07 Maret 2010

» Home » Jawa Pos » Menunggu Obama di Jakarta

Menunggu Obama di Jakarta

RENCANA kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama kini menjadi pembicaraan utama di tanah air, seusai hiruk pikuk Pansus Bank Century. Yang menjadi pertanyaan adalah, selain ingin bernostalgia sambil makan bakso dan nasi goreng bersama keluarga di Indonesia dan kawan-kawan lama di SDN 01 Menteng, apakah Obama akan berpidato di depan publik di Jakarta?

Obama berharap bisa berpidato di depan publik Jakarta saat berkunjung ke Indonesia pada 21-23 Maret 2010, seperti pidato bersejarah Obama di Berlin, Jerman (Juli 2008) atau di Kairo, Mesir (Juni 2009). Keinginan Obama itu disampaikan Wakil Duta Besar AS Ted Osius saat bertemu Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman di Jakarta (17/2/10). Lapangan Monas dan Stadion Gelora Bung Karno diperkirakan menjadi tempat Obama menyampaikan pidato di depan massa dalam jumlah besar.

Obama berpidato di Jakarta atau tidak, yang jelas kedatangannya menunjukkan bahwa dirinya dan Indonesia tak bisa dipisahkan begitu saja. Kunjungan Obama akan menjadi sebuah babak baru hubungan Indonesia dan Amerika Serikat. Kunjungan tersebut, yang akan tercatat sebagai kunjungan terlama seorang presiden AS di Indonesia, merupakan pengakuan penting terhadap keberadaan Indonesia bagi AS.

Kedekatan emosional antara Obama dan Indonesia seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hubungan kerja sama Indonesia-AS. Menurut Conway Henderson dalam buku International Relations: Conflict and Cooperation in The Turn of 21th Century (1998), ada urgensi peran individu dalam hubungan antarbangsa. Sebagai pribadi Obama menjadi sosok penting karena perannya sebagai public actor yang mewakili dan memimpin  negara superpower  di satu sisi serta sebagai private actor yang merefleksikan simbol moral (moral cause).

Kekaguman sebagian masyarakat Indonesia kepada sosok Obama memang hal yang wajar, terutama melihat masa kecilnya di Jakarta dan kepiawaiannya berpidato. Setiap kalimat yang muncul dari mulut Obama selalu padat dan bernas. Pilihan katanya sangat tepat mewakili perasaan publik yang hadir dalam rapat-rapat akbar. Kecerdasan Obama terpantul dari pidato-pidatonya yang lancar tanpa pengulangan walaupun tanpa teks. Intonasi dan nada suaranya lembut dan merangkul. Perspektif Obama dalam memandang persoalan begitu bijak, menenangkan, namun jelas dan tegas apa yang diinginkannya.

Dan, yang paling penting, paradigma yang dia bawa merupakan solusi dari persoalan negaranya dan dunia yang sedang sakit. Karena itu, dia mengusung slogan Change atau perubahan. Bukan sekadar mengubah kebijakan, tapi mengubah paradigma. Apakah hal itu semua dapat langsung didengar para pengagum Obama di Indonesia?

Kalaupun Obama tak berpidato secara khusus di Jakarta, Indonesia tetap menjadi negara yang penting bagi Amerika. Bukan karena memiliki latar belakang historis dengan Obama, tapi seperti yang dikatakan Juru Bicara Gedung Putih Robert Gibbs, Indonesia menjadi penting karena kini merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Demokrasi menjadi suatu budaya baru yang berkembang di dalam masyarakat  mayoritas muslim yang  juga menjunjung pluralisme dan inklusivitas.

Kalangan aktivis prodemokrasi juga berharap bisa langsung berdialog dengan Obama saat berkunjung di Jakarta, tak terkecuali aktivis KASUM (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir). Sebulan sebelum bertolak ke Jakarta, Presiden Obama menerima sejumlah masukan dari pegiat hak asasi manusia (HAM) asal Indonesia. Obama mendapat saran agar memberikan perhatian atas kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, yang masih mandek, dan juga bertemu kalangan pegiat HAM di Indonesia. Permintaan itu disampaikan Rafendi Djamin, direktur eksekutif HRWG (Human Rights Working Groups), yang juga anggota KASUM. Bersama para pegiat HAM dari sejumlah negara, Rafendi diundang ke Gedung Putih untuk membahas isu-isu HAM di mancanegara.

Rafendi yang juga komisioner Komisi HAM ASEAN itu meminta Obama membangun kemitraan yang lebih kuat dan baik dengan Indonesia dengan mendorong reformasi internal Indonesia. Dan, kasus Munir menjadi salah satu indikator keberhasilan reformasi internal tersebut. Selain kasus Munir, Rafendi menyampaikan permintaan agar Obama bisa bertemu civil society Indonesia ketika berkunjung ke tanah air. Dari pertemuan itu, Obama bisa mendapatkan informasi berimbang dan mendapatkan substansi yang tepat ketika membangun kemitraan berbasis HAM dan demokrasi dengan Indonesia.

Memberi Inspirasi

Kita sepakat bahwa Obama adalah presiden Amerika yang tentu saja akan bekerja untuk kepentingan rakyat Amerika yang memilihnya. Dalam sejarah Amerika, politik luar negeri Paman Sam itu tak banyak berubah dari waktu ke waktu. Hanya gayanya yang sedikit berubah, bergantung apakah orang Partai Demokrat atau Partai Republik yang berkuasa di Gedung Putih. Karena itu, berharap terlalu banyak kepada Obama agar memberikan banyak keuntungan untuk Indonesia, sangatlah kurang pada tempatnya.

Gaya dan pendekatan saat Obama berkuasa jelas berbeda secara fundamental, karena plebih menekankan rinsip multilateral. Namun, secara prioritas tidak akan ada perubahan dramatis. Secara spesifik mengenai Asia, kebijakan luar negeri Amerika tetap pula didominasi isu-isu klasik, seperti berkembangnya China sebagai sebuah kekuatan ekonomi dan militer, penyelesaian isu program nuklir Korea Utara dan Iran, instabilitas di Pakistan dan Afghanistan, serta berkembangnya India sebagai kekuatan ekonomi. Amerika juga tetap akan mempertahankan hubungan dengan sekutu-sekutu tradisionalnya di Asia Pasifik, yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Australia.

Bahwa di bawah Obama wajah Amerika tidak sesangar dulu kita akui. Bahwa Amerika kini lebih friendly dengan dunia Islam, banyak yang sepakat. Bahwa Amerika kian rajin menyeru pentingnya pencegahan pemanasan global tak ada yang membantah. Namun, ketika ditanyakan tentang apa keuntungan Indonesia saat Obama berkuasa, tak ada jawaban yang memuaskan. Obama sejauh ini belum mempunyai kebijakan khusus untuk Indonesia. Yang ada hanya keinginan Obama bernostalgia di Jakarta dan pelesir di Bali sambil menikmati bakso, rambutan, dan nasi goreng.

Namun, masyarakat Indonesia tetap bisa belajar dari kisah sukses Obama dan pidato-pidato yang mengguncang dunia. Kisah hidupnya bisa menginspirasi ''Obama-Obama'' Indonesia yang datang dari berbagai latar belakang yang beragam untuk berani tampil menjadi calon presiden Republik Indonesia. Pengalaman Obama yang menabrak mitos presiden Amerika harus WASP (white, Anglo Saxon, and Protestan) patut dicontoh. Presiden Indonesia tak harus dari suku Jawa, agama Islam dan dari kalangan militer. Semua orang dari mana pun suku, agama, dan profesi, mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi presiden RI.

*) Tri Agus S. Siswowiharjo, alumnus Magister Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Menulis buku Obama Bicara: Sepuluh Pidato Obama yang Mengguncang Dunia, tinggal di Jogjakarta.
Opini Jawa Pos 8 Maret 2010