Oleh Setia Permana
PERSOALAN korupsi bagaikan penyakit yang sudah kronis. Korupsi telah menggerogoti semua dimensi dan aspek kehidupan negara bangsa ini. Bahkan, ada yang mengatakan, korupsi sudah menjadi "budaya" masyarakat dalam segenap aktivitasnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir sebagai lembaga ad hoc untuk melawan kejahatan korupsi. KPK eksis, sesungguhnya ditempatkan sebagai upaya untuk menjawab akutnya persoalan korupsi di seluruh aspek kehidupan negara bangsa Indonesia. Sejak kelahirannya, KPK diposisikan agar dapat mengungkap dan menindak kasus-kasus korupsi yang selama ini hidup leluasa.
Dalam laporan akhir tahun, ICW melaporkan kasus tindak pidana korupsi berdasarkan aktornya dan kisaran kerugian keuangan negara yang ditangani oleh KPK. Menurut laporan ICW itu, pada tahun 2009 terdapat tiga puluh tersangka baru yang dijerat. Aktornya didominasi anggota DPR/DPRD (8 orang, 26,67 persen); pejabat eselon dan pimpinan projek (7 orang, 23,33 persen); kepala daerah (6 orang, 20 persen); pejabat BUMN (3 orang, 10 persen), swasta (3 orang, 10 persen); menteri, pegawai BPK dan pejabat bank (masing-masing 1 orang, 3,33 persen). Adapun berdasarkan kerugian keuangan negara, menurut ICW, tahun 2009 kasus yang ditangani KPK cenderung menyentuh rentang Rp 1 miliar hingga Rp 20 miliar.
Problematika korupsi yang ditangani berdasarkan aktor dan kerugian keuangan negara, tentu saja belum mampu menjawab harapan publik. Oleh karena itu, dalam mengoptimalkan peran dan tugas KPK, secara niscaya tidak kendor oleh karena adanya rintangan-rintangan, seperti pelemahan terhadap keberadaan KPK. Justru, pada titik simpul inilah, dengan kewenangan yang dimilikinya, KPK tentunya patut mendesain kembali dalam penanganan persoalan-persoalan korupsi di negeri ini. Dengan demikian, kinerja KPK lebih optimal lagi sebagaimana yang diharapkan publik.
Andil KPK untuk menciptakan pemerintahan yang baik tersebut tidak dapat diingkari, bahkan memiliki peran sangat menentukan sehingga penyelenggaraan negara berada dalam koridor pemerintahan yang amanah. Artinya, pemerintahan secara sungguh-sungguh menjalankan prinsip good governance, yaitu transparan, akuntabel, fairness, dan responsif. Persoalannya, apakah formulasi, implementasi, dan sekaligus evaluasi pemerintahan yang baik (good governance) sudah dilandasi atau diiringi dengan praktik penerapan/implementasi pencegahan korupsi?
Bersinggungan dengan itu, peran dan tugas KPK dalam hal mendesain potensi-potensi korupsi di setiap institusi penyelenggaraan negara, menjadi tantangan yang patut dilakukan KPK sehingga mampu memetakan potensi korupsi di lembaga-lembaga pemerintahan. Hal ini penting dilakukan KPK, pertama, mengidentifikasi potensi pengembalian uang negara skala besar. KPK dalam melaksanakan tugasnya berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana korupsi menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar (lihat UU No. 30/2002, Pasal 11 point c). Potensi-potensi pengembalian uang negara skala besar sesungguhnya menjadi tantangan terbesar KPK dalam mengoptimalkan tupoksinya. Pasalnya, KPK akan ikut memperbaiki kehidupan ekonomi yang makin terpuruk.
Kedua, KPK sebagai lembaga ad hoc yang dikhususkan untuk menangani persoalan-persoalan kejahatan keuangan negara atau korupsi. Dalam tindakannya, KPK jelas tidak bisa lepas dari institusi-institusi penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan. Oleh karena itu, menarik gerbong penegak hukum merupakan langkah terpenting penguatan pemberantasan korupsi. Sinergi ketiga penegak hukum tersebut dalam penuntasan korupsi menjadi penting.
Ketiga, peran strategis KPK pun, di samping penindakan, tentu yang tidak kalah pentingnya adalah pencegahan. Memang, konsep pencegahan ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Konsep pencegahan tersebut memberikan penyadaran budaya secara visioner terhadap semua elemen masyarakat dan institusi-institusi pemerintahan/negara dalam upaya menghindari, menolak, dan menahan diri agar tidak tergoda atau berbuat korupsi. Dalam pencegahan ini, KPK terus-menerus ditantang agar mengoptimalkan perannya dalam pencegahan. Dengan melakukan pencegahan, sesungguhnya menghindari tindakan korupsi. Dalam jangka panjang, peran strategis KPK ini harus segera diintensifkan agar harapan good governance terwujud secepatnya.
Tentu saja idealisme yang ingin dibangun adalah bagaimana membangun generasi yang nirkorupsi? Tampaknya, ini merupakan bagian integral yang justru harus terus-menerus digelorakan dengan program-program antikorupsi untuk setiap level pendidikan dan masyarakat umum. Dengan begitu, pencegahan akan tindakan korupsi dapat diantisipasi sejak dini.
Dengan demikian, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK, di samping membongkar kasus korupsi untuk ditindak dan bahkan dituntaskan, dalam jangka panjang, melakukan pencegahan yang ditujukan kepada generasi pelajar dan mahasiswa sehingga terbangun generasi-generasi yang bebas korupsi. Siapa tahu, pada saatnya nanti, Indonesia menjadi yang terdepan dalam soal clean and good governance.***
Penulis, anggota Komisi III DPR RI dari FPDI Perjuangan.
opini pikiran rakyat 1 juni 2010