KEBIJAKAN Pemprov Jateng menganjurkan pemakaian seragam lurik bagi PNS di pemkab/ pemkot sepertinya berbuah manis. Booming pemakaian lurik oleh perangkat daerah diindikasikan dengan peningkatan permintaan jenis kain ini yang dirasakan oleh pengusaha kain itu di Solo, Tegal, Jepara, Pekalongan, tak luput Klaten sebagai daerah pioner. Akankah lurik mencapai kebangkitannya yang kedua setelah masa keemasannya tahun 1980-an pada era Gubernur HM Ismail?
Pertanyaan itu dapat ditelisik melalui dua jawaban. Pertama; lurik menjadi representasi ekspektasi masyarakat provinsi ini. Masyarakat mendambakan lahirnya produk lokal sebagai identitas dan simbol kebanggaan daerah, di tengah membanjirnya produk asing, khususnya tekstil. Kalau pamor batik sudah menasional, bahkan mendunia dengan ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia (world heritage), kini bukan mustahil lurik menyusul sebagai produk yang tak kalah mentereng untuk disejajarkan sebagai komoditas andalan regional.
Kedua; lurik memiliki peluang bisnis yang menggiurkan karena pangsa pasar sangat terbuka. Besarnya permintaan tidak saja ditarget dari PNS atau kalangan umum, tapi juga mobilisasi penggunaan lurik merambah dunia usaha, sehingga banyak institusi swasta tertarik menggunakan lurik sebagai salah satu seragam kerja. Belum lagi andaikan lurik benar-benar menjelajah sebagai komoditas nasional dan diharapkan mampu mencuri perhatian dunia sehingga kian prospektif membuka investasi usaha.
Optimisme itu sangat wajar karena lurik memiliki ciri khas. Lurik yang dirajut helai demi helai benang dengan oglek (alat tenun bukan mesin/ATBM) seolah mendemontrasikan nilai ketradisionalan yang sulit ditemukan pada era modern.
Menenun lurik tak ubahnya berkarya seni yang tak hanya menguras energi, waktu, dan kesabaran tapi juga melibatkan sentuhan emosi tangan-tangan perajinnya. Kekuatan lurik yang lain adalah pamor motifnya tegas bergaris, berbeda dari batik alusan yang harus dilukis pembatik tradisional.
Kekuatan lurik yang lain adalah pamor motifnya tegas bergaris berbeda dari batik tulis yang harus dilukis oleh pembatik tradisional. Modifikasi motif lurik oleh perajin tradisional dengan paduan sentuhan batik menjadikan lurik tampil baru lebih variatif. Maka muncul motif seperti lurik hujan gerimis, hijau lumut motif batik flora fauna dengan variasi mega mendung dan parang atau model lain yang banyak diminati seperti lurik dom nlusup, merang kecer, atau yuyu sekandang.
Lurik ATBM
Di tengah bergairahnya industri lurik Jawa Tengah, nasib kurang mujur justru dialami perajin tradisional yang menghasilkan lurik ATBM, khususnya di Klaten yang notabene daerah pioner. Lurik ATBM karya perajin Klaten kalah bersaing dari lurik pabrikan. Selain tampil lebih modis, warna yang cerah memikat dan halus, lurik pabrikan hadir menyerbu pasar dengan harga miring dan kualitas bersaing.
Namun apakah efek pasar perkembangan lurik itu harus menyebabkan lurik ATBM gulung tikar? Untuk mengangkat pamor lurik tradisional agar lebih marketable sebagai antisipasi tren pasar saat ini, solusi yang dapat ditempuh perajin atau pengusaha adalah segmentasi pasar. Tidak mungkin lurik ATBM harus banting harga karena besaran biaya produksi (total cost) sulit ditekan.
Segmentasi menjadi pilihan membidik pangsa pasar tersendiri dengan harga khusus didukung jaminan kualitas yang terjaga. Tentunya segmentasi pasar harus didukung branding produk bahwa lurik ATBM menjual kualitas tidak semata kuantitas. Menjaga kualitas adalah menjaga keberlangsungan usaha. Kemampuan mempertahankan kualitas akan menjadi kunci kesetiaan dan loyalitas konsumen terhadap jenis kain itu sehingga kontinuitas produksi terjaga.
Solusi kedua adalah inovasi produk didukung kreativitas yang menghasilkan variasi barang sebagai alternatif pilihan konsumen terhadap permintaan produk. Dukungan pemda tak kalah penting dengan keberpihakan modal, pemasaran, atau kebijakan guna mendorong keberlangsungan usaha lurik. Kessungguhan dan pembuktian itu saat ini sangat dibutuhkan. (10)
— Joko Priyono, mahasiswa Program Pascasarjana MESP Fakultas Ekonomi UNS Surakarta, pranata Humas Pemkab Klaten
Pertanyaan itu dapat ditelisik melalui dua jawaban. Pertama; lurik menjadi representasi ekspektasi masyarakat provinsi ini. Masyarakat mendambakan lahirnya produk lokal sebagai identitas dan simbol kebanggaan daerah, di tengah membanjirnya produk asing, khususnya tekstil. Kalau pamor batik sudah menasional, bahkan mendunia dengan ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia (world heritage), kini bukan mustahil lurik menyusul sebagai produk yang tak kalah mentereng untuk disejajarkan sebagai komoditas andalan regional.
Kedua; lurik memiliki peluang bisnis yang menggiurkan karena pangsa pasar sangat terbuka. Besarnya permintaan tidak saja ditarget dari PNS atau kalangan umum, tapi juga mobilisasi penggunaan lurik merambah dunia usaha, sehingga banyak institusi swasta tertarik menggunakan lurik sebagai salah satu seragam kerja. Belum lagi andaikan lurik benar-benar menjelajah sebagai komoditas nasional dan diharapkan mampu mencuri perhatian dunia sehingga kian prospektif membuka investasi usaha.
Optimisme itu sangat wajar karena lurik memiliki ciri khas. Lurik yang dirajut helai demi helai benang dengan oglek (alat tenun bukan mesin/ATBM) seolah mendemontrasikan nilai ketradisionalan yang sulit ditemukan pada era modern.
Menenun lurik tak ubahnya berkarya seni yang tak hanya menguras energi, waktu, dan kesabaran tapi juga melibatkan sentuhan emosi tangan-tangan perajinnya. Kekuatan lurik yang lain adalah pamor motifnya tegas bergaris, berbeda dari batik alusan yang harus dilukis pembatik tradisional.
Kekuatan lurik yang lain adalah pamor motifnya tegas bergaris berbeda dari batik tulis yang harus dilukis oleh pembatik tradisional. Modifikasi motif lurik oleh perajin tradisional dengan paduan sentuhan batik menjadikan lurik tampil baru lebih variatif. Maka muncul motif seperti lurik hujan gerimis, hijau lumut motif batik flora fauna dengan variasi mega mendung dan parang atau model lain yang banyak diminati seperti lurik dom nlusup, merang kecer, atau yuyu sekandang.
Lurik ATBM
Di tengah bergairahnya industri lurik Jawa Tengah, nasib kurang mujur justru dialami perajin tradisional yang menghasilkan lurik ATBM, khususnya di Klaten yang notabene daerah pioner. Lurik ATBM karya perajin Klaten kalah bersaing dari lurik pabrikan. Selain tampil lebih modis, warna yang cerah memikat dan halus, lurik pabrikan hadir menyerbu pasar dengan harga miring dan kualitas bersaing.
Namun apakah efek pasar perkembangan lurik itu harus menyebabkan lurik ATBM gulung tikar? Untuk mengangkat pamor lurik tradisional agar lebih marketable sebagai antisipasi tren pasar saat ini, solusi yang dapat ditempuh perajin atau pengusaha adalah segmentasi pasar. Tidak mungkin lurik ATBM harus banting harga karena besaran biaya produksi (total cost) sulit ditekan.
Segmentasi menjadi pilihan membidik pangsa pasar tersendiri dengan harga khusus didukung jaminan kualitas yang terjaga. Tentunya segmentasi pasar harus didukung branding produk bahwa lurik ATBM menjual kualitas tidak semata kuantitas. Menjaga kualitas adalah menjaga keberlangsungan usaha. Kemampuan mempertahankan kualitas akan menjadi kunci kesetiaan dan loyalitas konsumen terhadap jenis kain itu sehingga kontinuitas produksi terjaga.
Solusi kedua adalah inovasi produk didukung kreativitas yang menghasilkan variasi barang sebagai alternatif pilihan konsumen terhadap permintaan produk. Dukungan pemda tak kalah penting dengan keberpihakan modal, pemasaran, atau kebijakan guna mendorong keberlangsungan usaha lurik. Kessungguhan dan pembuktian itu saat ini sangat dibutuhkan. (10)
— Joko Priyono, mahasiswa Program Pascasarjana MESP Fakultas Ekonomi UNS Surakarta, pranata Humas Pemkab Klaten
Opini Suara Merdke 19 Februari 2011