18 Februari 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Belajar dari Kerusuhan Temanggung

Belajar dari Kerusuhan Temanggung

Kerusuhan bernuansa agama di Temanggung beberapa waktu lalu, mengejutkan kita semua. Kerusuhan yang meledak pascavonis lima tahun enjara terhadap terdakwa kasus penistaan agama Antonius Richmord Bawengan itu, memberi pelajaran kepada kita semua, bahwa pemicu konflik dapat berbentuk apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Kerusuhan Temanggung telah memberi bukti nyata bahwa daerah yang selama ini tak menunjukan gejala konflik, bukan lantas aman dari kerusuhan.

Kita dituntut untuk selalu waspada terhadap segala kemungkinan. Terlebih masyarakat kita adalah masyarakat yang sangat majemuk.
Pada tulisan sebelumnya (SM, 04/2/11), saya telah menyampaikan bahwa masyarakat majemuk dapat menjadi kekuatan sekaligus kelemahan bangsa kita. Sisi lemah dari bangsa yang plural adalah adanya potensi konflik sangat besar dibanding daerah yang seragam (homogen).

Situasi demikian mestinya menyadarkan kita semua, bahwa dibutuhkan komitmen yang kuat dan wawasan yang luas dalam memahami dan memaknai keanekaragaman yang ada. Sikap dan perilaku sebagai warga masyarakat yang mempunyai hak dan tanggungjawab sama (egaliter), tanpa membeda-bedakan Suku, Agama, Ras dan Budaya, sudah semestinya menjadi pandangan hidup setiap warga masyarakat. Sikap toleran, saling percaya, dan terbuka menjadi kata kunci bagi terciptanya harmoni kehidupan masyarakat majemuk.
Menjaga Jawa Tengah Realitas masyarakat Jawa Tengah yang majemuk, sebenarnya merupakan modal bagi pemerintah dalam proses pembangunan. Secara umum, budaya masyarakat Jawa Tengah adalah budaya jawa, namun dalam budaya tersebut terdiri atas subkultur yang harus kita akui eksistensinya. Sub-sub kultur tersebut juga berpengaruh terhadap sikap dan pola pikir masyarakat Jawa Tengah. Misalnya, perilaku dan pola pikir masyarakat Semarang akan berbeda dengan masyarakat Solo atau daerah lain.

Menciptakan iklim kondusif dalam sebuah komunitas yang majemuk memerlukan toleransi satu sama lain. Toleransi yang diperlukan adalah toleransi yang aktif. Artinya toleransi yang benar-benar kita implementasikan dalam setiap kehidupan sehari-hari. Di samping itu juga harus mau mengakui, terbuka dan memahami eksistensi komunitas lain.

Dalam situasi dan kondisi di mana masyarakat secara umum mengalami krisis ekonomi, kepercayaan dan sosial, keberadaan toleransi aktif menjadi sangat penting untuk dikembangkan bersama. Terlebih lagi dalam menghadapi situasi politik maupun sosial yang cenderung fluktuatif ini. Jika kondisi tersebut tetap dijaga dengan baik, maka Jawa Tengah yang kondusif dan damai akan senantiasa terwujud.

Jawa Tengah merupakan provinsi yang punya peran strategis dalam kancah perpolitikan di tingkat nasional. Tidak hanya itu, provinsi ini juga memegang peranan penting dalam pengembangan sektor ekonomi nasional dan ketahanan pangan nasional. Tidak berlebihan kiranya jika Jawa Tengah dikatakan sebagai ìbarometerî nasional. Dengan demikian, provinsi ini menjadi ukuran dan rujukan bagi provinsi lain.

Konsekuensi logis dari posisi tersebut, kita dituntut untuk selalu menjaga stabilitas sosial, politik, maupun ekonomi. Tentu saja diperlukan keterpaduan, saling pengertian, saling memahami, antarkomponen bangsa yang ada di provinsi ini.
Memperkokoh Komitmen Sikap saling percaya juga harus kita tanamkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam membangun Jawa Tengah yang kondusif dan damai. Komitmen dan saling percaya merupakan syarat utama yang harus di tanamkan dan di aplikasikan dalam sikap setiap komponen masyarakat Jawa Tengah. Tekad untuk memajukan Jawa Tengah harus dilestarikan dan ditanamkan dalam diri masing-masing, sehingga timbul rasa saling percaya di antara masyarakat.

Kerusuhan Temanggung memberikan peringatan dini kepada kita, bahwa Jawa Tengah memiliki potensi yang sangat besar akan terjadinya konflik horisontal. Bahaya laten konflik horisontal bisa bernuansa agama, sosial, ekonomi maupun budaya. Ketahanan masyarakat harus selalu ditingkatkan agar tidak mudah terprovokasi untuk kegiatan yang bersifat kontraproduktif. Baik ketahanan dalam bidang ideologi, keamanan maupun ketahanan yang bersifat sosial politik. 

Mewujudkan situasi yang aman dan damai bukan tanggung jawab aparat keamanan semata, melainkan kita bersama. Semua elemen masyarakat harus terlibat untuk mendorong terciptanya tata kehidupan yang aman, tentram dan damai. Dan kita sebagai generasi penerus tidak akan rela bangsa besar yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan ini diadu domba oleh segelintir orang yang ingin menciptakan kerusakan.(*)

Hendrar Prihadi, Ketua PD XI GM FKPPI Jawa Tengah 2010-2014 dan Wakil Wali Kota Semarang 2010-2015 
Opini Suara Merdeka 19 Februari 2011