22 Desember 2011

» Home » 21Desember 2011 » Opini » Suara Merdeka » 2012: Tahun Kebangkitan Indonesia

2012: Tahun Kebangkitan Indonesia

”Dunia saja sudah mengakui keberhasilan kita, mengapa kita masih saling tuding kesalahan, tidak percaya diri, dan tak mendukung pemerintah”
OPTIMISME masih layak diterbarkan memasuki 2012. Walaupun menteri-menteri masih tidur dan kabinet SBY belum banyak membuat gebrakan, ekonomi tetap jalan. Kendati kegaduhan politik sudah memunculkan wacana capres yang terlalu dini dan korupsi merajalela sampai ke mana-mana, pasar Indonesia, dengan 230 juta penduduknya, tetaplah besar. Inilah modal utama kita: domestic market.
Di tingkat global, perlambatan gerakan ekonomi sedang berjalan. Eropa masih dipusingkan oleh kemerosotan euro yang nyaris tak tertolong. Negara-negara kaya itu ternyata juga terlilit persoalan utang karena ketidakberimbangan anggarannya. Akibatnya ekonominya pun jatuh dengan pertumbuhan yang sangat minimal, untuk tidak mengatakan zero growth.
Karena solusi tak kunjung didapat, Moody’s akan menurunkan peringkat semua negara Eropa terkait dengan utang. Tak dapat dicegah, krisis Eropa merembet ke urusan politik sehingga akan membuat makin runyam dan panjang. Sudah lama negara-negara itu terkena sebuah penyakit baru, yakni ketidaksinkronan antara kebijakan politik dan ekonomi. Maka episentrum krisis global saat ini bergeser dari Amerika Serikat ke Eropa.
Di Amerika Serikat, walaupun kondisinya tidak separah Eropa, imbas krisis keuangan 2008 juga belum sepenuhnya pulih. Kepercayaan investor harus dibangun lagi sejak awal, sementara perekonomian domestiknya sudah lama menderita penyakit defisit anggaran yang besar. Lagi-lagi utang yang menjadi beban perekonomian sehingga kalau pun sudah positif pertumbuhannya sangat rendah.
Maka harapan satu-satunya adalah Asia. Banyak analis ekonomi yang menyebutkan sekaranglah saatnya kebangkitan Asia. Tahun 2012 bahkan disebutnya sebagai Tahun Asia. Tetapi saya lebih spesifik dan tegas lagi dengan menyebutkan 2012 adalah Tahun Indonesia. Karena justru negara-negara di Asia, terutama Asia Timur, masih tampil dengan performa yang bagus. China tetap memimpin dengan angka pertumbuhan yang tidak pernah kurang dari 8 persen. Jepang memang sedikit melamban karena beban finansial dan interaksinya yang kuat dengan pasar uang internasional, namun yang lain rata-rata tidak bermasalah.
Indonesia yang tahun ini diperkirakan bisa tumbuh 6 persen, tahun depan menurut asumsi APBN 2012 pertumbuhan mencapai 6,7 persen. Katakanlah itu terlalu optimistis, Bank Dunia pun merevisinya menjadi 6,2 persen. Tetaplah di atas 6 persen dan itu adalah sebuah ‘’kemewahan’’ di tengah kondisi global yang secara rata-rata masih meriang.

Ekonomi Riil
Di mana letak kekuatan ekonomi Asia, khususnya Indonesia? Bukan lagi di pasar saham dan pasar finansial, meskipun itu juga tetap penting dijaga kestabilannya. Perekonomian Indonesia sangat mengandalkan sektor riil yang juga mencapai kemajuan pesat terutama pada kuartal III tahun 2011. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) naik menjadi 6,5 persen (yoy/ year on year) selama tiga kuartal berturut-turut. Begitu juga dengan aliran modal dari luar yang berupa foreign direct investment (FDI) juga mengalir dengan lancar.
Jadi kendati penyerapan anggaran pemerintah seringkali lemah, sektor swasta bergerak lebih cepat. Ekspor pun melaju sehingga cadangan devisa kita sudah mencapai 111,3 miliar dolar AS pada akhir November 2011 padahal pada Januari 2010 baru 69,6 miliar dolar AS. Suatu angka yang boleh dikatakan amat sangat aman dan cadangan devisa merupakan indikator ekonomi yang sangat penting.
Kombinasi kekuatan ekspor dan juga pasar domestik yang sangat kuat membuat Indonesia menjadi gadis cantik yang menarik di Asia. Ketika uang sudah sulit dialirkan ke wilayah lain karena tidak menjanjikan keuntungan, Indonesia menjadi pilihan yang sangat diperhitungkan, selain negara-negara ASEAN dan Asia Timur lainnya.
Maka inilah momentum yang sangat tepat untuk membenahi berbagai kendala investasi. Misalnya soal infrastruktur, peraturan perpajakan, ketenagakerjaan, dan yang paling klasik adalah pelayanan birokrasi dan perizinan. Justru itulah tugas tim ekuin dalam kabinet sekarang yang harus segera diselesaikan. Jangan terpaku pada upaya menstabilkan makroekonomi saja meskipun itu juga sangat penting. Sektor riil harus digenjot habis-habisan.
Di dalam negeri Presiden SBY sering menjadi bulan-bulanan politikus dan bahan olok-olok di obrolan warung kopi. Tetapi itu lebih pada gaya kepemimpinan. Kenyataannya dalam lima tahun terakhir ini kinerja ekonomi dan pengaruh kita di lingkup global makin diakui. Indonesia adalah bagian dari G20 yang sekarang mengendalikan perekonomian dunia.
Menjelang akhir tahun ini pun sebuah kado diberikan dari lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings yang sudah memasukkan Indonesia ke dalam investment grade yang kali pertama sejak krismon tahun 1997.
Artinya Indonesia adalah negara yang masuk dalam pantauan radar investor global sebagaimana disandang negara-negara maju lainnya. Kenaikan rating itu didasarkan atas kenaikan rating Long ñTerm Foreign dan Local Currency Issuer Default Ratings (IDR) Indonesia menjadi BBB- dari sebelumnya BB+í. Fitch memberikan outlook stabil atas dua peringkat tersebut. Itulah yang kemudian menjadikan Indonesia dinaikkan grade-nya.
Secara lebih luas kriteria dasar untuk menaikkan grade antara lain dengan melihat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan stabil, rasio utang publik yang rendah dan terus menurun, likuiditas eksternal yang menguat serta kerangka kebijakan makro yang hati-hati. Bukan main-main sebab rasio utang terhadap PDB kita memang terus mengecil. Dulu masih di atas 40 persen sekarang tinggal 25 persen.
Dengan kata lain kalau dunia saja sudah mengakui keberhasilan kita, mengapa di dalam kita masih saling menuding kesalahan orang lain, tidak percaya diri, dan tidak mendukung pemerintahan yang sah yang dihasilkan dari pemilu yang demokratis. Kita tidak melihat ini dari persepsi politik dalam negeri namun lebih pada upaya untuk mendongkrak kebanggaan dan dignity kita sebagai sebuah bangsa yang sudah makin diakui di mata internasional.

Tetap Waspada
Optimisme yang tinggi tidak boleh mengendorkan kewaspadaan. Bagaimana pun sifat dasar ekonomi, terutama pasar uang dan pasar modal adalah rawan, fluktuatif, dan fragile. Salah satu hal terburuk yang harus diantisipasi adalah pembekuan pasar finansial internasional yang pasti akan berdampak pula pada emerging markets seperti Indonesia.
Penguatan fundamen ekonomi adalah ajaran klasik yang dari para ekonom senior. Di samping cadangan devisa, maka mengendalikan inflasi dan menjaga nilai tukar rupiah haruslah tetap menjadi prioritas Bank Indonesia. Sesungguhnya fundamen terpenting tetaplah pasar domestik dan investasi yang diharapkan dapat menyerap jutaan tenaga kerja karena itu secara simultan juga akan menambah pontensi demand di dalam negeri.
Akses pendanaan bagi investasi terutama infrastruktur masih harus diperkuat. Di sisi lain perbankan yang sudah makin kokoh dan sehat harus menjaga tingkat kesehatannya dan menghindari praktik-praktik curang di masa lalu yang bisa menimbulkan kebangkrutan. Sekarang kondisinya tidaklah mengkhawatirkan meskipun bunga yang tinggi masih dianggap sebagai beban bagi cost of capital.
Walaupun semua sudah serbaoke, masih ditunggu berbagai gebrakan menteri, terutama untuk lebih mendorong sektor riil. Pada zaman Orde Baru, kebijakan yang dituangkan dalam paket-paket kebijakan itu terasa benar efektivitasnya. Sekarang ini belum tampak padahal masih sangat dibutuhkan untuk mendobrak kebuntuan dan mempercepat gerak sektor investasi dan perdagangan, terutama di dalam negeri.
Di sisi lain kepercayaan terhadap Indonesia akan makin kuat manakala kita juga makin gigih dan serius menunjukkan upaya untuk membangun good and clean government. Sayangnya untuk urusan yang satu ini jalannya masih tertatih-tatih. Era reformasi belum berjalan seperti diharapkan bahkan terkadang kita sering merasa setback. Syukurlah ekonomi masih menjadi panglima dan politik pun harus tunduk kepadanya. Kalau tidak maka kita akan mengikuti jejak Eropa yang sekarang sedang berada di ambang kebangkrutan. (10)

Sasongko Tedjo, wartawan Suara Merdeka di Semarang
Opini, Suara Merdeka, 21Desember 2011