Oleh TOTO SUHARYA
Mahkamah konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (”PR”/20/4). Salah satu alasan MK menolak para pemohon uji materi, karena pencabutan justru akan menimbulkan tindakan anarkistis yang lebih berbahaya pada tataran masyarakat. Demikianlah berita gembira yang cukup menenangkan kondisi masyarakat yang sering bergejolak.
Pada pengajuan uji materi, para pemohon mempermasalahkan keberadaan beberapa pasal dalam UU No. 1/1965. Pasal tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip UUD 1945. Prinsip tersebut, yaitu setiap orang memiliki kebebasan untuk memiliki kepercayaan sesuai hati nuraninya dan terbebas dari perlakuan diskriminatif. Jadi, berdasarkan alasan yang prinsip ini, setiap orang memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya tanpa harus mendapat intimidasi, karena keyakinannya berbeda dengan agama mayoritas yang dianut masyarakat.
Para pemohon menyalahkan pemberlakuan UU No. 1/ 1965 karena mendorong terjadinya tindakan-tindakan main hakim sendiri kepada orang-orang, yang dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran agama mayoritas. Padahal, menurut pendapat mereka dalam meyakini kebenaran agama setiap orang tidak akan lepas dari penafsiran. Oleh karena itu, tidak ada hak seseorang atau kelompok untuk menghakimi orang atau kelompok lain, karena berbeda penafsiran setiap orang punya hak dan kebebasan untuk berserikat, berkumpul menafsirkan kebenaran, dan meyakininya. Atas dasar alasan-alasan inilah UU No. 1/1965 diajukan ke MK untuk dicabut. Hasilnya MK menolak segala uji materi yang diajukan pemohon.
Penolakan MK terhadap uji materiil yang diajukan pemohon dinilai keputusan cerdas. Pihak MK berpendapat secara substansi UU No. 1/1965 tidak bermasalah. Pasal-pasal yang dinilai diskriminatif dan melarang orang untuk berserikat atau berkumpul tidak berarti demikian. Penafsiran-penafsiran terhadap ajaran agama yang dianggap menodai agama sudah ada di masyarakat, layak mendapat sanksi sesuai dengan pasal yang berlaku dalam UU No. 1/1965. Selain itu, MK sangat memperhitungkan dampak-dampak sosiologis yang akan timbul, jika UU No. 1/1965 dicabut. Inilah keputusan cerdasnya, pihak MK mampu memprediksi dampak lebih besar yang ditimbulkan. Jika UU No. 1/1965 dicabut, gejolak-gejolak sosial di masyarakat akan segera meluas dan berpotensi ke arah tindakan-tindakan anarkistis. Sebagaimana kita buktikan, sentimen agama sangat cepat memengaruhi kondisi emosional masyarakat.
Selain alasan sosiologis, ada alasan rasional yang bisa memperkuat keputusan cerdas MK. Dalam Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999, dijelaskan selain hak-hak warga negara yang dijamin undang-undang, terdapat juga kewajiban dasar manusia (warga negara). Pada pasal 67 dikatakan, setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia. Jika dicermati, pada pasal ini UU HAM mengakui bahwa dalam kelompok masyarakat kita ada UU tidak tertulis yang wajib dihormati setiap anggota masyarakat. Hukum tidak tertulis di sini adalah nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dan disepakati bersama oleh masyarakat. Mazhab-mazhab yang dianut dalam beragama dan diakui pada suatu masyarakat adalah contoh hukum tidak tertulis yang wajib dihormati.
Mazhab-mazhab yang ada dalam ajaran agama, ibaratnya satu merek dagang yang sudah dimiliki oleh suatu produk. Merek dagang yang sudah dimiliki seseorang tidak mungkin lagi digunakan oleh orang lain. Demikian juga agama-agama yang sudah berkembang di masyarakat berikut mazhab-mazhabnya, dapat diibaratkan ”merek dagang” yang sudah dimiliki sekelompok masyarakat. Sementara masyarakat yang sudah memiliki ”merek” dalam keyakinan agama, berhak untuk mempertahankan keaslian ajarannya, agar tidak dicuri atau dipalsukan oleh masyarakat yang lain. Demikianlah UU No. 1/1965 bermaksud menghormati ajaran agama yang sudah dianut masyarakat, agar tidak terjadi gejolak-gejolak di masyarakat dan dapat mengganggu keamanan serta ketertiban umum.
Akhirnya, perlu dipahami oleh semua pihak bahwa menurut UU HAM No. 39 Tahun 1999 pasal 70, dalam melaksanakan haknya setiap warga negara wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan UU, dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Sekali lagi inilah kecerdasan MK dalam mengambil keputusan, karena MK mampu mempertimbangkan hal-hal sosiologis, hukum tidak tertulis, demi terciptanya keadilan, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Mudah-mudahan MK bisa terus menghasilkan keputusan-keputusan cerdasnya yaitu keputusan-keputusan yang sangat memperhatikan keadilan dan keamanan masyarakat, demi terciptanya ketertiban umum sebagai mana tujuan dibuatnya undang-undang. Jangan sampai keputusan hukum menjadi kontra produktif dengan tujuan dibuatnya hukum itu sendiri. Melalui keputusan-keputusan seperti inilah, mudah-mudahan Indonesia bisa lebih cepat menjadi bangsa sejahtera. Wallahu `alam.***
Penulis, staf pengajar di Universitas Widyatama Bandung, Ketua AGP PGRI Jawa Barat.
OPini Pikiran Rakyat 23 April 2010