01 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Agama dan Transformasi Global

Agama dan Transformasi Global

Bahkan selama berabad-abad sejarah interaksi antarumat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan, dengan dalih demi mencapai rida Tuhan.

TANGGAL 3 Januari 2010, Departemen Agama (Depag) genap berusia 64 tahun. Setiap kali peringatan tidak menyebut dengan ulang tahun atau hari lahir, tetapi dengan istilah Hari Amal Bakti (HAB). Jika secara personal, ulama sebagai penerus perjuangan Nabi Muhamad, al-ulama’u al-warosatu al-anbiya’, lalu secara kelembagaan atau institusi,  Depag dari sisi tugas pokok dan fungsinya mirip sebagai penerus perjuangan Nabi.


Soalnya, menurut Ahmad Syafi’i Maarif dalam bukunya Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009) bahwa antara Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan tidak saja bisa berjalan bersama dan seiring, tetapi ketiganya dapat menyatu dan saling mengisi untuk membangun sebuah tamansari khas Indonesia. Di taman sari ini, watak universal Islam tampil dalam wujud kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, agama yang merupakan salah satu unsur penting dalam nation and character building memainkan peranan cukup besar, dan kerukunan hidup bernegara merupakan salah satu tujuan pembangunan di bidang agama. Pasalnya, ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari: di rumah, kantor, media, pasar bahkan dalam kehidupan bernegara. Begitu misterius, ia suatu saat bisa menampakkan wajah-wajah yang tampak berlawanan: memotivasi kekerasan tanpa belas kasihan, pengabdian tanpa batas, mengilhami pencarian ilmu tertinggi, atau menyuburkan tahayul dan supertisi, menciptakan gerakan masa paling kolosal, atau menyikapi misteri rohani paling personal, memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki. Demikian dikemukakan oleh Jalaludin Rahmat dalam bukunya Psikologi Agama (2005).

Radikalisme dan kekerasan dalam sejarah agama-agama memang menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Dewasa ini radikalisme dan kekerasan agama bukan saja menjadi fenomena lokal, tetapi juga nasional bahkan global. Karena itu dalam rangka mencari kejelasan tentang anatomi radikalisme dan kekerasan agama serta solusi terhadapnya, pemahaman terhadap kekerasan itu sangat diperlukan.

Sejak reformasi menjadi babak baru perjalanan bangsa Indonesia beberapa tahun silam, konflik dan kekerasan nampaknya menjadi fenomena yang selalu mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat. Konflik dan kekerasan itu sering sejalan dengan munculnya keinginan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan sosial politik yang kemudian dikenal dengan istilah reformasi itu.

Secara normatif agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk hidup dalam kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan agama secara sosiologis maupun teologis muncul untuk merespons persoalan yang dihadapi umat manusia.

Agama hadir untuk menyantuni dan menyelamatkan anak manusia, menunjukkan jalan-jalan kedamaian, keselamatan, menghilangkan ketidakpastian dan mendatangkan ketenteraman, mengajarkan kasih sayang sesama manusia, memelihara hubungan baik dengan sesama dan dengan lingkungan hidup, maupun mendekatkan diri dengan Tuhan.
Pada kenyataannya, sejarah kehidupan dan peradaban manusia terus mengalami perubahan. Seiring dengan itu, agama kemudian menjadi seperti institusi paling tua dalam sejarah peradaban manusia yang diharapkan menjadi sarana untuk menggapai makna hidup. Dengan demikian, menjadi niscaya apabila umat beragama senantiasa dihadapkan kepada kebutuhan untuk merekonstruksi sistem ajaran yang dimilikinya dalam rangka menunjukkan kemampuan agama untuk terlibat dan berdialektika  dengan perubahan sejarah peradabahn manusia.

Jika agama tidak mampu lagi menunjukkan signifikansinya, keberadaannya dalam sebuah gerakan peradaban yang dinamis, agama dipertanyakan keabsahan klaimnya sebagai pembawa panji keselamatan dan perdamaian umat manusia.

Ada dua kategori pandangan terhadap agama. Pertama, pandangan yang optimistis dan positif terhadap agama. Pandangan ini melihat bahwa agama hadir untuk menyempurnakan tanggung jawab manusia dalam sejarah dan kehidupannya, karena agama merupakan kaidah-kaidah transendental yang dibutuhkan manusia.

Dalam pelukan dan naungan agama-agama, manusia tumbuh sebagai mahluk yang kreatif, yang mampu melaksanakan tugas peradaban dan kebudayaan untuk mengatur alam dan menciptakan kedamaian hidup sebaga rahmat Tuhan. Pandangan semacam ini oleh Amin Abdullah (1997) disebut sebagai believer (mu’min).

Kedua, pandangan yang pesimistis dan negatif terhadap agama. Pandangan ini melihat agama sebagai sumber konflik baik internal maupun eksternal. Kehidupan agama memang acapkali mencerminkan kekuatan kreatif manusia, akan tetapi juga secara empiris memberikan gambaran kelemahannya.

Agama, bagaikan kereta paling tua yang ditumpangi manusia untuk mengantarkan mereka ke tujuan yang berbeda dari jalan yang berbeda pula. Di sana tampak keragaman jalan sebagai kekayaan sejarah manusia, pada situasi  yang demikian sering terlihat saling selisih antara agama-agama tak dapat dihindari oleh pemeluknya, bahkan bisa memunculkan barbarisme dan pertumpahan darah.

Dari sinilah muncul pandangan yang melihat realitas beragama secara negatif dan pesimistis. Bagi kalangan Marxis, agama adalah sebagaimana ideologi yang digunakan agar kelas penindas dapat mempertahankan privilege, kedudukan dan kekuasaannya diantara bangsa-bangsa. Pandangan semacam ini  muncul dari kalangan historian (mu’arikh) dalam melihat agama (Amin Abdullah 1997).

Kritik dan semangat untuk mempertanyakan kembali fungsi agama bagi perdamaian kini terus berlangsung, seiring dengan tuduhan keterlibatan agama menjadi elemen utama bagi pertentangan yang menimbulkan penghancuran kemanusiaan. Bahkan selama berabad-abad sejarah interaksi antarumat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan, dengan dalih demi mencapai rida Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari Yang Maha Kuasa.

Seiring dengan fenomena agama itu, maka persoalan yang penting untuk didiskuskan adalah di manakah seharusnya keberadaan agama itu diarahkan. Di dalam ruang sosial seperti ini apakah agama memiliki konstribusi positif bagi tatanan sosial kontemporer. Di sinilah pentingnya disadari bahwa sesungguhnya agama sedang dalam transformasi yang sangat besar dihadapkan pada proses modernisasi dan globalisasi yang terus berlangsung.

Ada tuntutan refigurasi agama di tengah arus migrasi, urbanisasi, komunikasi yang menembus batas-batas kultural. Persoalan utama bagi masyarakat beragama kemudian adalah bagaimana mempertahankan tradisi keberagamaannya sembari terlibat dalam transformasi sosial dan mengakui pluralisme sebagai realitas kultural. . (10)  

— Mohammad Bisri, Ketua Komite Pengembangan Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) Kabupaten Pekalongan
Wacana Suara Merdeka 2 Januari 2009