07 Maret 2010

» Home » Kompas » Jalan Paradoks Sjahrir

Jalan Paradoks Sjahrir

Perkenankan saya mengaku, saya belum pernah bertemu muka dengan almarhum Sutan Sjahrir. Ketika beliau wafat di Zürich, Swiss, 9 April 1966, saya bahkan belum tahu membaca dan menulis. Tatkala menginjak dewasa, sayup-sayup saya mendengar orang sering menyebut namanya.
Tanpa tahu mengapa, ia terdengar sebagai satu di antara deretan nama yang menjulang tinggi ke angkasa Indonesia. Namun, lantaran jarak generasi, ia lebih terdengar sebagai gema ketimbang suara.


Ketika mulai melek-huruf, sesekali saya membaca renungan-renungannya dari penjara dan pembuangan. Sebagai anak muda, saya merasa renungan-renungan itu menyimpan teka-teki yang misterius tetapi menawan. Saya kadang membaca ulasan dari para ahli atau juga kenang-kenangan dari para muridnya, pengagum, dan kritikus Sjahrir. Namun, jauh dalam hati, saya merasa ada yang selalu saja lolos dari genggaman ulasan dan refleksi kenangan itu. Saya tidak mengerti apa. Mungkin itu suara keabadian yang tak pernah tertampung oleh keterbatasan. Mungkin juga karena Sjahrir terlalu besar untuk kita, atau kita terlalu kecil untuk Sjahrir.
Dilema pilihan
Sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih kepada Sjahrir, perkenankan saya mengajukan satu kemungkinan memahami mengapa Sjahrir selalu lolos dari genggaman ideologi yang pasti. Ia seorang sosialis, tetapi corak sosialismenya terlalu licin untuk dipatok dalam kategori sosialisme yang luas dipahami. Dalam pemahaman sederhana saya, itu lantaran Sjahrir adalah seorang yang menghidupi dan memeluk erat-erat apa yang akan saya sebut ”jalan paradoks”.
”Paradoks” adalah posisi atau sikap yang kelihatan kontradiktif atau tidak masuk akal karena secara logis tampak tidak konsisten, tetapi sesungguhnya mengandung ”kebenaran” lebih tinggi karena didasarkan pada fondasi lebih kokoh dan lebih lengkap daripada yang tampak. Ambillah satu contoh kecil. Kita mungkin pernah mengalami luka batin yang dalam. Luka batin tidak akan sembuh dengan kita tolak, tetapi justru dengan kita peluk/terima sebagai bagian sejarah hidup, luka batin itu akan pergi/sembuh. Suatu X dicapai bukan dengan kategori yang sama (yaitu X), tetapi melalui non-X. Dalam ungkapan penyair Jerman, Friedrich Schiller, yang diangkat Ignas Kleden dalam pengantar buku Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (2010), hidup hanya dimenangkan dengan mempertaruhkan hidup itu sendiri.
Paradoks tampil dalam berbagai wajah. Salah satunya adalah dilema pilihan. Namun, ada beda antara dilema praktis dan dilema eksistensial. Contoh dilema praktis adalah jika kita harus memilih salah satu dari dua acara yang diadakan pada waktu yang bersamaan karena secara fisik kita tak mungkin berada di dua tempat sekaligus. Ketidaksanggupan kita berada di salah satu acara bukan cacat atau ketidakmatangan pilihan, tetapi persis kelugasan pilihan praktis yang sederhana. Banyak dilema pilihan adalah dilema praktis seperti itu. Perkaranya kadang kecil, kadang besar. Putusan Sjahrir bekerja sama atau tidak bekerja sama dengan Jepang juga bercorak dilema praktis semacam itu.
Akan tetapi, mana yang dipilih Sjahrir: nasionalisme atau internasionalisme, kebebasan individual atau solidaritas sosial? Boleh juga itu berupa dilema aksi atau refleksi, spontanitas individu atau tertib tatanan, yang lokal atau yang global, roh atau materi, dan sebagainya? Itulah dilema-dilema eksistensial. Ia disebut ”eksistensial” sebab tegangan-tegangan itu secara niscaya senantiasa terlibat dalam perjuangan kita meraih kualitas hidup-personal ataupun hidup-bersama yang bermutu dan matang. Dengan kata lain, dilema memilih ”kebebasan individual atau solidaritas sosial” adalah oposisi semu. Memilih salah satu dengan menyingkirkan yang lain adalah resep pasti menuju kesesatan dan ketidakmatangan. Keduanya hanya perlu dipeluk erat-erat dan dihidupi dalam tegangan abadi sebagai paradoks eksistensial.
Jika alam tidak suka kehampaan, politik tidak suka kerumitan. Itulah mengapa dunia politik praktis berisi kelugasan kubu-kubu pilihan eksklusif ”ini atau itu”. Pilihan eksklusif itu tentu sering niscaya lantaran ia dilema praktis yang sederhana. Akan tetapi, pada banyak momen lain, dunia politik juga berisi dilema-dilema eksistensial: kebebasan atau solidaritas, nasional atau global?
Tergelincir ke salah satunya adalah resep pasti menuju kesesatan. Yang diperlukan adalah menghidupinya sebagai tegangan abadi. Itulah mengapa dalam diri Sjahrir, kita menemukan keengganan tetapi sekaligus kesediaan terhadap dunia politik. Dalam bahasa Sol Tas yang mengenal Sjahrir: ”Dia terlibat dalam politik dari rasa kewajiban, bukan dari minat”.
Mengenali patologi
Seperti apa Sjahrir menuliskan jalan paradoks itu? Dari serakan renungan-renungannya, beginilah contoh ia meyakini jalan paradoks itu:
”Hanya merekalah yang sudah matang dan mengerti akan kehidupan oleh pengalaman, tidak lagi menyobek kehidupan itu dalam dua bagian yang bertentangan satu dengan yang lain; tapi mereka itu melihat peralihan-peralihan, sambungan-sambungan, percampuran-percampuran dari kedua bagian itu” (Surat 16 Desember 1934).
Kali lain, Sjahrir menulis prinsip menghidupi tegangan antara individualitas dan sosialitas:
”Suatu perasaan yang luas dan dalam, suatu rasa bahagia yang sungguh-sungguh, tidak pernah eksklusif. Kita ingin membaginya kepada orang lain... Sebab itu kukira kebahagiaan pribadi yang setinggi-tingginya yang bisa kita raih, mestilah berbarengan dengan kebahagiaan umum umat manusia” (Surat 22 Juli 1934).
Sjahrir menulis, memilih salah satunya adalah ”gambaran manusia yang belum matang”.
Apa yang boleh kita pelajari dari keluhuran jalan paradoks Sjahrir itu? Pertama, silakan mengenali patologi apa yang sedang membusukkan periode sejarah kita dewasa ini? Apakah ia ekstremisme agama, ekstremisme pasar, globalisme, ataukah campuran semua itu? Menurut jalan paradoks Sjahrir, ekstremisme adalah buah busuk dari ketidakmatangan pribadi dan kolektif. Terhadap patologi itu, jalan menuju kematangan hidup pribadi dan berbangsa menuntut kita melancarkan gerakan balik. Kedua, jalan paradoks Sjahrir juga mengajar kita bahwa pemimpin politik sejati bukanlah mereka yang haus akan kursi dan kekuasaan, tetapi mereka yang justru punya sikap curiga dan skeptis terhadap kekuasaan dan jabatannya.
Saya belum pernah bertemu muka dengan Sjahrir. Pada hari pemakamannya, saya bahkan belum tahu menulis dan membaca. Akan tetapi, bahwa sekian tahun kemudian saya boleh belajar dari Sjahrir tentang rahasia kehidupan dan tentang ”jalan paradoks” bagi kematangan politik, ekonomi, budaya, dan intelektual suatu bangsa, itu sudah sebuah kegembiraan.
Sjahrir memang tidak bisa lagi bersuara, tetapi ia tetap nyaring bergema.
B Herry Priyono Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. 
Opini Kompas 8 Maret 2009