01 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Melawan melalui Lelucon

Melawan melalui Lelucon

MENGANGKAT judul kumpulan kolom Abdurrahman Wahid itu sebagai titel tulisan ini, maksudnya jelas, kita mencoba mengambil hikmah dan arah dari cara, gaya, bahkan pola yang melekat dalam diri Gus Dur ketika mengarungi hari-harinya sebagai tokoh penting republik ini, pada masanya. Baik pada masa-masa mudanya, ketika menakhodai Nahdlatul Ulama (NU), sebagai tokoh terdepan demokrasi, presiden keempat Republik Indonesia, maupun sebagai politisi. Buku berisi kolom-kolom pemikiran inklusif itu terbit pada 2000.
Sebagai tokoh komplet lintas disiplin bidang kehidupan, Gus Gur punya selera humor cerdas, menggelitik, mencerahkan, dan cenderung dekonstruktif. Kekuatan itulah yang kemudian menjadi bagian dari kaki perjalanannya meniti pilihan: membangun demokrasi yang disadari penuh risiko.


Melawan melalui lelucon merupakan kesadaran, humor punya kemampuan dahsyat pencerah di tengah kebekuan kekuasaan dan segala pilar penyangganya. Dengan humor orang bisa melintasi sekat-sekat ketakutan yang lazim melekat pada kekuasaan.

Lelucon dan bentuk-bentuk humor lain, kata Gus Dur, memang tidak dapat mengubah keadaan atas ”tenaga sendiri”. Ini sudah wajar, karena apalah kekuatan percikan perasaan manusia di hadapan kenyataan yang mencekam kehidupan bangsa secara keseluruhan. Sedangkan ideologi besar-besar pun tidak mampu melakukan hal itu sendirian, masih harus ditunjang oleh berbagai hal, seperti agama, buruknya keadaan ekonomi, sentimen-sentimen primordial, dan seterusnya.

Namun lelucon yang kreatif, tetapi kritis, akan merupakan bagian yang tidak boleh tidak harus diberi tempat dalam tradisi perlawanan kultural suatu bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak ingin kehilangan kehidupan waras dan sikap berimbang dalam menghadapi kenyataan pahit dalam lingkup sangat luas. Dera kepahitan dalam jangka panjang tidak mustahil akan ditundukkan oleh kesegaran humor (Abdurrahman Wahid: 2000).

*     *     *

GUS DUR sangat fasih mendekonstruksi keangkeran kekuasaan dengan caranya sendiri, baik sebagai pengawal proses-proses demokratisasi di Tanah Air pada era kekuasaan Orde Baru, maupun saat menjabat sebagai presiden. Dekonstruksi itu, tampaknya bukan di-setting secara sistematis, tetapi muncul dari naluri kuat untuk mencairkan segala bentuk keangkeran kekuasaan dan simbol-simbolnya. Tidak sedikit sikap dan langkah itu menyulut kontroversi dan komplikasi, namun Gus Dur konsisten dengan treknya.

Lelucon, dalam konteks pilihan Gus Dur, secara umum bisa dimaknai sebagai kemasan atau cara. Bahkan juga komitmen. Bukankah kritik bisa dilancarkan dengan beragam bentuk, dari yang bersifat telanjang dan lugas, penuh eufimisme, meniti buih, berkelak-kelok, atau dengan humor?

Kemasan itulah yang dipilih dengan puncak-puncak kesegaran leluconnya pada 1984 - 1999. Faktor kesehatan mungkin memengaruhi vitalitasnya dalam mengkritik lewat humor, namun dalam satu hal: ia mampu melembagakan formula untuk menghadapi keangkeran kekuasaan. Bahkan lihatlah Saudara-saudara, kematiannya pun tidak menerbitkan jarak pentakziahan antara rakyat dengan seorang tokoh besar yang berstatus sebagai mantan presiden. Seolah-olah Abdurrahman meninggal di pangkuan langsung rakyat.

Karut marut politik kenegaraan, pemerintahan, dan penegakan hukum belakangan ini kiranya membutuhkan sikap-sikap pencair. Kepanikan, ketertekanan, dan perasaan terancam yang menghinggapi para elite pemerintahan merefleksikan kondisi beku dan kaku. Tanpa ikhtiar yang bersifat dekonstruktif untuk mengurai kebekuan itu, atau kalau tidak ada tokoh-tokoh cerdas yang memelopori untuk mencairkan suasana dengan sikap-sikap yang out of the box, bukan tidak mungkin wajah muram pula yang akan terpantul ke wilayah publik yang membutuhkan keluwesan pelayanan pemerintahan.

Inilah warisan dari gabungan bakat dan formula Gus Dur: di antara jejak luar biasanya, ia meninggalkan pelajaran tentang perlawanan terhadap kondisi-kondisi beku dan muram dengan caranya, dengan humor-humornya. Memang dalam beberapa episode, ada kalanya kita menyaksikan ”kemuraman” yang muncul dari Gus Dur pula, namun hampir seluruh waktunya menghadirkan sosok yang secara alamiah meyakini lelucon sebagai ungkapan perlawanan.
Dari perspektif ini, pesan hikmahnya adalah: kekuasaan mestinya disikapi bukan sebagai segala-galanya. Atau, gitu saja kok repot...

— Amir Machmud NS, wartawan Suara Merdeka
Wacana Suara Merdeka 2 Januari 2009