Pengajuan Peraturan Pengganti UU (Perpu) No 4 Tahun 2009 tentang penunjukan tiga pimpinan sementara KPK sebagai UU ditolak DPR. Konsekuensinya, Tumpak Hatorangan yang selama ini menjabat Plt ketua KPK secara cepat atau lambat harus hengkang dari KPK. Karena itu, pasca penolakan tersebut, praktis kendali langsung KPK berada di tangan empat pimpinan KPK yang masih ada.
Penolakan DPR tersebut pada hakikatnya bisa diterima karena memiliki tiga dimensi kebenaran. Yakni, dalam kondisi sekarang, argumentasi yuridis terbitnya perpu sudah berbeda dari konteks awal terbitnya perpu. Alasan utama bagi Presiden SBY untuk menunjuk tiga pimpinan sementara KPK waktu itu adalah karena persoalan krisis kepemimpinan KPK.
Kala itu, Bibit dan Chandra, dua pimpinan KPK, tengah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara itu, kondisi sekarang tidak memungkinkan lagi perpu tersebut berlaku. Mengingat, Bibit dan Chandra telah kembali menjabat pimpinan KPK. Dengan demikian, kondisi mendesak dan darurat yang menyokong perpu sudah kehilangan konteks dan relevansinya.
Alasan berikutnya adalah persoalan indepedensi KPK. Bagaimanapun, ketika presiden dapat menunjuk langsung ketua KPK, posisi KPK sebagai lembaga independen akan dipertanyakan. Meski ada garansi politik bahwa penunjukan itu tidak akan mengganggu indepedensi KPK, secara faktual wewenang presiden yang bisa menunjuk langsung ketua KPK menjadi satu hal yang bisa mengancam indepedensi tersebut.
Terakhir, jika tetap digunakan sebagai dasar mempertahankan Plt ketua KPK, perpu yang sudah kehilangan konteks dan relevansinya itu akan menabrak UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang di dalamnya mengatur soal mekanisme seleksi calon pimpinan KPK. Pasal 29, 30, dan 31 UU KPK mengatur bahwa seleksi calon pimpinan KPK dilakukan melalui dua tahap. Yakni, tahap seleksi di panitia seleksi yang ditunjuk presiden serta tahap fit and proper test di DPR.
Dampak terhadap KPK
Sebenarnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari hengkangnya Plt ketua KPK jika pimpinan KPK yang tersisa bisa membangun sebuah mekanisme kerja yang solid serta nyali yang memadai untuk menghadapi kasus-kasus korupsi besar. Selama ini, yang kerap dikhawatirkan adalah menurunnya kinerja KPK karena komposisi pimpinan KPK tidak lengkap.
Jika kita merujuk pada kasus pencopotan Antasari Azhar sebagai ketua KPK, ternyata KPK justru dipandang lebih tampil meyakinkan, khususnya ketika menangani kasus-kasus korupsi politik yang melibatkan anggota DPR. Kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom justru ditingkatkan ke penyidikan pasca Antasari dinonaktifkan presiden.
Mungkin yang mengkhawatirkan sekarang ini, apakah kasus kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra beberapa waktu lalu bisa menciutkan nyali pimpinan KPK? Empat sektor yang menjadi prioritas KPK pada 2010, yakni pendidikan, kesehatan, kehutanan, serta pertambangan dan tidak menyinggung sama sekali wilayah politik, barangkali cukup menjelaskan adanya ''keengganan'' pimpinan KPK untuk menjamah anggota DPR.
Jika pilihan tersebut merupakan imbas kriminalisasi KPK yang sempat menerpa Bibit dan Chandra, usaha sebagian kelompok untuk meredam kerja pemberantasan korupsi oleh KPK bisa dikatakan berhasil. Di sisi lain, pimpinan KPK juga bisa dianggap telah melepaskan secara sadar tanggung jawabnya sebagai aparat penegak hukum karena lebih ''nyaman'' dan ''aman'' bermain serta berkutat pada isu pencegahan.
Kalaupun ada pembagian fungsi pada bidang kerja di KPK, yakni penindakan dan pencegahan, pimpinan KPK yang mengurus bidang pencegahan juga merupakan penyidik dan penuntut umum yang melekat di dalamnya tanggung jawab untuk memeriksa serta menangani kasus-kasus korupsi. Pada tingkat tertentu, tiadanya keberanian yang cukup pada pimpinan KPK tidak akan relevan dengan jumlah pimpinan KPK.
Pendek kata, jika pun pimpinan KPK lengkap, tapi semua lebih senang untuk berada pada zona nyaman pencegahan, isu mengenai jumlah pimpinan KPK sudah tidak berpengaruh apa pun bagi kinerja KPK.
Perlukah Pengganti Tumpak?
Wacana yang berkembang saat ini adalah desakan DPR agar Presiden SBY segera menetapkan panitia seleksi untuk memilih calon ketua baru KPK. Jika merujuk latar belakang partai yang menyokong ide untuk segera memilih ketua baru KPK, yakni Golkar, PDI Perjuangan, PKS, Hanura, dan Gerindra, dua partai besar yang pertama bisa dikatakan memiliki konflik kepentingan dengan KPK.
Sebab, banyak di antara anggota DPR dari dua partai itu yang tersangkut kasus korupsi di KPK. Desakan tersebut pada akhirnya justru mengkhawatirkan posisi KPK ke depan seandainya arena pemilihan ketua KPK dijadikan sarana untuk memasukkan calon titipan. Skenarionya tentu sudah jelas. Yakni, bagaimana ketua baru KPK mampu ''meredam'' berbagai kasus korupsi yang tengah ditangani KPK.
Sebagaimana kita ketahui, KPK saat ini masih berjibaku dengan proses hukum kasus Miranda Goeltom, kasus Bank Indonesia, kasus suap proyek di Kementerian Kehutanan, kasus hutan lindung, dan sebagainya yang semua terkait dengan anggota DPR. Jika kemudian proses hukum atas kasus-kasus tersebut mengalami banyak kemajuan, bisa dipastikan tampilnya ketua baru KPK justru akan menjadi ancaman nyata bagi kinerja KPK.
Perlu digarisbawahi, usaha untuk melemahkan KPK tetap berlangsung, meski Bibit dan Chandra telah bebas. KPK akan semakin sulit memainkan perannya dalam memberantas korupsi karena faktanya pembusukan dari internal KPK mulai terjadi. Jika kemudian DPR memilih ketua baru KPK dengan motif untuk mengamankan para kadernya, itu merupakan ancaman yang sangat serius bagi mereka.
Karena itu, pilihan satu-satunya yang sekarang harus diambil adalah membiarkan pimpinan KPK yang tersisa menyelesaikan pekerjaannya hingga masa tugas mereka berakhir. Sebab, meski pimpinan KPK hanya empat orang, tidak ada kendala yuridis yang prinsipiil sekalipun. Keputusan pimpinan KPK dalam memproses kasus korupsi tetap akan memiliki kekuatan hukum yang sah di mata pengadilan. (*)
*). Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW
Opini Jawa Pos 6 Maret 2009