22 April 2010

» Home » Media Indonesia » Kualitas, bukan Kuantitas

Kualitas, bukan Kuantitas

Gerakan emansipasi perempuan sedunia telah bergulir selama lebih dari dua abad. Gemanya berkumandang di Indonesia berkat jasa Kartini sejak lebih dari satu abad yang lalu. Sejauh ini berbagai hukum atas dasar kesepakatan internasional ataupun nasional telah menetapkan persamaan gender. Namun, kenyataan di lapangan membuktikan lain. Beda genetika membuat laki-laki lebih agresif dalam berpikir dan bertindak, sedangkan perempuan lebih banyak menahan diri. Inilah pangkal perbedaan yang membuat persamaan gender tidak selalu seiring dengan persamaan dalam hak asasi sebagai manusia.
Sampai sekarang, kadang-kadang masih dikeluhkan tentang pelecehan fisik ataupun mental oleh laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai bentuk. Sekalipun telah terbantu dengan banyak rambu-rambu hukum formal ataupun aturan keadaban, secara psikologis perempuan masih saja merasa sebagai warga masyarakat kelas dua. Bukan karena kesalahan pihak laki-laki semata. Malahan, mungkin kebanyakan belenggu dipasang sendiri oleh perempuan untuk berbagai alasan. Entah sampai kapan. Beda genetika bersifat alami yang mengalami metamorfosis menjadi naluri.



Membangun peradaban lewat parlemen
Pernyataan bahwa perempuan tidak mungkin menyaingi laki-laki rasanya naif. Asumsi tersebut tentu tidak mempertimbangkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah dua kaum yang berbeda. Mempertandingkan atau mempersaingkannya bukan saja tidak adil, tetapi absurd. Sementara faktanya, untuk membangun peradaban kedua kaum sama-sama dibutuhkan. Harmoni kehidupan di antara keduanya selalu diperlukan.
Untuk itulah forum perwakilan rakyat, yang merefleksikan kehidupan masyarakat, idealnya memiliki perwakilan yang berkekuatan seimbang. Namun, keterwakilan perempuan di parlemen pada waktu ini terbukti belum memadai. Pemilu 2009 hanya menghasilkan 18,04% perempuan di parlemen, atau 101 di antara 489 anggota laki-laki. Toh jumlah itu sudah meningkat dari 11,5% (61 orang) hasil Pemilu 2004; yang juga sudah naik dari 9% (46 orang) hasil Pemilu 1999.
Sejak awal kemerdekaan, jumlah perempuan parlemen tidak pernah sebanding dengan jumlah perempuan di masyarakat; diawali dengan 3,8% (9 orang) dalam DPR Sementara (1950-1955) yang beranggotakan 236 orang. Penurunan keterwakilan perempuan dalam arena politik formal, yang memengaruhi kehidupan bangsa, juga terjadi dalam tiga pemilu menjelang reformasi. Dari 13% pada Pemilu 1987 menjadi 12,5% pada Pemilu 1992; turun lagi menjadi 10,8% pada Pemilu 1997; dan 9% pada pemilu awal reformasi 1999. Penurunan itu berlangsung justru ketika keterwakilan perempuan di 112 dari 190 negara di dunia meningkat. Indonesia tergolong di antara 28 negara yang mengalami penurunan.
Pada Pemilu 1999, hampir seluruh partai politik (75%) menyatakan tidak setuju dengan pemberian kuota bagi keterwakilan perempuan. Hanya sekitar 5% setuju, selebihnya tidak menjawab. Sikap partai-partai politik mengenai kuota perempuan tersebut mencerminkan dominansi patriarkat di bidang politik. Barulah Undang-Undang Pemilu Tahun 2003, di bawah pemerintahan Megawati, menetapkan bahwa sekurang-kurangnya 30% kursi perwakilan rakyat dialokasikan bagi perempuan. Eva Kusuma Sundari dari PDIP mengatakan, untuk indeks perkembangan gender (gender development index), Indonesia menduduki rangking 90 dari 155 negara, agak lebih rendah dari human development index kita.

Belajar dari Skandinavia
Mengingat masih terkendalanya kemajuan perempuan secara serempak karena dominansi patriarkat, selain alasan-alasan pendidikan ataupun primordial, diperlukan sikap realistis dan pragmatis pada perempuan Parlemen RI. Tugas dan kewajibannya, yang ikut menentukan kebijakan nasional untuk pembangunan bangsa, menuntutnya untuk lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas keterwakilan.
Di antara perempuan-perempuan parlemen dunia, yang dianggap termaju adalah perwakilan negara-negara di wilayah Skandinavia, yang memiliki lebih dari 40% keterwakilan perempuan. Sementara dari wilayah-wilayah lain, jumlah rata-rata hanya 10% (negara-negara Arab) sampai 21% (Eropa dan Amerika). Mungkin itu antara lain yang membuat negara-negara Skandinavia lebih peka terhadap masalah-masalah HAM.
Menurut hasil pengamatan atas pengalaman perempuan-perempuan Parlemen Skandinavia, secara pribadi mereka menganggap kebijakan-kebijakan egaliter belum pernah mampu mengubah hubungan antargender. Perempuan Skandinavia tidak atau belum terbebas dari pikiran dikotomis gender dan perbedaan gender, sekalipun mereka sadar bahwa perwakilan politik yang setara merupakan aspek penting untuk terwujudnya demokrasi pada semua lapisan. Namun, menurut mereka yang terpenting untuk diusahakan ialah perempuan di mana pun hendaknya terlibat dalam proses politik, suara mereka didengar, dan masalah-masalah yang menyangkut hierarki gender dibahas secara terbuka. Harapan seperti itulah yang juga digantungkan pada para anggota Kaukus Perempuan Parlemen RI, sekalipun kuantitasnya belum memadai.

Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 23 April 2010