17 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Menghidupkan Kembali Pidana Tutupan

Menghidupkan Kembali Pidana Tutupan


Oleh MELANI
Artalyta Suryani alias Ayin kembali menjadi buah bibir setelah Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum menguak adanya sel mewah bak hotel berbintang lima di Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur baru-baru ini. Satgas menemukan Ayin di sel mewah tersebut tengah melakukan perawatan wajah. Ayin bukan satu-satunya napi yang menempati sel mewah. Satu lagi sel super mewah di rutan tersebut ditempati Liem Marita alias Aling, dan malah ruangan ini dilengkapi dengan tempat karaoke. Kedua sel mewah tersebut telah dibongkar, tetapi cibiran terhadap aparat penegak hukum yang dipandang kerap berlaku diskriminatif dan tidak adil masih terus dilontarkan masyarakat di mana-mana.



Berbicara mengenai jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap terdakwa, berat atau ringannya, jangka waktu atau lamanya, cara serta tempat sanksi itu dilaksanakan adalah merupakan bidang Hukum Penitensier. Sumber Hukum Penitensier di Indonesia antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Bersifat istimewa
KUHP yang berlaku di Indonesia adalah peninggalan kolonial Belanda yang berasal dari Wetboek van Strafrecht. Setelah kemerdekaan pernah muncul UU No.20 Tahun 1946 tentang Pidana Tutupan, yaitu jenis pidana pokok yang memberikan keistimewaan bagi narapidana (warga binaan) di dalam sel tahanan, yaitu boleh memperbaiki nasibnya sendiri, misalnya boleh membawa radio, mesin tik, dan lain-lain. Keistimewaan lainnya, warga binaan tidak boleh dipekerjakan di luar tembok penjara, tidak boleh dipindahtempatkan kecuali atas persetujuan warga binaan tersebut.
Pidana tutupan dapat diterapkan oleh hakim terhadap orang-orang tertentu yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara, tetapi tindakannya dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati (tindak pidana politik). Pidana tutupan tidak dapat diterapkan apabila cara melakukan tindak pidana atau akibat dari perbuatannya sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara. Pidana tutupan hanya berlaku sampai 1958, yaitu sebelum lahir UU 73/1958 tentang Unifikasi KUHP.
Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Nasional, pidana tutupan akan dihidupkan kembali. Di dalam penjelasan pasal mengenai pidana tutupan dalam RUU KUHP disebutkan, meskipun pidana tutupan merupakan salah satu jenis pidana pokok, tetapi pada dasarnya merupakan cara pelaksanaan dari pidana penjara yang bersifat istimewa (bijzondere strafmodaliteit). Oleh karena itu, jenis pidana ini tidak diancamkan secara khusus dalam perumusan suatu tindak pidana. Pertimbangan penjatuhan pidana tutupan didasarkan pada motif dari pembuat tindak pidana, yaitu karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tindak pidana yang dilakukan karena alasan ini pada dasarnya tindak pidana politik. Maksud yang patut dihormati harus ditentukan oleh hakim dan harus termuat dalam pertimbangan putusannya.
Hak
Hak-hak warga binaan diatur dalam Pasal 14 UU No.12/1995, yang menyatakan warga binaan berhak: (a) melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; (b) mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani; (c) mendapatkan pendidikan dan pengajaran; (d) mendapatkan kesehatan dan makanan yang layak; (e) menyampaikan keluhan; (f) mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; (g) mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; (h) menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; (i) mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); (j) mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; (k) mendapatkan pembebasan bersyarat; (l) mendapatkan cuti menjelang bebas; (m) mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat dan tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Pemerintah No.28/2006 jo. Peraturan Pemerintah No.32/1999. Pasal 15 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan, hak-hak lain yang dimaksud dalam peraturan pemerintah ini adalah hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan. Selanjutnya menurut Pasal 52 PP tersebut, hak keperdataan lainnya meliputi: (a) surat-menyurat dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya; (b) izin keluar lapas dalam hal-hal luar biasa.
Perlakuan istimewa terhadap Ayin yang dihukum 3 tahun penjara, serta Aling yang dihukum penjara seumur hidup, sangatlah mencolok bila dibandingkan dengan perlakuan terhadap napi lain yang berdesak-desakan dalam sel tahanan. Menyimak peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik Ayin maupun Aling tidaklah layak diperlakukan secara istimewa karena tindak pidana mereka adalah kriminal murni, bukan kasus politik atau bermotif perbuatan yang patut dihormati, malah tindak pidana yang dilakukan mereka sangatlah berbahaya bagi kelangsungan kehidupan bangsa dan negara.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum telah berhasil membongkar satu kasus bobroknya subsistem terakhir dari sistem peradilan pidana, yaitu lembaga pemasyarakatan. Konon kasus Ayin dan Aling hanyalah fenomena puncak gunung es. Untuk tercapainya supremasi hukum, mafia hukum memang harus diberantas tuntas, khususnya yang menyangkut mafia peradilan (sistem peradilan pidana dan sistem peradilan lainnya), serta umumnya mafia hukum di luar sistem peradilan. Jalan terjal itu masih panjang, semoga kegiatan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bukanlah gebrakan sesaat dan bukan pula politik pencitraan semata.***
Penulis, advokat dan dosen Hukum Penitensier Fakultas Hukum Unpas Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 18 Januari 2010