Wajah politik yang dipertontonkan oleh kaum elite negeri ini selalu tidak elok. Bahkan, kita pun tidak sanggup memahami aneka manuver yang diperagakan oleh para jagoan politik. Mengapa? Karena yang dikatakan dan yang dipraktikkan kerap tidak sejalan dan mudah berubah sesuai dengan kekuatan angin politik yang berhembus mengikuti keinginan dan kepentingan sehingga terjadilah apa yang disebut paradoks politik, yakni alur politik yang bertentangan, lain di hati, lain di pikiran, lain yang diucapkan dan berbeda dengan yang dilakukan.
Paradoks yang paling nyata, terlihat dalam kasus Bank Century. Di bawah sorotan kamera televisi, setiap partai tampak begitu heroik dan menunjukkan taringnya dalam membela kebenaran dan mencitrakan diri sebagai partai yang berpihak kepada rakyat. Partai Golkar dan PKS, yang dari sudut koalisi, mestinya berpihak kepada pemerintah, ternyata mengikuti pemilihan opsi C, menentang kebijakan pemerintah bersama partai oposisi PDIP, Hanura, dan Gerindra. Tetapi, ironisnya, tatkala sekber terbentuk, mereka serta-merta berdalih, masalah Century sudah selesai di paripurna DPR Maret lalu.
Karena itu, publik pun bertanya lirih, begitukah berpolitik? Publik memang pantas bertanya, karena tahu bahwa dalam politik itu ada etika dan moralitas serta perlu adanya konsistensi dalam kata dan perbuatan. Celakanya, meski mereka jelas-jelas sudah mengkhianati janji kampanye dan melukai hati rakyat, toh masih berdalih bahwa semua itu dilakukan demi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Pertanyaan tentu mencuat, rakyat, bangsa, dan negara yang mana? Yang namanya politisi, dalih selalu saja ada. Lebih lanjut, di mana demi menjaga kemungkinan munculnya gejolak sosial akibat tidak becusnya berpolitik, mereka berwacana tentang perlunya stabilitas politik demi mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran yang semuanya berlabel rakyat. Padahal, mereka jelas-jelas tidak memikirkan nasib rakyat.
Kartel, oligarki, dan plutokrasi
Namun, satu hal yang menjadi catatan di balik terbentuknya Sekber Partai Koalisi dan wacana politik 'melenyapkan' kasus Century dari lembaran sejarah politik adalah bahwa semua itu terjadi pascalengsernya Sri Mulyani Indrawati dan menerima tawaran menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia sehingga wacana atau diskursus politik pun berseliweran di ranah publik tentang adanya kartel politik di tataran elite politik negeri ini. Apalagi, sebelumnya mencuat rumor adanya perseteruan antara Sri Mulyani dengan Aburizal Bakrie soal pajak yang melibatkan perusahaan grup Bakrie. Dalam hal mana, lengsernya Sri Mulyani, diduga kuat akibat arus kuat kartel politik.
Mengenai kartel politik, meski tidak ada definisi yang baku, dalam logika politik, bahkan juga ekonomi dan hukum, selalu dipahami dalam konteks sebagai adanya persekongkolan elite politik yang bekerja sama dengan kelompok-kelompok kuat lain seperti penguasa dalam satu oligarki semu untuk menetapkan haluan politik tertentu yang sifatnya tertutup untuk umum dan untuk membatasi kompetisi, Boni Hargens (Kompas, 22/5).
Kartel politik umumnya dipahami di dua ranah, yakni ranah partai dan ranah pemerintah atau ranah kekuasaan. Pertama, kembali menyitir Hargens, pada ranah partai politik, selalu saja ada segelintir elite politik yang memegang kekuasaan semimutlak atau mendekati diktator, seperti sang raja. Mereka umumnya adalah pemilik modal dan pendiri partai. Hampir semua partai di Indonesia tumbuh subur kartel politik seperti ini.
Kedua, kartel politik di ranah pemerintah atau kekuasaan, yang umumnya dibaca dari perubahan konstelasi di tingkat elite, baik elite politik maupun elite penguasa, yang masing-masing memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk politik kekuasaan. Tergusurnya Sri Mulyani dari menteri keuangan merupakan korban dari jenis kartel seperti ini. Kartel politik di ranah ini, seperti halnya di ranah partai politik, berjalan dalam gelap, sulit diukur. Semuanya tumbuh subur dalam arus politik yang terkenal dengan politik oligarki.
Oligarki adalah kekuasaan di tangan segelintir orang. Menurut Moh Mahfud MD, wajah politik Indonesia sekarang ini memang berkonfigurasi politik oligarkis, yaitu suatu konfigurasi politik yang didominasi kelompok elite yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling memberi keuntungan politik di antara para elite negeri. Pada awal reformasi, memang terlihat bahwa konfigurasi politik berubah dari otoriter ke demokratis, tetapi suasana demokratis itu hanya berlangsung tidak lebih dari dua tahun karena setelah itu konfigurasi politik berubah ke arah oligarkis karena demokrasi sudah dicuri oleh petualang-petualang politik yang korup yang bersekongkol dengan penguasa-penguasa hitam.
Maka, terjelmalah ke dalam sosok dan wajah politik di negeri ini dengan apa yang disebut negara plutokrasi. Plutokrasi adalah wajah pemerintahan yang dikelola oleh sekelompok orang kaya. Di negeri ini, baik pelaku politik oligarkis maupun plutokrasi, adalah para pelaku politik kotor dalam aksi persekongkolan yang dibingkai kartel politik. Semua pelakunya sebenarnya sudah lama menjadi penumpang gelap dalam sistem demokrasi yang luput dari perhatian kita. Karena, memang, seperti dalam jejak kartel politik, semuanya berjalan dalam 'kegelapan' bak siluman, samar-samar, rahasia dan sulit dilacak, serta yang kelihatan ke permukaan hanyalah dampak dari permainan kotor yang mereka gerakan. Apalagi, sistem politik Indonesia berwajah multipartai, yang dalam menjalankan kekuasaan politik mengandalkan koalisi sehingga kompleksitas politik menjadi realitas yang tidak terbantahkan, yang sekaligus tumbuh suburnya kartel politik oligarkis dan plutokrasi menjadi sulit dicegah.
Keluar dari sindroma
Untuk membangun bangsa besar ini menjadi harmonis dan bermartabat, mesti diusahakan bangunan-bangunan politik yang terbebas dari sindroma oligarki, plutokrasi, dan persekongkolan berwajah kartel. Baik parpol maupun politisi di mana pun hingga kini tidak terbebas dari sindroma-sindroma itu. Disadari atau tidak, persekongkolan, kronisme, dan nepotisme sudah lama melanda komunitas parpol dan elite politik. Apa pun wajah dari bangunan-bangunan politik itu harus ditopang oleh sistem kepartaian yang sederhana dus ketatnya kontrol dan kritik publik dalam bingkai demokrasi.
Dalam hal ini, demokrasi substansial mesti dibangun dengan baik dalam tubuh partai sendiri agar segala ketimpangan yang terjadi di tingkat elite partai dapat tercegah oleh kontrol anggotanya, dan anggota parlemen yang kritis pun tidak gampang diberangus oleh elitenya sendiri karena adanya transaksi-transaksi politik antara para elitenya dengan penguasa atau kekuasaan-kekuasaan lainnya. Semua itu akan lebih berhasil jika presiden benar-benar tampil kredibel dalam menjalankan roda pemerintahan dengan seluruh kebijakannya dengan cara memaksimalkan hak prerogatifnya. Hanya dengan cara ini seorang pemimpin tertinggi dapat mencegah tumbuhnya kartel di sekelilingnya. Karena lingkungan seorang pemimpin tertinggi di sebuah negara tidak bisa terbebas dari kartel politik sebagaimana sebuah negara tidak akan pernah steril dari oligarki dan plutokrasi, di mana para pelakunya hadir dan beraksi bak siluman alias penumpang gelap dalam biduk bangsa.
Oleh Thomas Koten Direktur Social Development Center
opini media indonesia 01 juni 2010
31 Mei 2010
» Home »
Media Indonesia » Oligarki, Plutokrasi, dan Kartel Politik
Oligarki, Plutokrasi, dan Kartel Politik
Thank You!