07 Maret 2010

» Home » Republika » Keseriusan Penanganan Trafficking

Keseriusan Penanganan Trafficking

Ariek Indra Sentanu
(Mahasiswa PTIK, Anggota Polisi)

Trafficking atau perdagangan manusia, terutama anak di Indonesia, merupakan masalah yang sangat serius. Begitu seriusnya masalah perdagangan anak ini membuat dunia menyorotinya. Indonesia bahkan ditempatkan di peringkat ketiga di dunia sebagai negara dengan tingkat perdagangan manusia tertinggi. Menurut beberapa penelitian, ada sejumlah kota yang tingkat perdagangan anaknya cukup tinggi, yaitu Jakarta, Bali, Medan, dan Batam. Mengingat anak adalah generasi penerus bangsa, masalah perdagangan ini harus ditangani secara serius.

Untuk menangani perdagangan anak, Polri harus menjadi ujung tombak. Sebagai abdi hukum yang langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat, Polri harus melihat bahwa perdagangan anak merupakan pelanggaran yang serius dan harus mendapatkan tindakan tegas.

Penanganan perdagangan anak memang tidak bisa hanya mengandalkan satu institusi, yaitu Polri. Namun, perlu dukungan dari semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam melindungi masyarakat, seperti lembaga swadaya (LSM) atau organisasi-organisasi yang konsen mengurusi masalah anak. Meski perlu kerja sama dengan pihak lain, hanya Polri yang mempunyai kewenangan hukum untuk melakukan penyidikan dan menetapkan individu atau lembaga yang dianggap bersalah.

Secara hukum, Polri bisa menggunakan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU tersebut, terdapat pasal-pasal yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku perdagangan anak dengan hukuman penjara.

Berpatokan pada UU No 23 Tahun 2002, Polri bisa mengidentifikasi segala jenis perbuatan yang menjadikan anak sebagai korban kejahatan. Selain UU No 23 Tahun 2002, Polri juga bisa menggunakan Keppres No 88 Tahun 2002 tentang Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak.

Dalam menerapkan UU ataupun peraturan yang melindungi anak, Polri harus jeli melihat satu masalah. Perlu pemahaman yang terukur untuk menentukan sebuah kasus masuk kategori perdagangan manusia atau anak. Yang termasuk perdagangan manusia atau anak umumnya menyangkut pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan, berupa pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.

Penjualan manusia ini merampas hak asasi, terutama saat seseorang mengalami pemukulan, penyakit, trauma, dan kematian.

Melalui pemahaman di atas, Polri bisa melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan ketika melihat sebuah perilaku mengindikasikan ke arah perdagangan anak. Polri tidak boleh segan memberikan sanksi bagi pelaku perdagangan anak. Polri harus mempersiapkan jerat hukum yang berat ketika melakukan pemberkasan terhadap tersangka.

Sudah saatnya Polri melangkah lebih maju dan tidak hanya sekadar menjadi institusi yang mengurusi masalah pelanggaran hukum. Polri harus terlibat aktif dalam upaya-upaya pencegahan tindak pidana, terutama perdagangan anak.

Pencegahan bisa dilakukan dengan penyuluhan, program penyadaran masyarakat terhadap bahaya perdagangan anak, dan sosialisasi tentang efek jera, terutama memberitahukan hukuman yang berat bagi pelaku. Untuk lebih bisa masuk kepada akar permasalahan, Polri juga harus memahami apa yang membuat perdagangan anak terjadi.

Kemiskinan menjadi salah satu penyebab perdagangan anak. Atas alasan ketidakmampuan orang tua dalam membiayai sekolah, banyak anak dipaksa bekerja dan putus sekolah. Khusus untuk anak perempuan, mereka terjerat dalam jaring mafia pelacuran.

Setelah kemiskinan, faktor lain yang berpengaruh adalah tingkat pendidikan rendah. Banyak masyarakat yang berpikir singkat dan mudah dibohongi oleh oknum-oknum yang mencari keuntungan sendiri. Tingkat pendidikan yang rendah membuat kalangan orang tua merelakan anaknya bekerja apa saja, tanpa melihat terlebih dahulu pekerjaan yang ditawarkan.

Faktor lain yang membuat perdagangan anak merajalela adalah meningkatnya permintaan pelacur untuk beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bali, Medan, dan Batam. Banyaknya permintaan pelacur membuat mucikari melakukan pencarian ke kampung-kampung.

Atas kondisi tersebut, Polri perlu kerja keras untuk mengatasi, mencegah, dan menangani praktik perdagangan anak. Masalah perdagangan anak sangat berkaitan dengan realitas kehidupan masyarakat. Tentu saja, tidak bisa terlepas dari budaya di masyarakat. Untuk bisa mengatasi, mencegah, dan menangani, Polri harus bisa masuk dalam kehidupan masyarakat dan memahami secara detail apa saja yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai perdagangan manusia.

Opini Republika 6 Maret 2009