01 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Mengenang Gus Dur

Mengenang Gus Dur

Oleh H. Usep Romli H.M.

Karena pernah aktif di lingkungan Jam`iyah Nahdlatul Ulama (NU) sejak 1965 (anggota "kelas teri") hingga 2001 (menjadi anggota penasihat Lajnah Ta`lif wan Nasr PWNU Jabar), agak sering juga bertemu langsung dengan K.H. Abdurahman Wahid dalam  beberapa acara ke-NU-an. Apalagi, setelah menjadi wartawan Pikiran Rakyat di Bandung (1980-2004), sering mewawancarainya, sejak Gus Dur menjabat Khatib Syuriah (Sekretaris Legislatif) PBNU hingga menjadi Ketua Umum Tandzfidiyah (Eksekutif) PBNU tiga periode (1984-1999).


Di samping menambah wawasan soal NU dan pesantren, dari Gus Dur penulis mendapat banyak pasokan humor. Aneka macam humor, baik yang klasik maupun yang baru dan spontan, sering dilontarkan Gus Dur dalam berbagai kesempatan. Para wartawan betah mewawancarai Gus Dur karena selalu dibumbui humor-humor segar yang sulit diperoleh dari narasumber lain.

Salah satu humor termashur dari Gus Dur adalah lontaran sinis kepada anggota DPR RI yang ramai-ramai ”mengeroyok” dirinya tatkala menjabat presiden (1999-2001). Dalam acara resmi keterangan pemerintah pada sidang paripurna DPR, yang disiarkan langsung TV, Gus Dur mengatakan "Kok DPR seperti taman kanak-kanak". Ya, karena para anggota DPR ribut menginterupsi tanpa mengindahkan peringatan Ketua DPR (Akbar Tanjung), yang berkali-kali mengetukkan palu meminta para anggota tenang dan tertib.

Kepiawaian Gus Dur dalam berhumor dibuktikan dalam menulis kata pengantar untuk buku "Mati Ketawa Cara Rusia" (1986). Buku tersebut laris manis. Mengalami cetak ulang berkali-kali. Juga dibajak. Buku itu bahkan dianggap tonggak bagi kejayaan penerbitan buku-buku humor di Indonesia. Sejak itulah, buku-buku humor, baik asli maupun terjemahan, meledak di pasaran. Humor Amerika, Jepang, Irlandia, Cina, bahkan Arab -- termasuk humor-humor sufi -- laku keras di mana-mana.

Awal 1992, saya ditugaskan "PR" meliput Musyawarah Nasional (Munas) Ulama NU di Bandarlampung, sekaligus "melatih" wartawan "PR" junior, Wakhudin. Ratusan ulama dari seluruh Indonesia berdatangan, dengan tampang dan dandanan berbeda-beda. Ada yang "tradisional-konvensional", pakai sarung dan sorban, beraroma parfum Mekah. Ada yang "modern", berjas, berdasi, semerbak parfum Paris. Pada waktu rehat, Gus Dur ditemani K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus), Arifin Junaidi, Masdar Farid Mas`udi, dll. tokoh-tokoh muda PBNU, dikelilingi wartawan yang menanyakan terutama soal Pemilu 1992 dua tiga bulan mendatang.

Tiba-tiba Gus Dur menunjuk ke arah ruangan munas. Kepada para kiai yang berkerumun di sana. Ia berkata, "Melihat para ulama tradisional dan modern begitu, saya teringat humor. Ada pengusaha muda, memiliki mobil mewah Mercy baru. Agar segalanya lancar, pengusaha yang pernah aktif di kelompok remaja masjid itu ingin meminta berkah dari ulama. Datanglah ia ke ulama tradisional terkenal. Menerangkan maksudnya, punya Mercy ingin diberkahi. Mercy? Kiai itu terbengong-bengong. Apa Mercy? Karena tidak nyambung, ia datang ke seorang kiai modern yang sedang ngetop. Pak Kiai, kata pengusaha aktivis masjid itu, saya punya Mercy baru ingin diberkahi. Berkah? Kiai modern terbengong-bengong. Apa itu berkah?"

Pada Muktamar NU ke-29 (1994) di Cipasung, Tasikmalaya, Gus Dur sedang dibenci oleh Presiden Soeharto. Penyebabnya, dalam buku "Waiting for Nation" karya Adam Swarcht, Gus Dur menilai Pak Harto "bodoh" sehingga ketika  muktamar dibuka, Gus Dur tak boleh duduk mendampingi Pak Harto. Ia disingkirkan ke deretan kursi belakang, bersama Megawati, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI, belum memakai embel-embel "Perjuangan"). Yang mendampingi Pak Harto, hanya K.H. Ilyas Ruhiyat, Rois Am PBNU, bersama K.H. Rozy Munir, Ketua Panitia Muktamar. Tampak janggal sekali.

Begitu pula setelah acara pembukaan selesai, dan presiden beristirahat di aula STAI Cipasung diiringi K.H. Ilyas, Gus Dur tak boleh masuk. Berdiri saja di halaman. Para wartawan merubungnya sambil bertanya, "Gus, enggak boleh dekat-dekat presiden, ya?"

"Ah, enggak masalah," GusDur cuek bebek. "Daripada mikirin ingin dekat-dekat presiden, lebih baik jadi presiden sekalian aja nanti!"

Lima tahun kemudian (1999), Gus Dur berkesempatan menjadi presiden RI.

Acara pemandangan umum paling menarik di Muktamar Cipasung. Sebab, muktamirin terpecah akibat intevensi luar. Isu yang beredar, Gus Dur tak akan dipilih lagi karena "tidak boleh" oleh Pak Harto. Akan tetapi, sebagian ingin tetap mempertahankan. Kalangan wartawan pun terbagi dalam kubu pro-kontra. Oleh karena itu, acara pemandangan umum, selain disesaki peserta pemilik hak suara, juga para peninjau dan wartawan yang ingin meraba-raba situasi.

Satu per satu pengurus cabang dan wilayah menyampaikan pidato. Sejak acara dimulai pukul 21.00 WIB, Gus Dur langsung tertidur lelap. Menjelang subuh, pemandangan umum selesai. Gus Dur dibangunkan. Tanpa itu ini, Gus Dur langsung menjawab semua permasalahan. Rinci sekali. Maka ketika ketua sidang bertanya, apakah hadirin menolak atau menerima pertanggungjawaban PBNU masa bakti 1989-1994, semua menjawab menerima. Tanpa interupsi tambahan, juga tanpa catatan keberatan. Kalangan wartawan  yang kontra tak lagi berani menulis pendapat Kadisospol Jabar atau Kasospol ABRI yang keterangan-keterangannya memojokkan Gus Dur.

Setelah resmi terpilih dan dilantik oleh Rois Am K.H. Ilyas Ruhiyat, Gus Dur mengadakan jumpa pers. Para wartawan mencoba bertanya, apa kiat memenangkan pertarungan kursi Ketua Umum PBNU yang semula alot dan diperkirakan Gus Dur tersingkir, tetapi menjadi tampak mudah.

Jawab Gus Dur, "Tanya saja pada muktamirin, mengapa memilih lagi saya, bukan orang lain. Begitu saja kok repot!"

Gus Dur sudah pergi menghadap Ilahi. Semoga diterima iman, Islam, dan amal salehnya selama 69 tahun (1940-2009) mengarungi hidup. Allahummagfirlahu warhamhu aw`afihi wa`fuanhu wa akrim nuzulahu wawassi madhalahu.***

Penulis, wartawan ”PR” (1980-2004).
Opini Pikiran Rakyat 2 Januari 2009