07 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Borobudur, Sarung, dan Kapitalisasi

Borobudur, Sarung, dan Kapitalisasi

Dalam fenomena peraturan pemakaian sarung di Borobudur, pada saat yang sama sebenarnya mengisyaratkan sebuah kerja produksi massal benda tersebut

BAGI peradaban masyarakat Jawa Kuno, Candi Borobudur merupakan bagian penting dalam laku religiusitas sehari-hari. Konstruksi batu bertumpuk yang dibuat dengan perhitungan arsitektur matang dan ragam hiasan seni tingkat tinggi itu dibangun berlandaskan pemahaman sistem kepercayaan dan filosofi spiritual sebagai tempat ibadah.


Kisah-kisah yang terdapat dalam relief Borobudur secara tidak langsung adalah kitab kehidupan yang selama beberapa abad menjadi pijakan masyarakat Jawa dalam kehidupan.

Dalam prasasti Kayumwungan, tercatat bahwa Borobudur berhasil diselesaikan pada masa kekuasaan Ratu Pramudawardhani dari Wangsa Syailendra pada 26 Mei 824 M. Nama Borobudur berasal dari kata Sanskerta bara (berarti candi atau biara) dan beduhur (tinggi, dan dalam bahasa Bali kata itu mempunyai arti di atas) (Zainudin, 2009).

Kini bangunan karya leluhur masyarakat Jawa modern itu menjadi sebuah mata rantai yang hilang dari sejarah masa kini. Borobudur hanya menjadi simbol peradaban lain yang memutus silsilah orang Jawa masa kini sehingga asing dengan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Bahkan peranan bangunan bersejarah itu kini menjadi sekuler, menjadi barang dagangan kepentingan pariwisata semata. 

Dikeluarkannya Borobudur dari 7 keajaiban dunia, menjadi bukti kegagalan masyarakat dalam merawat dan meruwat kehidupan kulturalnya, baik dalam bentuk fisik maupun konsepsi nilai yang ada di baliknya.

Dari segi fisik, segi kebersihan candi yang menjadi syarat penting pariwisata, sangat tidak terurus. Banyaknya sampah berserakan maupun vandalisme terhadap bangunan candi menjadi permasalahan yang belum terselesaikan secara tuntas.

Hal ini tentu saja berkaitan dengan etos hidup masyarakat penggunanya yang tidak mempunyai sikap dan sifat kedisiplinan maupun penghargaan terhadap sesuatu yang bernilai. Wajar jika muncul sikap para wisatawan yang menaiki stupa hanya untuk sekadar mejeng dalam jepretan kamera pribadi, sebuah laku narsisme yang egois.

Borobudur bukan hanya pajangan sejarah yang tercipta berdasarkan unsur kebetulan melainkan representasi eksotisme ketajaman rohani, spiritualitas, dan eksistensi budaya manusia di bumi ini dalam pemahaman konsep buddhisme. Borobudur membuktikan pembentukan peradaban dan olah teknik-estetika yang merepresentasikan eksistensi manusia.

Maka apabila keresahan ini disikapi dengan peraturan pemakaian sarung bagi wisatawan yang bercelana atau memakai rok pendek, tidakkah hal ini menjadi respons yang naif, sporadis, dan sangat tidak visioner. Hal ini menjadi semacam afirmasi terhadap konsepsi nilai spiritualitas tapi tak implikatif karena seperti pamer diri yang genit.
Penumpukan Simbol Perlakuan semacam ini berisiko pada reduktivitas pemahaman dan kepemilikan publik atas jejak historis dan proses transformasi identitas kultural. Sarung tak cukup representatif untuk menjadi bukti penyikapan dan keberpihakan yang jelas karena tak diimbangi dengan literasi masyarakat terhadap arti penting Borobudur dalam peradaban dunia. Publik justru memandang aksi pemakaian sarung itu sebagai penumpukan simbol kultural yang tak komunikatif atau justru menghamba pada kepentingan kapitalisasi kekinian.

Menurut Ebenstein (1994), kini kapital bukanlah suatu benda material melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamiknya yang berkelanjutan. Kapital adalah suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital memang mengambil bentuk fisik, tetapi maknanya hanya bisa dipahami jika kita memandang bahwa benda-benda material ini mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalitas yang meluas.

Dalam fenomena peraturan pemakaian sarung di Borobudur, pada saat yang sama sebenarnya mengisyaratkan sebuah kerja produksi massal benda tersebut, politik praktis tender yang menyusun kepingan konstruk pemahaman yang tak lengkap tentang subjek utama, yaitu kedudukan candi itu sendiri dalam kultur sosial masyarakat.

Pada saat itu, tanpa sadar masyarakat dipaksakan pada semacam ketidaksadaran massal. Ketidaksadaran sebagai “kesadaran baru” yang tak lebih dari sekadar puing-puing eksistensial yang tengah tercabik ini lantas meruyakkan aura eksotisme sarung yang hanya mementingkan permukaan, penampakan, penampilan, hiburan, dan permainan tanda-tanda yang tanpa kedalaman dan yang tidak mengacu kepada realitas.

Meminjam analogi budaya massa (Ibrahim, 2007), Borobudur menjadi bagian industri kebudayaan yang juga menjadikan semua artefak budaya sebagai produk industri, dan sudah tentu komoditas.

Hal ini memaksakan penyembahan, pemujaan, pengkultusan, eksostisme tertentu yang disebut Peter L Berger sebagai semesta simbolisme modernitas dengan bawah sadar kapitalisasi kultural. (10)

— Purnawan Andra, mahasiswa Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
 Wacana Suara Merdeka 8 Maret 2010