim MA Amerika Serikat yang legendaris Louis Brandeis, ''Sunshine is the best disinfectant'' -sinar matahari adalah pembunuh kuman yang paling ampuh. Wallahu a'lam. (*)

*) Abdul Rahman Ma'mun , komisioner Komisi Informasi Pusat 
Opini Jawa Pos 28 September 2010