07 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Kemenangan itu untuk siapa…

Kemenangan itu untuk siapa…

Pekan lalu, hasil voting rapat paripurna DPR yang memenangkan opsi C disambut gegap gempita di dalam gedung Dewan. Ratusan anggota DPR girang luar biasa, bergembira, berteriak, bernyanyi dan saling memberikan selamat.

Sementara sebagian rakyat Indonesia yang menonton siaran langsung di televisi hanya terbengong-bengong, ada yang gemas dengan perilaku para priyagung itu.



Semangat bak pejuang ’45 itu muncul di dalam ruang paripurna sejak sidang dimulai. Kubu kontra bailout menyanyikan lagu Maju Tak Gentar, Bagimu Negeri dan Halo-Halo Bandung sekencang-kencangnya sembari tangannya mengepal-ngepal. Teriakan-teriakan ”Allahu Akbar” juga saling bersahut-sahutan. Sesekali terdengar pula koor Mars Golkar dan Mars PDIP.

Situasi itu sungguh tak mencerminkan sebuah sidang paripurna DPR, sebuah lembaga tinggi negara yang di dalamnya terdapat wakil-wakil pilihan rakyat. Masyarakat kelas bawah yang menyaksikan lewat siaran langsung televisi sebagian ada yang ikut girang karena mendapat hiburan namun sebagian besar lainnya banyak yang mengelus dada penuh keprihatinan atas polah tingkah mereka.

Masyarakat yang kini memiliki media penyaluran emosional, melalui jejaring Facebook dan Twitter akhirnya beramai-ramai pula menumpahkan kekesalan atas apa yang dipertontonkan para anggota Dewan. ”Benar kata Gus Dur... DPR seperti Taman Kanak-Kanak... sekarang malah lebih parah dari kindergaten,” tulis salah seorang teman dalam status FB-nya. Bahkan ada yang lebih keras, ”Ah itu sih bukan demonstran, bukan juga anggota Dewan... tapi preman...”

Begitulah. Pesta pora di ruang sidang paripurna DPR itu toh akhirnya berakhir. Pemenangnya adalah fraksi yang memilih opsi C, yaitu mereka yang berpendapat bahwa terdapat penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang berindikasi perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan dan tindak pidana umum.

Dengan demikian, pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab agar diproses melalui lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan kewenangannya.

Sementara mereka yang memilih opsi A, boleh kecewa dan hanya gigit jari karena mereka kalah suara. Itulah demokrasi, siapa yang banyak dialah yang menang. Lantas demokrasi di parlemen itu sudahkah mencerminkan kemenangan bagi rakyat secara keseluruhan?

Untuk siapa

Kemenangan mayoritas atas minoritas itulah yang sering dipertanyakan. Lalu kemenangan pemilih opsi C tadi sesungguhnya untuk siapa? ”Ini adalah kemenangan untuk rakyat!” Ada yang bilang, ”Inilah kemenangan demokrasi di negeri ini!” Benarkah? ”Saya kok tidak merasakan kemenangan itu ya,” kata Denmas Suloyo ketika ngrembug hasil grand final Pansus Century di News Cafe pojok kampung kami, malam Minggu kemarin.

”Coba sampeyan tanya ke orang-orang kebanyakan itu. Apakah mereka merasa ikut senang karena merasa menang setelah voting Pansus Dewan? Atau, minimal merasakan dampak langsung dari rapat Pansus Hak Angket kasus Bank Century DPR itu tidak? Coba tanyakan sana....” kata Denmas Suloyo kepada Mas Wartonegoro.

”Lha jelas susahlah Denmas kalau ukuran yang ditanyakan kepada masyarakat awam adalah ’ikut merasa menang’ atau ’ikut merasakan dampak’. Itu kan urusan para elite. Dampak langsungnya ya emboh... kita tunggu saja,” jawab Mas Wartonegoro.

”Itulah yang saya maksud bahwa Pansus itu tak punya dampak signifikan bagi rakyat di negeri ini. Itu bukan kemenangan untuk rakyat. Bahkan kepada mantan para nasabah yang sampai kini uangnya belum terbayarkan sekalipun. Apakah setelah Pansus selesai, mereka langsung bisa mengambil uangnya... kan tidak ta,” kata Denmas Suloyo tambah berapi-api.

Setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang, apa yang dihasilkan oleh Pansus Century bagi masyarakat memang cenderung tidak berdampak apa-apa. Pembahasan yang begitu heboh dan seru hampir setiap hari disiarkan secara langsung di televisi pada akhirnya toh sekadar menjadi tontonan bak kita menyaksikan sinetron.

Saya sependapat dengan Emmanuel Subangun, yang menuangkan analisisnya dalam Harian Kompas, beberapa hari lalu, bahwa masyarakat sesungguhnya telah sampai pada titik jenuh dengan kasus Bank Century yang dibahas maraton oleh Pansus DPR.

Kian seringnya ditampilkan rapat itu di televisi secara langsung, menurut Emanuel kian kelihatanlah bahwa masalah perbankan adalah masalah ruwet dan rumit, semakin masyarakat tidak terlalu tahu mau ke mana arah politik dari hiruk-pikuk itu. Semakin DPR ”transparan”, soal sesungguhnya juga semakin kabur (Kompas, 27/2).

Mengapa bisa menjenuhkan begitu? Sebab, kata Emanuel, aneka macam segi tampil serentak dan para penggerak peristiwa itu juga tidak terlalu sadar akan hal yang dijalaninya. Tidak terlalu jelas batas antara soal ”ekonomi” dengan soal ”hukum”, misalnya sekitar istilah ancaman yang disebut ”sistemik” dalam pemikiran ekonomi, tetapi kemudian jika tindakan untuk menghadapi soal sistemik itu diletakkan dalam kerangka ”hukum”, segera orang masuk dalam lorong gelap.

Kemudian hal itu akan menjadi kian gelap gulita ketika soal ”hukum” (artinya soal ada tidaknya tindakan melawan hukum) disandingkan dengan pertimbangan ”politik”, maka kita tidak tahu di mana tempat yang diambil oleh parlemen sebagai lembaga legislasi dalam sebuah sistem pemerintahan presidensial.

Apa boleh buat. The show must go on, apapun yang terjadi, pemerintahan di negeri ini harus terus berjalan. Semoga gegap gempita yang telah dipertunjukkan anggota DPR kita dengan biaya miliaran rupiah itu memberi hikmah bagi perjalanan negeri ini dan bermanfaat untuk rakyat. Rakyat baru bisa menyatakan menang, ketika telah diperlakukan adil oleh para penguasa, ketika hak sosial, ekonominya dipenuhi sehingga bisa hidup sejahtera… itu saja. - Oleh : Mulyanto Utomo Wartawan SOLOPOS
Opini SOlo Pos 6 Maret 2009