22 Desember 2011

» Home » 21Desember 2011 » Opini » Suara Merdeka » Belajar dari Kim Jong-il

Belajar dari Kim Jong-il

PEMIMPIN Korea Utara (Korut) Kim Jong-il dilaporkan meninggal pada Sabtu 17 Desember 2011. Dia dilaporkan tewas di kereta dalam perjalanan dinas kenegaraan. Mengenakan setelan safari serbahitam, pemimpin komunis berusia 69 tahun ini juga disebutkan meninggal akibat kelelahan saat mendedikasikan hidupnya untk rakyat. Putranya, Kim Jong-un, yang baru berusia 20-an tahun ditunjuk menggantikannya penerus rezim komunis di negara tersebut.
Kematiannya sepertinya tak akan mengubah peta geopolitik di kancah internasional, Korut tampaknya tetap disegani sebagai negara komunis. Jong-il menjabat sejak 1994 menggantikan ayahnya Kim Il-sung, dianggap seperti dewa oleh rakyat Korut. Hal ini berkat kerja propaganda rezim yang diterapkan pada seluruh rakyat sedari mereka kecil.
Jong-il selama ini dikenal sebagai sosok pemimpin tegas, yang harus ditiru oleh bangsa Indonesia. Sebelum perang serumpun dengan Korsel misalnya, ia mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah melancarkan uji coba nuklir bawah tanah. Meskipun pada saat bersamaan mendapat tekanan dan kecaman internasional agar Korut segera meninggalkan program nuklirnya. Saat itu Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi berdasarkan Bab 7 Piagam PBB yang mengatur mengenai ancaman terhadap ketenteraman dan tindakan untuk melakukan agresi.
Sikap Korut kala itu seakan-akan menafikan tekanan AS yang selama ini gencar ingin menyudahi program nuklir. Sebenarnya tak hanya Korut, tapi juga Iran. Termasuk di bawah pemerintahan Obama, dengan kekuatan diplomatiknya selama ini menekan pemerintahan Pyongyang. Korut dibawah Jong-il dianggap menciptakan konflik keamanan yang cukup serius, tidak hanya di Asia Timur tapi juga perdamaian dunia. Mengapa selama ini AS giat ingin menyudahi program nuklir Korut? Terutama AS dibawah Obama yang rezim Partai Demokrat.
Sebenarnya itu bukan hal baru karena sekitar 1993, di bawah kepemimpinan Clinton, AS juga sudah terlibat intensif melakukan upaya-upaya menyudahi kepemilikan nuklir di negara-negara maju Asia, seperti di Korut, Jepang, China, India, Irak, dan Iran. Fenomena kepemilikan nuklir yang tumbuh sejak awal pertengahan 1990-an itu mengkhawatirkan terjadinya iklim tidak harmonis dalam tata dunia baru pascaperang dingin, khususnya antara peradaban Timur dan Barat. Selain negara-negara maju Asia, nuklir juga dimiliki di negara-negara Barat, seperti AS, Rusia, Inggris, dan sebagainya.
Peradaban Maju
Setelah perang dingin, AS menjadi negara adidaya karena menang bersaing dengan Uni Soviet. Hal itu kemudian memberi inspirasi kepada Huntington misalnya, membuat satu analisis-futuristik tentang benturan antarperadaban pascaperang dingin. Dalam sebuah jurnal ilmiah yang terbit di Amerika, Foreign Affairs, Huntington menulis tesis yang menggetarkan diskursus dalam percaturan geopolitik, ‘’the Clash of Civilization’’, dan kemudian direspons secara luas oleh pelbagai kalangan intelektual internasional dan domestik.
Menurutnya ada tiga peradaban yang terlibat di dalamnya. Pertama: peradaban Barat, kedua; peradaban Islam, dan terakhir; peradaban konfusianisme. Peradaban Islam diwakili paling tidak oleh Iran, selanjutnya waktu itu Irak, dan sekarang ditambah Pakistan. Peradaban konfusianisme diwakili Jepang, China, India, dan sekarang Korut. Peradaban Barat diwakili Amerika, Rusia, Inggris, dan sebagainya.
Nuklir merupakan simbol kedigdayaan yang mewakili masing-masing peradaban Timur dan Barat akibat persaingan dan perselisihan yang terjadi antara dua kekuatan. Benturan antarperadaban, tak lain karena masing-masing peradaban itu sendiri berlomba memperkuat kekuatan internal dengan nuklir. Masa depan peradaban dan tata dunia baru yang humanis dan damai terancam akibat kepemilikan nuklir itu, ditambah dengan sikap arogansi, intoleransi dan fanatisme.
Peradaban dunia kini mendamba kemajuan dan kedamaian yang mesti dikontribusi oleh kesadaran kultural bersama. Pasalnya, untuk mencipta peradaban itu, tak bisa dibangun dari satu kekuatan, sementara kekuatan lain merongrongnya, tapi semua kekuatan perlu berjalan bersama secara damai, melepaskan uniformitas yang membedakan di antara mereka, untuk menentukan masa depan peradaban yang humanis, maju, dan berkeadaban. (10)

Ismatillah A Nu’ad, peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Jakarta
Opini, Suara Merdeka, 21Desember 2011,