07 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Dilema Yudhoyono

Dilema Yudhoyono

Oleh Firman Manan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden pertama, sejak tumbangnya rezim orde baru yang mendapatkan legitimasi sangat tinggi pada awal pemerintahannya. Besarnya dukungan politik yang didapatkan Presiden Yudhoyono, seakan memberikan jalan kepadanya untuk menjalankan pemerintahan secara stabil dan efektif.

Namun, hari-hari belakangan menunjukkan betapa modal politik yang dimiliki Presiden Yudhoyono, seakan kurang berfaedah. Sejak Pansus Hak Angket Bank Century bekerja,  perpecahan koalisi tinggal menunggu waktu. Perpecahan semakin nyata, manakala dalam voting pada sidang paripurna DPR, Partai Golkar, PKS, dan PPP mendukung pilihan bahwa kebijakan dan implementasi kebijakan dalam penanganan Bank Century bermasalah.



Rangkaian peristiwa itu menggambarkan beberapa hal. Pertama, koalisi yang dibangun sejak awal memiliki kelemahan. Koalisi tidak didasarkan atas kesamaan platform di antara anggota koalisi, tetapi lebih kepada kepentingan politik. Menjadi wajar, ketika partai-partai yang tergabung di dalam koalisi berbeda pandangan ketika dihadapkan pada isu tertentu.

Kedua, lemahnya koordinasi di antara anggota koalisi. Salah satu kesuksesan koalisi pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono periode pertama adalah berkat peran Wakil Presiden Jusuf Kalla, peran yang kini dimainkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, tetapi tetap dilakukan juga oleh Presiden Yudhoyono. Hal ini ditunjukkan dengan aktifnya para staf khusus presiden, dalam melakukan lobi maupun tekanan terhadap partai-partai anggota koalisi.

Ketiga, model politik transaksional antarpartai tidak dapat diandalkan sepenuhnya, dalam penangan kasus Century. Penanganan kasus Century oleh DPR yang dipublikasikan secara luas, membuat partai-partai harus berhitung untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan logika atau opini publik.

Keempat, model komunikasi politik yang dilancarkan oleh lingkaran dalam Presiden Yudhoyono dengan mengedepankan tekanan menjadi kontraproduktif, karena partai-partai politik anggota koalisi tidak tergoyahkan oleh tekanan-tekanan tersebut, bahkan semakin memperkuat keyakinan mereka.

Sejatinya, Presiden Yudhoyono memiliki beberapa alternatif dalam menyelesaikan persoalan yang ditenggarai akan menjadi beban bagi perjalanan pemerintahan, apabila tidak segera diselesaikan. Pertama, Presiden SBY dapat mengocok ulang koalisi yang telah terbangun, dengan menceraikan partai-partai yang dianggap telah berseberangan dan memperkuat koordinasi dengan partai-partai loyalis. Hal ini memerlukan kepercayaan diri yang cukup tinggi dari presiden dan partai–partai pendukungnya di DPR, karena kekuatan oposisi di DPR akan menguat.

Kedua, membubarkan koalisi dan membangun poros kekuatan baru dengan mengajak PDIP menjadi mitra koalisi, sebagaimana yang ditawarkan Taufik Kiemas. Namun, hal ini agak sulit terealisasi mengingat kuatnya resistensi dari mantan presiden Megawati Soekarnoputri serta kader-kader PDIP.

Ketiga, tetap mempertahankan koalisi, tetapi disertai upaya lebih keras untuk menyelaraskan perbedaan-perbedaan di antara partai-partai anggota koalisi. Pilihan inilah yang kemungkinan besar diambil Presiden Yudhoyono, terutama setelah mendengar pernyataannya menanggapi hasil sidang paripurna DPR. Yudhoyono walaupun menyatakan tidak ada kesalahan yang dilakukan dalam proses pemberian dana talangan terhadap Bank Century,  tidak menyinggung kemungkinan terjadinya perubahan poros koalisi. Terlebih, Presiden mempunyai rekam jejak sebagai pemimpin yang akomodatif  dan menghindari konflik. Di sisi lain, Partai Golkar, PKS, maupun PPP tidak memiliki tradisi menjadi oposisi pemerintah, sebagaimana ditunjukkan dalam periode pemerintahan Yudhoyono jilid pertama.

Apabila alternatif  mempertahankan koalisi yang dipilih, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, melakukan reorientasi terhadap bangunan koalisi. Kontrak koalisi yang disepakati terbukti tidak efektif untuk dijalankan. Hal ini ditengarai, karena perbedaan persepsi di antara anggota koalisi.

Di satu pihak, banyak kader Partai Demokrat meminta parpol-parpol peserta koalisi  menunjukkan loyalitas dengan mendukung sepenuhnya pemerintah. Di pihak lain, kader partai Golkar, PKS, dan PPP berkeras dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR, mereka mempunyai kewajiban menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintahan. Kader-kader partai yang tergabung di lembaga eksekutif sebagai menteri memang harus menunjukkan loyalitas, karena mereka merupakan pembantu yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Namun, tidak demikian halnya dengan kader-kader di DPR, karena  mereka juga harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada konstituen, bukan kepada pimpinan koalisi. Dengan demikian, koalisi dibangun tanpa menghilangkan kebebasan melakukan pengawasan, walaupun tentunya peserta koalisi harus menjauhkan diri dari agenda kepentingan politik jangka pendek, sehingga pemerintahan --selama tidak melakukan peyimpangan-- dapat dikawal secara baik hingga berakhir pada 2014.

Kedua, menghentikan model komunikasi politik berupa tekanan atau ancaman. Bukan berarti proses hukum terhadap pihak-pihak yang ditenggarai bermasalah harus dihentikan karena kepentingan politik, karena proses hukum harus diletakkan di atas kepentingan politik. Yang tidak boleh dilakukan adalah menggunakan dalih hukum untuk tawar-menawar politik.

Ketiga, mengefektifkan koordinasi antara partai-partai anggota koalisi. Perlu dipertimbangkan untuk memberdayakan kader-kader Partai Demokrat sebagai perpanjangan tangan presiden dalam melakukan koordinasi, selain menjadi tidak arif untuk membebani Presiden Yudhoyono dengan urusan-urusan koordinasi antarpartai, sementara presiden telah mempunyai beban berat untuk  menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Apabila hal-hal tersebut diperhatikan, langgengnya pemerintahan di bawah koordinasi Presiden Yudhoyono merupakan keniscayaan. Mandat dari rakyat yang telah diberikan akan dapat dijalankan sampai pada saatnya, dikembalikan kepada rakyat pada 2014, dengan dukungan kritis dan konstruktif dari partai-partai pendukung pemerintah. Dengan mengedepankan kepentingan rakyat serta kepentingan jangka panjang, benturan-benturan kepentingan di antara partai-partai anggota koalisi niscaya dapat diredam, sehingga program-program pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan kepada seluruh rakyat dapat berjalan dengan lancar.***

Penulis, staf pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran.
Opini Pikiran Rakyat 08 Maret 2010