22 April 2010

» Home » Lampung Post » Menyoal Syarat Moral dalam Pilkada

Menyoal Syarat Moral dalam Pilkada

Fathorrahman Hasbul
Peneliti pada The Indonesian View Yogyakarta
Fenomena seputar pencalonan selebritas--seperti Julia Perez (Jupe) dan Maria Eva atau bahkan tokoh artis yang lain--dalam pentas politik daerah setidaknya telah memunculkan dua asumsi.
Pertama, secara umum mereka menolak terhadap pencalonan artis lantaran mereka dinilai tidak layak duduk dengan alasan sederhana karena kurangnya pengalaman dalam lalu lintas politik. Kedua, cukup memberikan apresiasi dukungan karena dalam segmentasi perpolitikan, semunya bebas mencalonkan diri. Bahkan, bagi kubu ini, Jupe dan Maria Eva merupakan representasi nyata dari gagalnya gaya kepemimpinan para kepala daerah sebelumnya. Sehingga publik membutuhkan figur baru di luar diaspora partai politik.
Terlepas dari dua persepsi tersebut, tampilnya artis dalam konteks pemilihan kepala daerah telah memberikan afirmasi bagi lahirnya konstitusi baru. Hal ini dapat dibuktikan dengan rencana Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memasukkan syarat moral dalam pencalonan kepala daerah. Salah satu redaksi konstitutif yang akan dicanangkan antara lain tidak pernah melakukan zina.
K.H. Lukman Hakim salah satu pengasuh kenamaan dari Pondok Pesantren Bangil Pasaruan pun juga mendukung langkah Mendagri. Bagi Lukman, bagaimanapun pemimpin harus merepresentasikan dirinya sendiri. Kualitas kepemimpinan yang baik tecermin dari gaya kepemimpinan bagi dirinya sendiri (Koran Tempo [19/4]).


Kentara politis
Lagi-lagi penting juga dicatat bahwa pesan luhur agama tidak sepenuhnya dapat dijadikan sebagai kiblat agung dan kerangka acuan mutlak bagi gaya kepemimpinan. Di balik rencana itu, Mendagri sebenarnya telah terjebak pada nada teologis dan cenderung mengabaikan nilai-nilai konstitutif yang inti.
Pertama, rencana itu sangat kentara dengan nilai politis. Selama ini, jamak diketahui, kehadiran artis dalam percaturan pemilihan kepala daerah secara de facto akan memberikan ancaman dan sinyalemen tidak menguntungkan bagi para politisi yang ingin mencalonkan diri.
Kehadiran artis dalam panggung politik lokal akan memberikan warna hitam bagi calon lain. Di samping artis adalah orang yang populer di mata publik, ia juga tokoh yang secara finansial berada di atas angin dibandingkan rival politiknya. Dalam konteks demikian, rencana Mendagri terkesan dilatarbelakangi “desakan” dari mereka yang memiliki kepentingan.
Kedua, secara konstitutif, rencana itu tidak berdasar. Untuk dimasukkan sebagai syarat calon kepala daerah, ritus cacat moral harus merujuk pada undang-undang yang jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak ada yang mencangkup urusan cacat moral. Artinya, rencana meletakkan syarat moral secara konstitusi sama sekali tidak logis, nisbi, dan terkesan dibuat-buat.
Ketiga, cenderung mengabaikan aspek sosiologis. Dalam sebuah peraturan perundang-udangan aspek sosiologis juga penting diletakkan sebagai titik pijak. Dasar agama tidak cukup diletakkan sebagai satu satunya kerangka untuk mengukur nilai baik si calon pemimpin. Pertanyaannya, akankah Mendagri bisa menjamin semua calon kepala daerah tidak pernah melakukan zina? Atau bahkan apakah spiral cacat moral seperti zina juga bisa dilihat dan dibuktikan secara positivistik?
Rencana Mendagri yang hanya meletakkan “tidak berzina” sebagai syarat adalah alasan semu. Sebab, zina adalah persoalan pribadi yang siapa pun--ketika ditanya termasuk yang bukan artis sekalipun--tidak akan pernah mengakui bahwa dirinya pernah melakukan zina.
Pada titik ini, aspek sosiologis penting untuk dihadirkan ke permukaan. August Come pernah mangatakan bahwa dalam pembentukan struktur sosial yang mengikat setidaknya objek dari hukum itu sendiri harus diperhatikan. Dalam kasus rencana pembentukan moral calon, yang harus menjadi dasar adalah spirit kemampuan, loyalitas kepemimpinan si calon itu sendiri, bukan justru konstruksi religiositas yang akan mengerdilkan dan memupus calon-calon tertentu.
Dalam melihat mana calon yang baik dan tidak, sebenarnya tidak cukup dilakukan dengan pemberlakuan “antizina”, tetapi bisa digeneralisasikan dengan rekam jejak si calon. Dengan begitu, publik bisa menilai calon pemimpin yang benar-benar memiliki integritas maupun tidak.
Persoalan “baju politik” antara artis dan bukan artis adalah bagian dari rasisme demokrasi. Syarat moral secara konstitusi diakui atau tidak, telah mengabaikan suara publik tentang karakteristik calon yang sesuai dengan apa yang mereka idamkan.
Biarlah publik yang menentukan mana calon yang layak menjadi pemimpin. Toh, meskipun ia artis, tapi kalau ternyata mampu membuktikan bahwa dirinya bisa, mengapa tidak? Dalam segmentasi kepemimpinan, sangat sulit menentukan dan meraba antara calon yang suci dan tidak suci. Karena bisa jadi sekarang putih, tetapi esok dan seterusnya hitam. n
Opini Lampung Post 23 April 2010