PEKERJA pabrik genteng tampak sibuk menyelamatkan genteng yang tengah dijemur karena cuaca tiba-tiba mendung. Tak berapa lama kemudian gerimis mengguyur. Jika tak cekat-ceket (bergegas) maka genteng-genting yang tengah dijemur itu rusak. Akibatnya, pabrik tempat mereka bekerja merugi.
Itulah ilustrasi yang menggambarkan betapa industri genteng Sokka di Kebumen banyak menggantungkan diri pada faktor alam dalam proses produksinya. Contoh paling sederhana, mereka acapkali tak dapat mengelak tatkala genteng dijemur pada saat cuaca panas terik, tiba-tiba mendung datang, kemudian turun hujan.
Padahal jika sudah terkena air sedikit saja, genteng mentah itu akan benthet (pecah) manakala dibakar. Selain faktor hujan, ketergantungan industri genteng pada alam antara lain juga terjadi pada proses pembakarannya, yang membutuhkan kayu bakar yang jumlahnya tak sedikit.
Sekali membakar dalam satu tungku berkapasitas besar yang menampung hingga 25 ribu genteng mentah, paling tidak dibutuhkan kayu kering sejumlah lima truk. Masing-masing truk, kayu-kayu itu seharga Rp 1 juta. Sementara tungku kapasitas sedang mampu menampung antara 15 dan 17 ribu genteng dengan kebutuhan kayu bakar sekitar 3 truk.
Jika bertandang ke tengah sentra genteng di Desa Kedawung, Kuwayuhan, atau Kebulusan yang mayoritas warganya berkecimpung mengelola usaha genteng, terlihat di sana-sini ratusan ribu genteng berbagai jenis tengah diolah dan lainnya menumpuk menanti calon pembeli.
Daya tarik usaha genteng yang sudah berkibar nyaris satu abad (SM, 10/05/10) agaknya belum beranjak dari kehidupan masyarakat Kebumen. Khususnya di beberapa kecamatan seperti Pejagoan, Klirong, Sruweng, dan sebagian Kecamatan Petanahan.
Sisi lain dari industri genteng pun tak kalah menarik untuk dikaji. Misalnya tumbuhnya beberapa usaha sampingan warga sekaligus mampu menghidupkan ekonomi pedesaan. Semisal usaha angkutan truk pengantar pesanan genteng ke luar daerah, warung makan, makelaran jual-beli genteng, jual-beli kayu bakar, juga pengadaan bahan baku tanah liat.
Selain mampu menggerakkan roda ekonomi, usaha genteng Sokka menyisakan sejumlah persoalan. Antara lain terkait dengan pengadaan tanah liat sebagai bahan baku pokok. Ikhwal bahan baku memang menimbulkan dilema tersendiri mengingat tanah liat yang dijadikan bahan baku industri genteng adalah top soil dan berasal dari lapisan tanah sawah produktif. Setelah digali sekian puluh tahun, sudah barang tentu menyebabkan lapisan tanah subur akan berkurang.
Masalah Kemiskinan Penambangan akan menyisakan blumbangan (ceruk) yang kedalamannya berbeda-beda, serupa dengan kolam-kolam di tengah-tengah atau di tepian area persawahan. Usaha pemulihan kembali lahan yang telah rusak akibat penggalian memakan waktu cukup lama.
Kenapa petani setempat menjual lapisan tanah suburnya untuk dijadikan bahan baku genteng? Apakah mereka sudah tak tertarik lagi menggarap lahan pertaniannya? Jawabannya adalah karena masalah kemiskinan, dan kebutuhan uang yang mendesak. Entah untuk membiayai sekolah atau kuliah anaknya ataupun untuk kebutuhan lainnya. Dimungkinkan juga akibat kekurangtelatenannya mengurus lahan pertanian seperti sawah dan ladang.
Sebagai sebuah industri yang produknya banyak dibutuhkan untuk bangunan rumah ataupun perkantoran, apalagi tergolong sudah punya nama,industri genteng Sokka memberikan peluang usaha cukup besar. Hanya , persoalan penurunan kualitas lingkungan seperti banyak-nya lahan pertanian produktif yang bakal menjadi rusak, agaknya memerlukan kebijakan tersendiri.
Pola-pola pertanian yang ada seperti padi sawah, pertanian palawija sangat mendesak untuk ditingkatkan produktivitas ekonominya. Di samping itu sangat mendesak pula untuk mengurangi angka kemiskinan di kawasan pedesaan Kebumen. Misalnya dengan memacu kreativitas warga pedesaan dalam menggeluti aneka produk kerajinan, usaha jajanan oleh-oleh khas, juga bidang kewirausahaan lainnya.
Seiring meningkatnya kesejahteraan, ada harapan mereka tak gampang begitu saja menjual lahan persawahan untuk dikeruk tanahnya. Ada baiknya kolam-kolam bekas galian bahan baku genteng itu disulap jadi kawasan perikanan produktif serta wisata pemancingan. Tiada lain agar lahan yang telanjur rusak dan tak mungkin ditanami dalam jangka waktu lama itu, tetap mampu menghasilkan. (10)
— Sukron Makmun, warga Kebulusan, Kecamatan Pejagoan, Kabupaten Kebumen, bergiat di Forum Penulis Kebumen.
Wacana Suara Merdeka 1 Juni 2010