17 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Mengembalikan Roh Alun-alun Tegal

Mengembalikan Roh Alun-alun Tegal

MENGEJUTKAN, Pemkot Tegal dalam kepemimpinan Wali Kota Adi Winarso melarang pementasan di alun-alun. Meski pun tidak diperdakan sebagaimana larangan miras dan pelacuran, larangan ini menurut sumber anggota DPRD, merupakan kebijakan Wali Kota yang ditindaklanjuti Dinas Perhubungan Pariwisata (Dishubpar).

Kebijaksanaan ini menurut sumber itu atas usulan dari hasil musyawarah organisasi massa keagamaan. Alasannya berdasarkan keberadaan tempat beribadah, Masjid Agung, yang berhadapan dengan alun-alun. Pentas-pentas untuk rakyat itu dianggap melanggar nilai kepatutan.


Untuk itu alun-alun hanya diizinkan untuk upacara hari besar nasional atau pentas yang ada kaitan dengan agama. Antara lain yang baru-baru ini berlangsung, acara HUT Ke-429 Kota Tegal dengan pentas Shalawat Barzanji.

Pentas yang mengangkat skenario karya Rendra berbiaya Rp 200 juta dan berdurasi 1 jam itu, dianggap sukses dan dijadikan contoh pentas yang memenuhi nilai kepatutan.

Ini memang berbeda dari acara HUT sebelumnya, yang menggelar wayang kulit semalam suntuk. Atau pentas band berjenis musik keras R & B (rock and blues) dari Bandung dan Yogyakarta, lengkap dengan pesta kembang api berharga ratusan juta rupiah.

Saat itu Kota Tegal sedang gencar-gencarnya menerapkan  slogan Tegal Keminclong Moncer Kotane (Tegal Bercahaya Meriah Kotanya) atau Tegal Laka-Laka (Tegal yang tiada duanya).

Merupakan slogan yang meski menggunakan bahasa Tegal, berbau konsumerisme metropolis. Yang kalau dipraktikkan aromanya tidak jauh dari kapitalisme, yang lebih menghargai kebendaan ketimbang kemanusiaan.

Terbukti setelah ditata sebagaimana di banyak kota, alun-alun berubah dari pusat budaya (public space) menjadi pusat pasar (economic area). Iklan-iklan bermunculan dalam bentuk poster, baliho berukuran jumbo, hingga iklan sinema.

Bahkan di sekeliling alun-alun ada pemasangan poster satu produk dari perusahaan tertentu. Dengan demikian kesan keseluruhan, di samping seputar alun-alun yang berubah menjadi economic area, rehabilitasi alun-alun itu didanai oleh perusahaan pemasang iklan itu.

Padahal jelas-jelas penataan itu dibiayai APBD, yang hakikatnya uang yang ditarik dari pajak rakyat. Tidak itu saja, alun-alun sebagai aset pemerintah dan milik masyarakat, kini terkesan menjadi milik sepenuhnya perusahaan bersangkutan. Karena pemasangan iklan itu memenuhi seluruh lingkaran alun-alun, dalam bentuk tugu-tugu.
Mendalam Belum jelas benar apakah musyawarah organisasi massa juga membicarakan persoalan yang lebih mendasar itu. Persoalan yang lebih berskala norma sosial dan bermatra etika budaya, ketimbang usulan yang sekadar bersifat indoktrinasi praktis/pragmatis.

Bahwa bukan pentasnya yang keseluruhan mengalami pelarangan, tapi ada pentas-pentas yang memang tidak sesuai dengan nilai kepatutan.

Yakni apakah pentas itu memiliki nilai keindahan (seni-budaya), ataukan hanya memenuhi selera kemewahan (konsumerisme-kapitalis) yang ujungnya hanya penghamburan uang rakyat.

Hal inilah yang menjadi pertanyaan Dewan Kesenian Tegal (DKT) melalui ketua umumnya Nurngudiono. Sebab saat menjabat Sekretaris DKT, atas ide Ketua saat itu Sisdiono Ahmad, ia menjadi pelaksana pergelaran seni bulanan di alun-alun.

Pentas sebulan sekali itu dimaksudkan sebagai usaha pemasyarakatan seni, sehingga karya para seniman Tegal bisa diapresiasi oleh masyarakat umum.

Tidak seperti kebanyakan terjadi, pentas-pentas seni lebih bersifat eksklusif karena hanya dipentaskan di Gedung Kesenian Tegal. Dengan demikian karya-karya seni yang ada hanya disaksikan oleh kalangan seniman atau masyarakat seni sendiri.

Kedua, dalam beberapa kali diskusi yang melibatkan budayawan, anggota DPRD, ahli hukum dan managerial, pembicaraan mengenai keberadaan alun-alun sebagai economic area dan mengalami jalan buntu.

Hal itu disebabkan adanya warisan kepemimpinan yang mendasarkan diri pada slogan kapitalistik dalam bahasa tegalan itu, tanpa adanya kesadaran kebudayaan sebagai institusi ataupun nilai.

Atau tidak adanya pemikiran budaya dari DPRD, serta langkanya peran DKT sebagai kepanjangan pemkot sekaligus pemberi kontribusi ide-ide kesenian dan kebudayaan.

Dalam diskusi bahasa tegalan di Komunitas Roti Bakar (KRB) Tegal beberapa waktu lalu, wali kota yang baru, Ikmal Jaya justru membuka dengan pertanyaan tentang bagaimana sebaiknya keberadaan alun-alun.

Ide-ide pun bermunculan, tapi tidak ada yang menyentuh persoalan mendasar kecuali rencana mengadakan kembali pentas bulanan DKT.

Lembaga kesenian atau organisasi massa lebih bersifat institusional formal dan tidak memiliki kesadaran kebudayan berdasarkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan.

Padahal hubungan dalam konteks inilah, yang perlu difungsionalkan antara kelembagaan seni-budaya atau organisasi massa dan pemkot.   (10)

 — Eko Tunas, budayawan pantura Jateng, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 18 Januari 2010