18 Februari 2011

» Home » Opini » Republika » Penodaan Agama

Penodaan Agama

KH Ali Mustafa Yaqub
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Rais Syuriah PBNU Bidang Fatwa


Tragedi penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang telah mencoreng wajah Islam yang ramah dan rahmat bagi seluruh penghuni jagat raya ini. Dugaan sementara, sekurang-kurangnya ada tiga skenario untuk mengetahui siapa dalang alias aktor intelektual di balik tragedi tersebut.

Pertama, tragedi itu didalangi oleh musuh-musuh Islam secara global. Sasarannya adalah untuk membenarkan bahwa Islam adalah agama yang identik dengan kekerasan, anarkis, radikal, bahkan teroris. Kedua, tragedi Cikeusik itu didalangi oleh mantan-mantan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Sasarannya adalah untuk mengadu domba antarumat beragama.

Ketiga, tragedi itu didalangi oleh orang-orang Ahmadiyah sendiri. Sasarannya untuk memperoleh simpati. Sebab, di Indonesia ada kamus politik, semakin banyak dizalimi, akan semakin banyak mendapatkan simpati.

Penodaan Agama

Selama ini ada kesan bahwa kaum Muslim tidak siap berbeda pendapat, sehingga ketika ada kelompok lain yang berbeda paham, mereka harus dihabisi. Kaum Muslim seolah-olah hanya menganggap pahamnya sendiri yang benar, yang lain salah.

Kesan seperti ini tentulah berlawanan dengan ajaran Islam. Sebab, Islam mengakui eksistensi agama lain tanpa mengakui kebenaran ajarannya. Islam mengakui pluralitas agama (bukan pluralisme agama), dengan prinsip lakum dinukum wa liya din (bagi kamu agama kamu dan bagi saya agama saya).

Pluralitas agama tidak hanya diakui oleh Islam, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa Nabi Muhammad SAW, sekurang-kurangnya ada lima agama yang hidup berdampingan secara damai, yakni Islam, Nasrani, Yahudi, Majusi, dan Animisme.

Tidak ada satu ayat pun dalam Alquran dan hadis Nabi yang membolehkan, apalagi menyuruh orang Muslim melakukan kekerasan atau membunuh orang lain karena perbedaan agama. Dalam praktik juga tidak pernah terjadi dalam sejarah bahwa orang Islam membunuh orang lain karena perbedaan agama.

Salah seorang mertua Nabi SAW, ayahanda Ummul Mukminin Shofiyah, yang bernama Huyai bin Akhtab, adalah pemeluk Yahudi. Tetapi, Rasul SAW tidak pernah memerintahkan untuk membunuhnya.

Masalah Ahmadiyah sebenarnya bukan soal perbedaan akidah (keyakinan), melainkan masalah penodaan agama Islam. Sekiranya orang Ahmadiyah tidak mengklaim dirinya Muslim dan tidak menodai Alquran dan hadis Nabi, maka tidak ada masalah dengan umat Islam. Orang Ahmadiyah mau mengimani bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu nabi atau bahkan tuhan, umat Islam tidak akan mempermasalahkan hal itu, asalkan mereka tidak menodai agama Islam.

Ahmadiyah sudah jelas menodai Alquran dan hadis, baik secara material maupun interpretasi (penafsiran). Penodaan secara material, contohnya, mereka telah membajak atau mengoplos sejumlah ayat Alquran (wahyu), dan ditambahkan dengan perkataan Mirza Ghulam Ahmad. Inilah yang terkandung dalam Haqiqat al-Wahyi.

Contoh nyata pengoplosan ayat adalah surah al-Baqarah [2] ayat 35 tentang perintah Allah SWT agar Adam tinggal di surga.  Kata 'Ya Adam' justru diganti dengan 'Ya Ahmad'.

Pengoplosan ayat lainnya adalah surah al-Anfal [8] ayat 17. Dalam ayat ini disebutkan  "Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka. Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar…"

Oleh Ahmadiyah maknanya adalah "Ya Ahmad, Kami mengutus engkau dari Qadian, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar,…"

Inilah di antara contoh penodaan Alquran secara materi oleh Ahmadiyah. Tak hanya dua ayat di atas, tetapi jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan ayat.

Sedangkan, penodaan secara interpretasi atau penafsiran makna ayat adalah pada surah al-Ahzab [33] ayat 40. "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi."

"Pada akhir zaman nanti, akan keluar 30 orang pembohong yang semuanya mengaku sebagai nabi. Ingatlah, tidak ada nabi sesudah aku (La nabiyya min ba'diy)". (HR Tirmidzi).

Dalam ayat di atas, secara tegas Allah menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup nabi-nabi. Namun oleh Ahmadiyah, ayat tersebut dimaknai sebagai nabi yang paling mulia. Karena itu, dalam pemahaman Ahmadiyah masih terbuka jalan kenabian, memungkinkan adanya nabi baru. Inilah yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa tidak ada nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, orang yang mengaku dirinya nabi adalah pembohong atau pendusta, seperti Musailamah al-Kadzdzab (sang pembohong besar). Masih banyak hadis lain yang diriwayatkan oleh para ahli hadis seputar Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi.

Ketika kelompok Ahmadiyah didebat soal ini, mereka senantiasa berkelit dan menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaru). Ini sama dengan yang dilakukan oleh jemaat Ahmadiyah di Pakistan, yakni membuat kamuflase untuk mencari keselamatan.

Sumpah mereka dengan menggunakan dua kalimat syahadat juga tidak bisa diterima karena tidak konsisten dalam memahaminya. Ahmadiyah mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi tidak mau mempercayai akan hadis-hadisnya.

Karena itu, jika Mirza Ghulam Ahmad sudah jelas melakukan kesesatan, tentu saja orang yang mengikutinya juga tersesat, kendati mereka melakukan shalat, puasa, atau haji. Ibaratnya, walau 99,9 persen ibadahnya sama dengan yang dilakukan umat Islam, 0,1 persen berbeda dan itu adalah hal prinsip, maka mereka jelas berbeda dengan Islam.

Bagi kaum liberal yang menyatakan bahwa sebagai manusia kita tidak boleh menghakimi akidah seseorang, hal itu tidak bisa diterima juga, mengingat pemimpin Ahmadiyah telah mengajak orang untuk memahami akidah yang salah. Misalnya, jika ada orang Islam mengatakan tuhannya adalah kerbau dan nabinya adalah sapi, sebagai umat Islam, apakah kita tidak boleh untuk meluruskannya?

Allah telah memberikan pikiran (akal) kepada kita untuk membedakan perbuatan yang baik dan perbuatan yang salah. Bila tidak, sama saja kita tidak mengakui dua kalimat syahadat. Inilah pentingnya membedakan antara orang Islam dan Mukmin, dengan orang yang bukan Islam.

Dua opsi

Oleh karena itu, menurut hemat saya, hanya ada dua pilihan (opsi) dalam penyelesaian Ahmadiyah. Pertama, Ahmadiyah berdiri sendiri sebagai agama baru dan melepaskan semua atribut Islam sehingga mereka bisa hidup berdampingan dengan umat Islam.

Pilihan kedua, pemerintah harus tegas untuk membubarkan Ahmadiyah sebagaimana fatwa MUI tahun 1980 dan 2005, serta fatwa Rabithah 'Alam Islami (RAI/Liga Islam Dunia) tahun 1974 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan.

Tidak ada jalan keluar untuk menghindari tragedi serupa seperti di Cikeusik, kecuali melalui jalur hukum dengan mengacu kepada Undang-Undang No 1/1965. Pimpinan, tokoh, dan mubalig Ahmadiyah harus diadili dan dihukum karena jelas-jelas mengajarkan paham yang salah. Padahal, Lia Eden, pendiri Tahta Suci Kerajaan Tuhan Eden, yang juga menodai Alquran, sudah dua kali diadili dan divonis penjara.

Jika penodaan agama Islam oleh Ahmadiyah ini tidak diselesaikan secara hukum, gesekan (bentrokan) antara Ahmadiyah dan Islam dikhawatirkan akan terus terjadi. Kita berharap, dengan ketegasan sikap pemerintah dalam menyelesaikan persoalan ini secara hukum, masalah Ahmadiyah di Indonesia bisa selesai. Insya Allah.
OPini Republika 18 Februari 2011