22 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Meluruskan Lagi Kerja Satpol PP

Meluruskan Lagi Kerja Satpol PP

TRAGEDI kemanusiaan  yang terjadi di Koja Tanjung Priok sepanjang Rabu 14 April lalu akibat bentrokan massa versus personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menambah deretan panjang banalisasi kekerasan di tengah masyarakat. Peristiwa yang dipicu sekadar dari keberadaan makam Mbah Priok sesungguhnya telah menunjukkan kegagalan dari upaya membangun relasi yang makin ekuivalen antara aparat pemerintah dan masyarakat.

Dalam kasus tersebut justru masyarakat selalu merasa subordinat di hadapan aparat Satpol PP terkait dengan penertiban umum ataupun penegakan perda. Kondisi demikian diperparah dengan fenomena sebagaimana pandangan Francis Fukuyama yang dikenal dengan low trust society, yakni sebuah masyarakat di mana tingkat kepercayaan dengan sesama  amat rendah sehingga memudahkan muncul perasaan curiga serta ketidakpercayaan.


Masyarakat subaltern yang tumbuh subur di perkotaan selama ini selalu diliputi persepsi  buruk tentang Satpo PP lantaran kehadirannya selalu dianggap memusuhi orang-orang pinggiran yang  mengais rejeki dengan modal semangat dan lapak di pinggir jalan. Puncak ketidakpercayaan telah membawa disharmoni hubungan keduanya yang sering dijadikan tumpuan kemarahan sebagaimana konflik fisik aparat Sapol PP dengan warga di berbagi wilayah.

Secara institusional keberadaan Satpol PP dianggap cukup strategis sebagaimana amanat Pasal 148 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,” Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satpol PP”.

Jelas bahwa kehadirannya dalam rangka menegakkan perda dan menciptakan ketentraman di tengah masyarakat, bukan sebaliknya atas kemauan dan perintah kepala daerah maka kerja kelembagaannya sering dijadikan sebagai ”penyapu” terhadap mereka yang dianggap mengganggu keindahan kota  dan ketertiban masyarakat tanpa mempertimbangkan efek kemanusiaan dan psikologis mereka yang jadi korban.

Persepsi negatif  telah dimulai sejak penyusunan SOTK ataupun pengisian personel oleh user saat  reformasi birokrasi digencarkan, di antaranya, pertama; di lingkungan pemda keberadaan lembaga itu sering dianggap minor dan tidak strategis sehingga terdapat persepsi lembaga tersebut adalah tempat buangan. Kedua; pengisian jajaran personel sangat minim mempertimbangkan kualitas SDM lantaran banyak kepala daerah menempatkan lembaga ini semacam aparat yang cukup mengedepankan kekuatan fisik semata.

Objek SKPD

Ketiga; kegiatan penegakan perda dan penyelenggaaran ketentraman dan ketertiban umum yang pasti dilandasi regulasi dalam praktik maka sesungguhnya objek penegakan adalah SKPD lain dan bukan sekadar menempatkan Satpol PP sebagai tukang eksekusi perda yang bersentuhan dengan masyarakat saja.

Keempat; secara institusional lembaga itu kurang mendapatkan dukungan media, dan sebaliknya kegiatannya sering menjadi ”santapan” media pada detik-detik eksekusi sebuah implementasi perda yang hanya bersentuhan dengan masyarakat kecil sehingga terjadi penyempitan wilayah garapan Sapol PP. Kelima; kesalahan perintah dari kepala daerah terkait tupoksi Sapol PP ketika menempatkan lembaga ini dalam posisi dilematis  saat harus dihadapkan dengan masyarakat kecil lantaran penegakan perda ketentraman dan ketertiban umum.

Upaya yang segera dilakukan pemerintah guna mengembalikan citra melalui posisi yang lebih kondusif bagi kerja kelembagaan Sapol PP barangkali adalah: pertama;  kepala daerah sebagai user utama perlu menempatkan aparat itu yang lebih memenuhi standar kerja sebagai jajaran penegak perda. Terutama terkait dengan penempatan SDM yang dapat menjalankan penegakan secara cerdas, visioner, dan mengedepankan pendekatan intelektualitas dan kemanusiaan.

Kedua; jangan pernah lagi menempatkan Satpol PP sebagai tempat buangan bagi karier birokrasi yang menjadi dambaan setiap PNS. Ketiga; Satpol PP membutuhkan dukungan good will kepala daerah untuk mampu menegakkan perda yang menjadi tanggung jawab SKPD lain, sehingga dapat menegakkan wibawa pemerintah secara internal yang dapat berdampak positif di hadapan masyarakat.

Keempat; perlunya pendidikan manajemen konflik bagi aparat Satpol PP sebagai penegak perda yang bersentuhan dengan masyarakat, guna lebih mengedepankan pendekatan dialogis dan kemanusiaan saat menjalankan tugasnya. Keahlian negosiasi, komunikasi personal, dan pemahaman terhadap suatu aturan merupakan ujung tombak bagi keberhasilan menegakkan perda yang isinya bersentuhan dengan kepentingan masyarakat kecil.

Kelima; kepala daerah sebagai user  jangan gegabah memerintah institusi itu untuk menjalankan tupoksi yang bukan menjadi bagian kerjanya. Kecuali pihak terkait dengan implementasi perda tertentu sudah menjalankan tanggung jawabnya lalu berkoordinasi dengan Satpol PP atas perintah kepala daerah. (10)

— Muchamad Yuliyanto, staf pengajar FISIP Undip, pengamat dinamika sosial dan demokrasi lokal


Wacana Suara Merdeka 23 April 2010