23 Mei 2010

» Home » Republika » Menteri Keuangan dan Sektor Riil

Menteri Keuangan dan Sektor Riil

Saat mewakili pemerintah menyampaikan pokok-pokok RAPBN 2011 di rapat paripurna DPR, 20 Mei 2010, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan satu pesan penting kepada penggantinya: pertumbuhan ekonomi harus berkualitas, dan perlunya mengurangi utang. Selama lima tahun menjadi Menteri Keuangan (2005-2010), seingat penulis, baru kali ini Sri Mulyani mengakui ada yang "salah" dalam perekonomian kita. Puja-puji indikator ekonomi makro yang kinclong-seperti pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen inflasi di bawah satu digit, rupiah stabil, indeks saham dan cadangan devisa terus melonjak-ternyata hanya dihela sektor keuangan, jasa, dan perbankan (non-tradable). Sektor ini bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya hanya segelintir.

Di sisi lain, pertumbuhan PDB (product domestic brutto) digerakan oleh sektor industri, pertanian, dan pertambangan (tradable). Sektor ini ditekuni lebih 109 juta warga atau separuh penduduk negeri ini. Ironisnya, dari tahun ke tahun, pertumbuhan sektor tradable ini tidak membaik. Sektor industri, misalnya, kecenderungannya justru terjadi deindustrialisasi. Dari tahun 2005-2009, pertumbuhan sektor industri merosot dari 5,6 persen menjadi hanya 2,7 persen. Sektor ini diperkirakan mengalami pukulan berat setelah beleid perdagangan bebas Cina-ASEAN, dan sebentar lagi India-ASEAN (Juni 2010), berlaku.

Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs non-tradable ini memiliki implikasi serius karena terkait dengan pembagian kue dan surplus ekonomi. Sektor non-tradable hanya ditekuni 400-500 ribu orang, tapi pertumbuhannya melampaui Cina. Penyerapan tenaga kerjanya lebih kecil dari sektor tradable. Ini berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja. Di era Orde Baru, tiap pertumbuhan satu persen menyerap 400 ribu tenaga kerja, kini hanya 200 ribu. Inilah era pertumbuhan minus kesejahteraan, pertumbuhan yang tidak berkualitas. Lebih dari itu, pertumbuhan justru memperlebar kesenjangan: yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Ini terlihat dari meningkatnya indeks gini: dari 0,32 (2004) menjadi 0,37 (2009). Kesenjangan ekonomi yang makin melebar ini menandakan ada yang salah urus dalam sistem insentif pada perekonomian kita.

Selama Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan, keluhan pembiayaan yang murah untuk industri, terutama usaha kecil-menengah (UKM), belum mendapatkan jalan keluar. Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia terus menekan suku bunga acuan (BI rate). Seharusnya, usaha ini diikuti penurunan tingkat suku bunga pinjaman. Itu tidak terjadi di Indonesia karena perbankan selalu melakukan benchmark terhadap surat utang negara (SUN) pemerintah. Salah satu prestasi Sri Mulyani adalah menggeser sumber utang: dari utang luar negeri ke sumber domestik. Namun, SUN yang dikeluarkan pemerintah bunganya lebih mahal, bahkan pernah mencapai 11 persen. Ini yang membuat perbankan enggan menurunkan suku bunga pinjaman. Akibatnya, dunia usaha kering likuiditas.

Sejak 2007, kredit yang diserap industri lebih kecil dari jumlah yang diserap sektor jasa. Kecenderungan itu terus berlanjut. Per Oktober 2009, total kredit yang diserap sektor industri Rp 238 triliun atau 16,6persen dari total kredit Rp 1.438 triliun. Pada saat yang sama, daya serap kredit sektor perdagangan dan jasa masing-masing 19,8 persen dan 22,4 persen. Ini menunjukkan, sektor industri terus mengalami kontraksi penyaluran kredit, terutama pada kredit investasi dan kredit modal kerja. Sebaliknya, perbankan lebih suka menyimpan dananya di instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Per April 2010, dana menganggur di SBI mencapai Rp 346,6 triliun, naik 48 persen dibandingkan 2009. Tanpa terobosan, kontraksi kredit sektor riil dan deindustrialisasi akan terus berlanjut.

Penunjukan Agus Martowardojo dan Anny Ratnawati sebagai menteri keuangan dan wakil menteri keuangan diharapkan bisa menggerakkan sektor riil. Agus yang bankir mengerti betul betapa sulitnya dunia usaha dan sektor riil mendapatkan sumber pembiayaan murah. Anny Ratnawati yang memahami aspek makroekonomi dan sektor pertanian akan menjadi "duet maut" untuk menggerakkan sektor riil. Agus memiliki pengalaman menggerakkan sektor riil melalui fungsi intermediasi perbankan, sedangkan Anny saat menjadi Dirjen Anggaran memiliki pengalaman mengelola fiskal, sehingga kombinasi sektor riil dan sektor fiskal seharusnya menjadi sinergi yang optimal. Konsep kebijakan fiskal akan cenderung lebih prosektor riil, bukan hanya sektor keuangan.

Ke depan, formulasi insentif fiskal mestinya diarahkan sesuai kepentingan nasional. Sampai beberapa tahun ke depan, masalah pengangguran dan kemiskinan masih menjadi isu terpenting, sehingga insentif fiskal harus ditujukan guna mengatasi dua soal itu. Jumlah pengangguran terbuka saat ini 9,26 juta orang, dan mereka yang setengah menganggur mencapai 31,36 juta orang. Jumlah penduduk miskin versi BPS (Rp 280.000/orang/bulan) masih tinggi: 34,96 juta orang (14,6 persen). Caranya, insentif fiskal didorong untuk mengembangkan sektor pertanian, pertambangan, dan industri (padat tenaga kerja) agar pertumbuhan ekonomi tak melulu ditopang oleh sektor non-tradeable.

Sektor pertanian dan industri memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang tinggi, sehingga cocok untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Selebihnya, instrumen fiskal juga mesti berpihak pada pelaku ekonomi domestik, bukan seterusnya memberi karpet merah kepada pelaku ekonomi asing (Yustika, 2010). Selama ini masalah pemihakan ini kurang disentuh, sehingga investasi lebih banyak didominasi investor luar negeri. Terakhir, kebijakan fiskal juga harus menyentuh upaya mengurangi ketimpangan pendapatan antarsektor maupun antarpenduduk. Semua harapan itu ditumpukan pada duet Agus-Anny. Waktulah yang membuktikan itu terjadi atau tidak.

Opini Republika 24 Mei 2010