"Memaknai Hari Ibu tidaklah sulit, tetapi menjadi sulit ketika kita justru mengaburkan makna yang sesungguhnya"
PADA beberapa dekade lalu, saya selalu mengenal 12 bulan dalam setahun, dan ada dua yang khas disebut sebagai ”bulan perempuan”. Maksudnya, hanya pada dua bulan itulah perempuan diingat bahwa dia ada, yakni April dan Desember.
Sekarang saya rasakan, betapa besar peran media untuk menghapus dua bulan perempuan itu menjadi ”setiap bulan adalah milik perempuan” juga. Media sudah merepresentasikan identitas perempuan di rubrik atau halaman tertentu, sehingga ketika kita mau menulis tentang hal yang terkait dengan perempuan, tidak harus menunggu datangnya ”bulan perempuan”.
Kegelisahan muncul, ketika setiap April dan Desember ada hiruk-pikuk peringatan Hari Kartini dan Hari Ibu. Kehirukpikukan itu identik dengan keribetan memakai sanggul dan lomba-lomba kegiatan domestik lain.
Kegelisahan pertama, tentang makna emansipasi tiap 21 April. Selalu di media massa, baik cetak maupun elektronik, yang muncul adalah kegiatan memakai kebaya dan tetek bengeknya, juga ekspose besar-besaran mengenai kesamaan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya kalau ada sopir taksi laki-laki, dieksposelah sopir taksi perempuan, ada tukang tambal ban laki-laki ditampilkan tukang tambal ban perempuan. Demikian pula untuk jenis pekerjaan lain seperti pilot, sopir bus, dan lain-lain.
Semuanya itu, konon, dimaknai sebagai ”penanda” emansipasi. Padahal emansipasi jelas berbeda dari partisipasi. Partisipasi lebih pada objektivitas dan keturutsertaan dalam kancah pembangunan, sedangkan emansipasi lebih pada pilihan subjektif individu. Artinya, jika perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga yang baik, mengurus anak dan suami dengan sepenuh hati tanpa dipaksa siapa pun meskipun dia berpendidikan tinggi, ya itulah emansipasi dia. Sebaliknya, perempuan yang memilih sesuai dengan pilihan hati untuk berkiprah di dunia publik, mengembangkan karier dan ilmu, ya itulah emansipasi dia.
Demikian pula perempuan yang memadukan keduanya, itu adalah pilihan nuraninya, dan itulah emansipasi. Bukan pada substansi sama rata - sama rasa, karena setara tidak harus sama. Karenanya, tidak lantas kemudian emansipasi dimaknai ”jika laki-laki bisa memanjat pohon kelapa maka perempuan juga harus bisa’’. Yang mengharuskan siapa?
Kegelisahan kedua, ketika kita merayakan Hari Ibu tiap 22 Desember, pastilah yang muncul selalu lomba-lomba terkait dengan kegiatan domestik perempuan, bahkan ada lomba sepak bola memakai daster untuk bapak-bapak. Padahal jauh sebelumnya ketika 22 Desember dikukuhkan sebagai Hari Ibu, asal mulanya bukanlah kegiatan seperti itu.
Jauh sebelum itu, pada 22 Desember 1928 yang akhirnya dicanangkan sebagai Hari Ibu, kiprah perempuan adalah dalam bidang politik untuk bangsa ini, bukan pada kiprah domestik berbau sanggul dan dapur.
Keterlibatan Perempuan
Kolonialisme telah melahirkan organisasi kebangsaan seperti Budi Oetomo dan Partai Nasional Indonesia. Rangkaian sejarah tersebut membawa pengaruh baik langsung maupun tidak langsung bagi keterlibatan perempuan Indonesia dalam perjuangan bangsa. Kemudian diikuti lahirnya berbagai organisasi wanita. Bahkan sebelum Sumpah Pemuda pun telah banyak muncul organisasi perempuan yang politis seperti Wanito Utomo, Wanito Mulyo, Wanita Katholik, Putri Budi Sejati, dan banyak lagi lainnya.
Kesadaran politik bagi perempuan juga telah melahirkan Kongres I Perempuan Indonesia di Yogyakarta pada 22 Desember 1928. Kongres yang dilaksanakan tiap 22 Desember itu sampai dengan 1943, sebenarnya adalah kongres yang menghasilkan keputusan-keputusan politik penting Jauh dari hiruk-pikuk segala macam stereotipe khas perempuan.
Pada Kongres II Perempuan dihasilkan ”Passief Kiesrecht” untuk kaum perempuan. Pandangan bahwa perempuan tidak pantas berpolitik, berubah ketika pada 1941 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Visman untuk menyelidiki keinginan bangsa Indonesia mengenai perubahan ketatanegaraan. Pada waktu itu, dua perempuan yaitu Nyonya Soenaryo Mangunpuspito mengajukan tuntutan Indonesia berparlemen, dan Nyonya Sri Mangoensarkoro menuntut Indonesia merdeka.
Namun sekarang ini, ketika tiap 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu, yang muncul justru peneguhan image stereotipe perempuan. Pada tanggal itu selalu diadakan berbagai lomba memasak, memasang sangggul, memasak oleh para bapak, merangkai bunga, menggulung stagen, merias tanpa kaca, dan segudang kegiatan lain yang jauh dari bidang proses pengambilan keputusan politik negara.
Sangat ironis memang, seolah-olah perempuan ditarik mundur ke belakang dan dimasukkan kembali ke dunia domestik. Hal itu bisa terjadi karena kenyataan sejarah pergerakan perempuan jarang disentuh dan jarang dijadikan semangat untuk menguatkan argumentasi bahwa kalau pada waktu itu saja perempuan dapat kerkiprah dalam dunia politik, mengapa sekarang justru tidak?
Bukan berarti saat ini tidak ada perempuan yang menjadi tokoh politik, tetapi apakah jumlah dan kualitasnya sudah seperti diharapkan? Jumlah yang sedikit itu juga belum semuanya mempunyai sensitivitas gender. Atau kalau pun telah mempunyai kepekaan dan perspektif gender dalam setiap ide dan kebijakan politiknya, kembali mereka menghadapi tembok tebal berbagai faktor untuk mewujudkannya.
Memaknai Hari Ibu tidaklah sulit, akan tetapi menjadi sulit ketika kita justru mengaburkan makna yang sesungguhnya. (10)
— Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, guru besar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes Semarang
Opini, Suara Merdeka, 22 Desember 2011,
22 Desember 2011
Salah Kaprah Makna Hari Ibu
Thank You!