22 Desember 2011

» Home » 22 Desember 2011 » Opini » Suara Merdeka » Belajar dari Bencana Dieng

Belajar dari Bencana Dieng

MUSIBAH tanah longsor dan banjir bandang kembali terjadi di kawasan Pegunungan Dieng, tepatnya di Dusun Sidorejo Desa Tieng Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. Musibah tersebut terjadi untuk kali ke sekian dan seakan menjadi agenda tahunan jika musim hujan tiba. Dalam bencana yang terjadi Minggu (18/12) siang itu, tercatat 6 warga tewas, lima hilang, dan puluhan lainnya luka-luka, serta belasan rumah tersapu banjir lumpur.


Tim SAR, anggota TNI dan Polri bersama relawan lain, masih mencari korban yang hanyut terbawa arus air bercampur lumpur. Korban selamat tapi rumahnya rusak, ditampung di tempat pengungsian sementara di Balai Desa Tieng. Korban luka ringan dirawat di Puskesmas Rawat Inap Kejajar, dan yang luka berat dilarikan ke RSUD Soetjonegoro Wonosobo.

Peristiwa serupa belum hilang betul dari ingatan warga. Tahun 1999, di lokasi yang saat ini terjadi banjir bandang, pernah terjadi bencana tanah longsor yang menewaskan 6 warga dan merusakkan puluhan rumah. Warga yang menjadi korban longsor direlokasi di rumah baru bantuan pemerintah di wilayah Rowojali Kejajar, kurang lebih 1 km dari lokasi bencana saat ini.

Kian seringnya terjadi tanah longsor dan banjir bandang di wilayah Pegunungan Dieng menunjukkan kerusakan lingkungan sudah benar-benar akut dan perlu segera ditangani. Eksploitasi alam secara besar-besaran untuk lahan pertanian yang terjadi bertahun-tahun menyebabkan sebagian kawasan gundul. Bukit-bukit di Pegunungan Dieng dalam kondisi kritis. Kekritisan lahan itu sebagian besar akibat tata lahan yang tidak benar sebab bukit-bukit pegunungan dimanfaatkan oleh petani sebagai lahan pertanian.

Model pengelolaan lahan cenderung tidak ramah lingkungan. Pohon pelindung ditebangi disulap menjadi lahan kentang. Gambaran kawasan Dieng yang dulu rimbun, kini telah sirna, yang ada tinggal hamparan menghijau daun kentang. Batu-batu besar pun tampak menggantung di sisi tebing bukit. Batu-batu besar itu sewaktu-waktu siap jatuh jika musim hujan tiba. Secara ekonomi alih fungsi hutan menjadi lahan kentang sesaat menguntungkan mengingat dengan menanaman kentang petani Dieng mengalami lompatan ekonomi luar biasa.

Bencana Dieng

Selain karena rusaknya alam dan lingkungan, bencana itu terjadi karena tingkat kemiringan tanah di Wonosobo termasuk tinggi. Semua wilayah sebagian besar berbukit dan bergunung-gunung. Di Kecamatan Kejajar dan Garung tingkat kemiringan tanah mencapai 2 % (seluas 177 hektare). Sisanya, di semua kecamatan kemiringan tanah 15-40 % (54.641 hektare atau 56,37%) dari luas wilayah Wonosobo 98.468 hektare.

Permukiman warga juga banyak yang berada di wilayah perbukitan. Rawannya ancaman bencana alam di Wonosobo perlu tindakan kewaspadaan semua pihak agar musibah tidak terulang. Warga bisa belajar dari bencana alam Dieng. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama; Gerakan Wonosobo Menanam (GWM), yang digulirkan beberapa tahun lalu seyogianya dilanjutkan.

Malah tidak sekadar gerakan menanam tapi juga perlu ada langkah ikutan berupa gerakan memelihara tanaman.

Kedua; kesadaran memelihara lingkungan musti menjadi roh menjaga keseimbangan alam. Pasalnya, belakangan ini banyak perilaku warga yang tidak ramah lingkungan. Mereka menebang pohon secara liar dan membuang sampah plastik sembarangan. Meski dipandang perkara sepele, perilaku membuang sampah plastik di sembarang tempat merupakan tindakan tidak tepat karena bahan yang tidak bisa terurai oleh proses alam itu akan mengganggu kesuburan tanah.

Ketiga; eksploitasi lahan harus dihentikan. Penggunaan pestisida secara berlebihan untuk lahan pertanian perlu dikurangi karena meski tanaman subur, lama-kelamaan bisa merusak struktur tanah. Penggalian pasir dan batu secara liar juga perlu dihentikan karena tidak menguntungkan bagi lingkungan sekitar. Sumber mata air bisa mati dan terjadi penggerusan tanah.

Keempat; permukiman warga yang berada di perbukitan perlu direlokasi karena tanah bukit rawan longsor pada musim hujan. Perlu kesadaran warga atas keselamatan diri dan keluarga dari ancaman musibah bencana alam. Masih banyak lahan yang aman untuk permukiman. (10)


Muharno Zarka, Sekretaris Komunitas Jurnalis Wonosobo
Opini, Suara Merdeka, 22 Desember 2011,