YAYASAN dalam bidang pendidikan merupakan badan hukum yang memiliki legalitas kuat untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai UU Nomor 16 Tahun 2001 jo UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Dengan legalitas itu, kedudukannya tak perlu lagi diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Badan Hukum Pendidikan (BHP) setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP.
Sebagaimana diketahui, 31 Maret lalu MK membatalkan UU Nomor 9 Tahun 2009 karena, pertama; UU BHP secara keseluruhan dinilai bertentangan dengan UUD 1945. MK juga membatalkan sebagian pasal dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Kedua; majelis hakim MK menilai UU BHP berusaha menyeragamkan pendidikan dan mempersempit akses masyarakat miskin dalam memperoleh hak di bidang pendidikan. Penyeragaman bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak sesuai dengan Pasal 31 UUD 1945.
Ketiga; MK menilai UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum. UU itu dianggap bertentangan dengan Pasal 28 d Ayat (1) dan Pasal 31 UUD 1945. Keempat; majelis hakim MK menyatakan UU BHP memiliki kelemahan dari aspek yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasan dengan UU lain. Pengaturan badan hukum pendidikan dalam UU BHP dinilai tidak sesuai dengan rambu-rambu yang pernah diberikan MK dalam putusan sebelumnya, terkait dengan Pasal 53 Ayat (1) UU Sisdiknas.
Kelima; pemberian otonomi kepada PTN berakibat beragam, misalnya lebih banyak PTN tidak mampu menghimpun dana karena keterbatasan pasar usaha di tiap daerah, dan hal ini bisa mengganggu penyelenggaraan pendidikan.
Kehadiran UU BHP justru menyebabkan perguruan tinggi negeri (PTN) membuat pendidikan menjadi sebuah komoditas sehingga biaya pendidikan di PTN menjadi sangat mahal.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah setelah pembatalan UU BHP perlu diterbitkan perpu atau peraturan pemerintah (PP) yang akan mengatur tata kelola penyelenggaraan perguruan tinggi? Bagaimanakah dengan keberadaan yayasan yang menyelenggarakan PTS? Apakah juga perlu regulasi baru?
UU Yayasan
Terhadap dibatalkannya UU BHP ini, Mendiknas awalnya menafsirkan bahwa pembatalan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP berimplikasi pada adanya kevakuman hukum bagi yayasan untuk menyelenggarakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Alasannya di dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 jo UU Nomor Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, disebutkan bahwa yayasan tidak boleh menyelenggarakan pendidikan secara langsung tetapi harus membentuk badan usaha, dan konsekuensinya mencari untung (profit).
Jika mencari untung maka bertentangan dengan prinsip pendidikan. Karena itu, yayasan yang menyelenggarakan pendidikan setelah batalnya UU BHP perlu payung hukum baru. Jika tidak, maka kegiatan yayasan dianggap tidak sah (ilegal).
Terhadap pendapat Mendiknas itu, Asosiasi Badan Penyelenggara-Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP-PTSI) memberikan koreksi. Bahwa pemahaman terhadap pasal-pasal dalam UU tentang Yayasan mestinya dipahami secara keseluruhan, jangan dibaca parsial, agar tidak menimbulkan multiinterpretasi.
Karena itu, yayasan yang kegiatannya di bidang pendidikan, adalah badan hukum yang mempunyai dasar kuat dan sah untuk melakukan kegiatan di bidang pendidikan secara langsung sehingga tidak diperlukan lagi payung hukum lain. Termasuk tidak memerlukan perpu supaya tidak tumpang tindih dengan UU lain.
Jika kemudian pemerintah memandang perlu untuk menerbitkan perpu soal BHP, maka yang perlu diperhatikan adalah pertama; perpu diterbitkan untuk mengakomodasikan keberadaan PTN yang telah berubah menjadi PT BHMN. Kedua; perpu mengatur tentang ”solusi” atas sejumlah yayasan yang belum menyesuaikan dengan UU tentang Yayasan.
Ketiga; perpu tetap menghargai keberagaman serta tidak menimbulkan ekses baru seperti mahalnya biaya pendidikan. Perpu BHP bukanlah duplikasi UU BHP sebelumnya. Dengan demikian keberagaman yang sempat terancam dengan diterbitkannya UU BHP tetap harus dipertahankan. Karena kita sepenuhnya sadar, bahwa setiap yayasan didirikan atas niat dengan visi dan misi yang berbeda. Ada yang berlatar belakang keagamaan, nasional, atau sosial.
Demikian halnya, adanya perbedaan wilayah, kemampuan daerah, dan kemampuan SDM, juga termasuk yang harus dipikirkan. Keberagaman pendidikan telah teruji sejak zaman kolonial hingga kini. (10)
— Nuridin, Wakil Sekretaris DPW Asosiasi Badan Penyelenggara-Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP-PTSI) Jateng, dosen Unissula
Wacana Suara Merdeka 1 Juni 2010