17 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Agenda Pokok Ekonomi

Agenda Pokok Ekonomi

SEIRING dengan perkiraan mulai membaiknya ekonomi dunia, ekonomi Indonesia diprediksi akan membaik. Tentu perkiraan tersebut tidak mengherankan sebab ketika ekonomi dunia tumbuh minus 1,1% pada tahun 2009 Indonesia diperkirakan masih mampu tumbuh sekitar 4,2% - 4,7%. Pada tahun ini, perekonomian dunia diperkirakan tumbuh rata-rata 3,1% dan perdagangan dunia meningkat rata-rata 2,5% seiring dengan mulai bangkitnya negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa.

Optimisme terhadap perekonomian Indonesia ditunjukkan oleh berbagai prediksi yang hampir semuanya menunjukkan indikator membaik dibanding tahun lalu. Ekonomi Indonesia diprediksi tumbuh rata-rata 5,4- 5,9%, dan  tingkat inflasi  4,5-5,5%. Sementara BI rate sekitar 6,5 - 7 %,  dan investasi diperkirakan tumbuh rata-rata 8,5 %.


Optimisme ini juga ditunjukkan oleh sektor perbankan dan pasar uang. Industri perbankan Indonesia, memperkirakan pertumbuhan kredit rata-rata meningkat berkisar antara 15 dan 20 %.

Ada sejumlah agenda pokok yang harus dilakukan  agar ekonomi Indonesia berada di jalur yang tepat.  Di antaranya upaya mendorong industri  perbankan meningkatkan peran intermedianya. Di sisi fiskal banyak masalah laten yang harus segera dibenahi. Pemerintah pun perlu serius mengantisipasi perkembangan ASEAN-China FTA.

Tahun lalu pemerintah mampu menjaga stabilitas moneter dengan mantap. Tingkat inflasi  bisa dijaga pada tingkat yang sangat rendah, yakni sekitar 3,0%.  Kurs rupiah yang pada awal tahun pada posisi sekitar Rp 11.500 per dolar AS, pada akhir tahun bisa dibawa ke posisi rata-rata Rp 9.437.

Keberhasilan mengendalikan inflasi ini, memungkinkan kurs rupiah stabil. Dalam jangka panjang, tren inflasi yang menurun  terbukti mempunyai korelasi positif terhadap penguatan rupiah (Purchasing Power Parity Theory: PPP). Dengan mendasarkan pendekatan PPP, posisi rupiah saat ini cukup aman dan sangat kuat, jauh di atas kurs paritas jangka panjangnya yakni sekitar Rp.11.050 per dolar AS (Fisher Effect Theory). 

Sementara, dalam jangka pendek kurs rupiah masih sedikit di bawah kurs paritas jangka pendek (CIP Theory), yakni sekitar Rp 9.100 per dolar AS. Artinya posisi rupiah masih mungkin untuk menguat mendekati kurs paritas jangka pendek. Tingginya kurs paritas jangka pendek ini terutama disebabkan oleh kebijakan tingkat bunga rendah di AS. Dengan kata lain, jika AS menaikkan suku bunganya, sangat mungkin kurs paritas akan berubah mendekati posisi rupiah saat ini. 

Di sisi lain, kuatnya posisi rupiah tersebut  mengindikasikan ruang yang relatif terbatas bagi BI untuk bermanuver menurunkan BI rate guna  mendorong tingkat bunga lebih rendah lagi. Situasi ini juga tergambarkan oleh posisi selisih tingkat bunga riil luar negeri dengan tingkat bunga domestik yang sangat kecil yakni sekitar 0,8 % untuk dolar AS dan sedikit lebih tinggi untuk yen Jepang. Selain itu, posisi kuatnya rupiah ini juga ditunjang cadangan devisa yang cukup besar, yakni sekitar 65,8 miliar dolar AS.
Intermediasi Dari gambaran tersebut diperkirakan  dalam jangka pendek Bank Indonesia tidak lagi akan menurunkan  BI rate.  Tentu hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi ekonomi Indonesia, mengingat suku bunga domestik, khususnya suku bunga pinjaman, masih sangat tinggi. Konsekuensinya, BI harus mengupayakan intrumen moneter lain agar fungsi intermediasi perbankan bisa lebih meningkat.

Terkait dengan agenda di bidang  industri perbankan, pada tahun ini pemerintah harus mendorong peran intermediasi perbankan meningkat jauh lebih cepat. Sampai akhir triwulan 3 tahun 2009, pertumbuhan kredit rata-rata hanya mencapai 9,6%. Dalam hal inipun, jumlah terbesar masih pada kredit konsumsi, yang rata-rata tumbuh 15,4%. Penyaluran kredit untuk usaha mikro kecil dan menengah meningkat rata-rata  14,4% dengan pertumbuhan paling tinggi untuk usaha kecil yakni sekitar 27,5%, walau sebagian besar dari kredit tersebut digunakan untuk tujuan konsumsi yang rata-rata tumbuh 18,1%.

Tren menurun suku bunga pinjaman sangat lambat. Tahun 2001, suku bunga rata-rata berada pada tingkat 19 % - 20 %, sampai triwulan 3 tahun 2009, tingkat bunga kredit investasi masih rata-rata 13,2 %, kredit modal kerja: 14,09 % dan kredit konsumsi: 16,53 %. Walau dalam periode tersebut  BI rate menurun drastis dan laju inflasi sudah sangat rendah, tetap saja tingkat bunga kredit masih sangat tinggi.

Indikasi lain adanya persoalan intermediasi adalah selisih tingkat bunga pinjaman dengan tingkat bunga deposito (spread) yang sangat tinggi, maupun tingkat bunga riil yang tinggi pula. Spread untuk kredit investasi masih sekitar 5,15 %, kredit modal kerja 6,12%, dan kredit konsumsi 8,56 %. Tingkat bunga riil untuk investasi rata-rata 9,47 %, modal kerja 10,44 %, dan konsumsi 12,88 %.

Sebagai pembading, di AS tingkat bunga prime rate sebagai cermin tingkat bunga pinjaman pada umumnya rata-rata 3,47 % dan Fed rate 0,5 %, yang berarti spread rata-rata sekitar 3 %. Jadi apabila dibandingkan dengan pasar uang AS, selisih spread rata-rata 2,5 - 3,5 %. Perbedaan spread yang sangat besar ini mengindikasikan bahwa industri perbankan Indonesia masih dilanda kekhawatiran adanya risiko yang besar pula. Inilah persoalan besar yang melanda industri perbankan kita saat ini.

Berkaitan dengan kondisi industri perbankan tersebut, BI  harus melakukan perubahan besar dalam kebijakan perbankan, khususnya berkaitan dengan perhitungan faktor risiko, terutama lagi berkaitan dengan risiko kredit. Kebijakan tersebut memang tetap harus konservatif, tetapi dengan penekanan pada konsep risiko. Indikator-indikator penilaian kesehatan bank dan juga kebijakan cadangan berbasis pada risiko.

Bagi industri perbankan ini akan menjadi insentif dalam melakukan fungsinya sebagai lembaga intermediasi, dan hal ini diharapkan mampu memecah kebekuan masalah intermediasi yang selama ini kita hadapi.

Menyangkut bidang fiskal, seperti diketahui, pendapatan  negara  pada APBN 2009  mencapai sekitar Rp 866,8 triliun atau 99,5 % dari target. Sementara target pendapatan pajak mencapai 98,3 % atau  Rp 641 triliun (Depkeu Desember 2009).  Realisasi potensi penerimaan pajak ini menjadi agenda pokok kebijakan fiskal tahun 2010 ini. Efek positif kasus Bank Century (terlepas dari kasusnya)   telah mengungkapkan fakta akan  banyaknya penunggak pajak yang belum mampu ditangani Depkeu. (10)

— FX Sugiyanto, Ketua Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi (LSKE) dan guru besar FE Undip
Wacana Suara Merdeka 18 Januari 2010