SATU lagi peristiwa memilukan terjadi di negeri ini: tragedi kemanusiaan Mesuji. Tindak kekerasan antara petugas keamanan (pamswakarsa) perusahaan perkebunan swasta (asing) dengan warga ini berawal dari sengketa kepemilikan lahan. Kekerasan yang terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung itu merupakan akibat dari pengelolaan bisnis kelapa sawit yang tidak jujur dan merugikan masyarakat sejak 1997. Kekerasan meningkat ketika pihak perusahaan menolak mengembalikan lahan kepada masyarakat sehingga tidak kurang 30 warga tewas. Mabes Polri mengoreksi dengan menyebutkan korban tewas 9 orang, termasuk dua petugas pamswakarsa yang dipenggal kepalanya. (SM, 22/12/11).
Bila pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dipahami tidak hanya berupa tindakan (action) tetapi sekaligus juga pendiaman (omission), ketika pelanggaran dilakukan oleh individu atau kelompok individu yang bukan aparat negara --namun negara melalui aparatnya tidak melakukan tindakan apa pun, baik preventif maupun represif-- maka indikasi terjadinya pelanggaran HAM jelas terlihat.
Sikap pemda setempat melalui berbagai kebijakan dan tindakan yang tidak berpihak pada masyarakat, tetapi lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal, menjadi bukti cukup kuat. Begitu pula dengan jarak waktu yang cukup lama antara terjadinya peristiwa (April dan November 2011) dan pengungkapannya secara terbuka pada pertengahan Desember 2011 menjadi indikasi tidak tertanganinya kasus itu dengan baik, bila tidak mau dikatakan telah terjadi pembiaran. Apalagi rekomendasi Komnas HAM terhadap pemerintah pun tidak mendapatkan tanggapan semestinya.
Dampak Konglomerasi
Sesungguhnya tragedi Mesuji bukanlah satu-satunya di negeri ini berkaitan dengan sengketa kepemilikan lahan dan pengelolaan sumber daya alam antara masyarakat dan pemilik modal. Menurut Kontras, di samping terjadi di Lampung dan Sumatra Selatan, setidak-tidaknya saat ini ada 6 kasus besar serupa, dari Papua, Jambi, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, hingga Sulawesi Tengah.
Dari semua kasus itu, akhirnya selalu menempatkan rakyat sebagai korban yang tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan pemilik modal. Marginalisasi dan kriminalisasi merupakan stereotipe perlakuan yang menimpa mereka. Persinggungan kepentingan antara bisnis perusahaan (korporasi) dan warga setempat, berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM. Seperti hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pemenuhan hak-hak lainnya.
Persoalan ini sebenarnya merupakan salah satu akibat dari kecenderungan global yang menempatkan sektor privat (korporasi) sebagai pilar utama, di samping negara dan masyarakat sipil. Negara sebagai pemegang otoritas kedaulatan adalah pihak yang menentukan aktivitas bisnis macam apa yang mestinya boleh hidup dan berkembang di suatu negara. Orientasinya semata-mata untuk menyejahterakan rakyatnya. Idealnya, hubungan yang serasi di antara ketiganya akan melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Namun sebaliknya, tarik-menarik kepentingan di antara ketiga komponen tersebut menurut Eric Wilson justru menyebabkan pemerintah seringkali takluk pada kepentingan bisnis dan mengabaikan rakyatnya.
Tanggung Jawab
Dewasa ini perjuangan untuk menegakkan HAM menghadapi tantangan luar biasa sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme global yang menghendaki tata perekonomian dunia diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Hal ini mendorong munculnya korporasi sebagai pemilik modal dengan kekuatannya yang seringkali melebihi kekuatan negara.
Kendati masih diterima prinsip bahwa negara adalah pemegang kewajiban utama di bidang HAM, fakta menunjukkan dalam pola relasi kekuasaan horizontal, peluang terjadinya pelanggaran HAM menjadi lebih luas. Pelakunya juga meliputi aktor-aktor nonnegara, baik individu maupun korporasi. Artinya, pelanggaran HAM berpotensi dilakukan oleh korporasi, khususnya terhadap masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar perusahaan.
Keberadaan korporasi dan bisnis di mana pun pasti berorientasi mencari keuntungan. Namun bukan berarti hal itu bisa dilakukan dengan melanggar HAM masyarakat karena pelaku bisnis juga memiliki kewajiban di bidang HAM. Sebagaimana ditegaskan dalam Konferensi Dunia tentang HAM di Vienna pada 1993, bahwa pelaku bisnis memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati dan melaksanakan HAM. Hal ini kembali ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 2003 Nomor E/CN 4/ Sub 2/ 2003/ 12/ Rev 2 tentang Norms on the Responsibilities of Trans National Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Right.
Kewajiban dan tanggung jawab korporasi di bidang HAM lahir karena komitmen kemanusiaan dan kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, berisiko ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Pengingkaran terhadap kewajiban tersebut melahirkan tanggung jawab bagi pelaku bisnis sebagai pelaku pelanggaran HAM. Konsekuensinya, negara melalui pemerintah harus berani lebih tegas mengambil tindakan yang berpihak membela kepentingan rakyat. Tidak sekadar melakukan tindakan hukum bagi pelaku dan pemilik korporasi, namun yang lebih penting adalah upaya pengembalian dan pemenuhan hak-hak masyarakat melalui rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi bagi korban.
Kewajiban dan tanggung jawab tersebut menjadi makin penting mengingat masalah utama yang dihadapi manusia bukan lagi sekadar kejahatan kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai salah satu dampak dari eksploitasi dan ketidakpedulian korporasi sebagai pemilik modal. (10)
— Dr Rahayu SH MHum, Ketua Pusat Studi HAM dan HHI Fakultas Hukum Undip
Opini, Suara Merdeka, 23 Desember 2011,
22 Desember 2011
Tanggung Jawab Kasus Mesuji
Thank You!