22 April 2010

» Home » Media Indonesia » Bukan Masalah Penerjemahan

Bukan Masalah Penerjemahan

DALAM soal bahasa, dunia usaha galibnya tidak begitu ambil perhatian. Namun, dengan UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan sikap demikian seyogianya diubah paling tidak kalau mereka bermitra dengan pihak asing. Sebab UU itu mewajibkan semua dokumen, termasuk kontrak privat dibuat dalam bahasa Indonesia, sekurang-kurangnya dalam dwibahasa (bilingual). Padahal selama ini, atas dasar asas kebebasan berkontrak, berbagai dokumen umumnya dibuat dalam bahasa Inggris.
UU yang keluar tahun lalu itu memang tidak begitu jelas dan karena itu praktisi hukum sangat mengharapkan segera terbit peraturan pelaksanaannya. Dalam hal dwibahasa, misalnya, apabila terjadi perbedaan pengertian antara kedua naskah dokumen itu, naskah mana yang berlaku? Kalau diturutkan alur pikir UU 24/2009, yang dominan tentulah naskah berbahasa Indonesia. Kalau tidak begitu, apa gunanya UU tadi. Persepsi itulah yang umumnya dipahami.
Pengutamaan bahasa Indonesia sebagai amanat rakyat dalam UU 24/2009 memang sudah seharusnya, seperti juga di beberapa negara lain. Jadi apa yang salah apabila bahasa Indonesia disejajarkan dengan bahasa Inggris? Kosakata bahasa kita belum setara jika dibandingkan dengan perbendaharaan kata dalam bahasa Inggris. Artinya tak semua istilah yang biasa dituangkan dalam istilah asing itu punya padanan istilahnya dalam bahasa kita. Tidak mengherankan sebab bahasa ibu itu amatlah sederhana jauh sederhana daripada bahasa-bahasa lain, agaknya dengan bahasa Jawa sekalipun. Ini bukan masalah penerjemahanan. Ini urusan bagaimana memperkaya kosakata kita dengan istilah hukum.



Kurang tantangan
Pengalaman menunjukkan bagaimana rumitnya mencari, misalnya padanan istilah tranche untuk perjanjian pinjaman atau kontrak perminyakan, atau transfer pricing yang berkaitan dengan pengalihan pos beban pada transaksi lain, atau disclaimer, guna membebaskan pihak pembuat pernyataan dari mungkin diklaim lawan bisnis. Ini kata benda, belum lagi kalau berbentuk bukan kata benda seperti rateably. Di samping pedoman pengindonesiaan yang umum diketahui, kecermatan juga harus dijaga. Beberapa waktu lalu istilah 'penemuan' dianggap sebagai padanan invention. Padahal dalam invention ada unsur dari tiada menjadi ada. Dalam UU Paten sekarang, dipakai istilah 'invensi'. Begitu juga pemegang hak kekayaan intelektual (HaKI) memiliki hak 'eksklusif' (exclusive right), bukan hak 'khusus' seperti dalam beberapa UU tentang HaKI sebelumnya. Jelas ada beda antara kedua istilah tersebut.
Pepatah alah bisa karena biasa merupakan panduan yang pokok juga. Keraguan kerap mengganggu ketika tercipta istilah baru, yang mulanya terdengar ganjil. Umpamanya 'keterterapan' untuk applicability, atau 'keterpisahan' buat severability. Itu hanya beberapa contoh. Satu daftar panjang dapat dibuat dengan mudah. Intinya adalah diperlukan kesiapan kita untuk menyiapkan padanan istilah Indonesia yang tepat, bukan keterangan alias penjelasan buat dokumen versi Indonesianya. Jadi sekali lagi bukan masalah translasi. Ada juga berkah UU 24/2009 ini, walaupun dirasakan agak mengganggu asas kebebasan berkontrak. Sebab dengan demikian, kita terpanggil untuk proaktif, demi pengembangan bahasa pertiwi. Maklumlah selama ini bahasa Indonesia jarang dibawa dalam bisnis internasional. Jadi kurang tantangan.

Korban kemajuan
Sudah masanya kita mengemasi bahasa sendiri sekarang dalam kaitan dengan pengembangan istilah hukum untuk kalangan usaha. Karena ini bukan masalah penerjemahan, sepatutnya kalau masyarakat hukum melibatkan pihak otoritas bahasa, dalam hal ini Pusat Bahasa (PB). Kita maklum bahasa memang tak bisa dikomandoi dan, seperti tadi, bahasa pun pada tingkat tertentu, berunsurkan alah bisa karena biasa. Namun, pedoman dari lembaga semacam itu tetap diperlukan. Dulu, karena negara ini hanya punya satu stasiun TV, orang otomatis merasa akrab dengan PB melalui Prof Badudu, Prof Amran Halim, dan Dr Anton Moeliono--dengan moto bahasa Indonesia 'yang baik dan benar'. Sekarang? Acara bahasa TVRI itu kini tenggelam digulung pertumbuhan TV komersial yang pesat. PB bagaikan korban era kemajuan.
Walhasil yang sekarang konkret dibutuhkan bagi pertumbuhan bahasa dan kelancaran dunia usaha adalah adanya himpunan istilah hukum baku bagi dunia usaha. Sudah ada Kamus Hukum Ekonomi susunan Dr Elly Errawaty bersama Prof Badudu, 1996. Namun, kamus itu tentu perlu diperbaharui. Secara konseptual, UU 24/2009 memang membawa aroma patriotik. Namun, ia meninggalkan beberapa PR yang mendesak untuk ditangani: bagaimana memperkaya bahasa sendiri dengan berbagai istilah hukum, yang diperlukan dalam dunia usaha, khususnya investasi.

Oleh Achmad Zen Umar Purba, Dosen FHUI dan Ketua Yayasan ABNR
Opini Media Indonesia 23 April 2010