17 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Pentingnya narasi sejarah lokal

Pentingnya narasi sejarah lokal

Jika mengunjungi Yogyakarta, orang akan menemukan banyak situs bersejarah peninggalan masa lalu. Seperti situs tempat tinggal, benteng, keraton, perkampungan kuno, tempat ibadah, dan sebagainya. Tidak berlebihan jika orang menyebut Yogyakarta sebagai kota seribu situs.

Karena banyaknya situs bersejarah itu pula, Yogyakarta pernah mendapat gelar dari UNESCO sebagai The League of Historical Cities, bersama 88 kota besar bersejarah seperti Kyoto, Paris, London, Boston dan sebagainya.


Sayangnya, pemberian gelar agung itu tidak berbanding lurus dengan apresiasi masyarakat lokal untuk melestarikan keberadaan berbagai situs sejarah. Buktinya, kini situs-situs itu amat memprihatinkan lantaran tidak terawat atau terpelihara. Bahkan situs bersejarah itu seakan bisu, akibat sedikit penduduk lokal yang mampu mengisahkan riwayat sejarahnya.
Jika ada, umumnya sudah berusia lanjut dan kurang runtut jika diminta menarasikan hal ihwal sebuah situs. Akibatnya, banyak pengunjung yang kesulitan memahami atau menangkap pesan sejarah di balik situs tersebut
Sekali waktu, cobalah Anda mengunjungi situs petilasan Ki Ageng Giring dan Goa Kembanglampir di daerah Paliyan, Gunungkidul (sekitar 40 kilometer arah selatan Kota Yogyakarta). Di tempat ini, Anda pasti akan dibuat kecewa karena tidak banyak penduduk yang mengetahui sejarahnya. Jika ada, narasi yang diberikan sepotong-sepotong dan terkadang kurang rasional karena kental dibumbui unsur mistis ketimbang data rasional.
Padahal, jika dilacak dari berbagai literatur kuno semisal Serat Centhini atau Babad Tanah Jawa, kedua tempat ini memiliki akar sejarah tumbuh-kembangnya kerajaan Mataram. Konon, masa kecil Danang Sutawijaya yang kelak bernama Panembahan Senopati dihabiskan di daerah ini ketika berguru pada Ki Ageng Giring.
Di daerah Mangunan, Dlingo (sekitar 30 kilometer arah selatan dari Kota Yogyakarta),terdapat sebuah situs petilasan kuno peninggalan Sultan Agung. Masyarakat lokal pun tidak banyak tahu hal ihwal petilasan itu, meski sangat dekat dengan ladang dan sawah mereka. Padahal, menurut salah seorang sejarawan, di situ dulunya Sultan Agung bermeditasi dan merenung memikirkan nasib kawulanya. Bahkan ketika hendak memilih lokasi permakaman, beliau juga bermeditasi di situ.
Tidak jauh dari Dusun Mangunan, kita akan sampai di wilayah Pleret atau Kerta. Di dua desa ini pernah berdiri kerajaan besar Mataram Baru pada era Sultan Agung dan dilanjutkan era Amangkurat Agung dan penerus lainnya. Anda akan menemukan sisa-sisa jejak kejayaan berupa artefak, seperti fondasi bangunan yang kini terserak di antara rumah penduduk yang padat. Mungkin Anda akan mengelus dada. Jejak sejarah Mataram Baru seperti “mengabur” di situ. Kebesaran kerajaan ini seperti tak punya riwayat, tidak punya narasi arkeologis, kecuali dari narasi lisan dari penduduk sekitar yang sepotong-sepotong. Bagaimana nasib situs yang terdapat di daerah Sleman, Bantul dan Kulonprogo? Tampaknya setali tiga uang, telantar dan tidak ada narasi sejarahnya.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang harus dilakukan masyarakat bersama pemangku kepentingan guna mempertahankan keberadaan situs sejarah itu? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan.

Situs
Menurut Indra Tranggono (2009), narasi sebuah situs—saya menyebutnya sebagai narasi sejarah lokal—mutlak diperlukan. Sebab, sejarah tidak hanya memiliki narasi besar (mayor) yang berkisah tentang tokoh-tokoh dengan seluruh tindakan historisnya.
Sejarah, juga mengandung banyak serpihan yang mengandung narasi kecil (minor) tentang bangunan dengan seluruh pernik-perniknya, kisah manusia yang terjadi di dalam kemelut persoalan politik, sosial, budaya, dan hal-hal lain yang layak diketahui sebagai referensi bagi generasi demi generasi. Dalam konteks tersebut, situs-situs bersejarah merupakan tanda yang secara semiotik dan faktual dapat dibaca untuk mengenali sosok sebuah kekuasaan dan tokohnya secara komprehensif.

Selain itu, narasi sejarah lokal juga bisa menjadi sarana rekonstruksi sejarah—meminjam istilah Kuntowijoyo (1992)—agar spirit dari situs dan peninggalan sejarah itu, bisa menjiwai masyarakat di sekitarnya. Ketika masyarakat lokal tidak lagi memahami sejarah sebuah situs di daerahnya, maka bisa dipastikan perasaan handarbeni, merawat dan menjaga itu akan hilang. Jangankan merawat, mengunjungi saja mereka enggan. Jika demikian halnya, transformasi nilai historis dan spirit sebuah situs terhadap penduduk lokal, tidak akan terjadi.
Dan bisa dipastikan keberadaan situs amat rawan dari tindak kriminal; dicuri, atau sengaja dijual penduduk lokal kepada penadah benda-benda peninggalan purbakala. Kita tentu tidak ingin satu generasi mendatang, terlepas akar sejarahnya lantaran rusak dan musnahnya situs-situs sejarah. Sebelum terlambat, sudah saatnya pemerintah dibantu masyarakat, melakukan pelacakan riwayat situs penting, baik yang mayor maupun yang minor, dalam bentuk penulisan.
Memang ada kesan miring tentang penulisan narasi situs sejarah lokal. Sebagian kalangan menganggap itu pekerjaan sia-sia; karena sudah ada versi lengkap yang ditulis oleh ahli sejarah dari negara lain (Belanda). Tentu saja anggapan demikian tidak sepenuhnya benar. Itu karena narasi sejarah lokal bukan hanya berguna bagi pembelajaran masyarakat atas sejarah leluhurnya, melainkan juga dapat mendukung dinamika jagat pariwisata di tempat itu.
Para pelancong dalam dan luar negeri itu, ingin mengetahui kejayaan masa lalu Jogja bukan hanya dari situs-situs belaka. Mereka butuh narasi yang akan memberikan cara pandang baru, dan rasa ketertarikan lebih dalam tentang kota ini. Ketika ketertarikan itu muncul, mereka tentu akan kembali lagi tidak hanya sendirian, tetapi dengan keluarga dan rekan-rekannya. Sudah pasti, dunia pariwisata Jogja pada umumnya dan masyarakat lokal sekitar situs akan diuntungkan.
Akhirnya, sudah saatnya kita membuat narasi sejarah situs-situs peninggalan masa lalu. Selain sebagai sebagai wujud penghargaan, melalui narasi itu kita bisa mengambil hikmah sembari meneruskan perjuangan para pendahulu. Semoga. - Oleh : Agus Wibowo, Penggiat Komunitas Aksara Yogyakarta/JIBI/Harian Jogja

Opini Solo Pos 18 Januari 2010