Kongres II Partai Demokrat berakhir dengan kemenangan Anas Urbaningrum. Penghitungan akhir suara putaran II Minggu, 23 Mei 2010, pukul 20.00 WIB telah menobatkan Anas sebagai ketua umum baru Partai Demokrat. Dia mendapatkan suara 280 (52,53 persen), melampaui pesaingnya, Marzuki Ali, yang meraih 246 (46,15 persen). Suara tidak sah/rusak 7 (1,33 persen).
Sebelumnya, kompetisi antarkandidat dalam Kongres II Partai Demokrat berlangsung cukup seru. Pada putaran pertama, kompetisi antarkandidat ketua umum berlangsung cukup mengejutkan. Andi Mallarangeng yang diprediksi akan masuk putaran II ternyata kandas pada putaran I dengan mendapatkan 82 suara (15 persen).
Karisma Politik
Kemenangan Anas ini tidak lepas dari sejumlah faktor. Pertama, menguatnya kepercayaan dan karisma sosok Anas. Patut diakui, sosok Anas memang memiliki karisma yang menarik. Dia memiliki personality yang tenang, kredibel, dan kompeten dalam manajemen keorganisasian dan sumber daya politik. Sebagai ketua DPP bidang politik, Anas juga memiliki gaya dan retorika politik yang memesona. Retorika politik yang tampak khas Indonesia melekat dalam diri Anas. Karisma itulah yang, rupanya, menjadi tumpuan harapan para elite Partai Demokrat sehingga memberikan suaranya kepada Anas.
Kedua, unsur kedekatan Anas dengan sejumlah DPD dan DPC Partai Demokrat. Dalam persaingan perebutan suara dalam konggres parpol, unsur kedekatan emosional kandidat dengan para pimpinan DPD dan DPC menjadi unsur utama daya magnetnya dalam menarik suara. Gaya Anas yang populis dan komunal harus diakui menjadi salah satu kekuatan kunci dalam merebut hati suara DPD dan DPC Partai Demokrat.
Ketiga, orientasi politik dan watak politik Anas yang bersifat akomodatif dan kolektif juga menjadi unsur daya magnetik luar bisa. Sikap Anas dan tim suksesnya yang terus mencoba mengakomodasi kekuatan politik kubu Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie cukup deras dilakukan sepanjang momen kongres tersebut berlangsung.
Kesuksesan Co-branding
Keempat, kemenangan Anas itu merupakan wujud kesuksesan strategi co-branding dirinya dengan sosok SBY. Dapat kita lihat, selama beberapa periode keaktifannya dalam Partai Demokrat, sosok Anas terus meng-upgrade brand dirinya dengan sosok SBY. Hal itu tampak bagaimana sejak beberapa tahun yang lalu nilai-nilai kepemimpinan, gaya manajerial, retorika politik, bahkan performance dirinya kian ''menyerupai'' sosok SBY. Karena itu, banyak kalangan yang kemudian menyebut Anas sebagai SBY Kecil.
Kelima, Anas juga berhasil mengobjektivasi dirinya sebagai sosok yang dapat dijadikan tumpuan masa depan Partai Demokrat pasca SBY. Dalam perspektif konstruksi sosial (mengacu kepada pemikiran Thomas Luckmann dan Peter L. Berger, 1967), Anas secara cerdas melakukan objektivasi, internalisasi, dan eksternalisasi atas dirinya dengan sosok SBY.
Keenam, kemenangan Anas tersebut juga mencerminkan kegagalan konsep dan model strategi marketing politik yang dilakukan kubu Andi Mallarangeng dan Fox Indonesia. Sebagaimana kita saksikan, selama beberapa bulan kubu Andi rajin melakukan strategi kampanye di media televisi dan media luar ruang. Padahal, arena politik kongres berbeda dengan arena pemungutan suara dalam pemilu langsung. Tentu saja, aktivitas kampanye seperti itu memakan biaya yang sangat mahal, namun kurang efektif dalam arena pemilihan ketua umum partai.
Beban dan Harapan
Kemenangan Anas bagaimanapun masih menyimpan beban politik yang cukup berat. Saat ini Partai Demokrat sudah diakui sebagai partai papan atas nasional, pemenang Pilpres dan Pemilu Legislatif 2009. Bagaimanapun, figur SBY telah melahirkan catatan emas bagi Partai Demokrat. Selama dua periode SBY terbukti mampu menjadi daya pikat luar biasa.
Pasca SBY, tantangan besar justru menghadang di depan mata. Kemenangan Anas bagaimanapun menanggung harapan yang cukup berat, yaitu bagaimana mengelola sumber daya politik Partai Demokrat pasca SBY. Pertama, terkait dengan up-grading kharisma, kompetensi, dan visi Anas agar bisa mempertahankan atau bahkan meningkatkan pengaruh politik Partai Demokrat. Unsur diri dan kepemimpinan Anas di sini menjadi tumpuan harapan bagi Partai Demokrat dalam mempertahankan atau meningkatkan eksistensi politiknya lima tahun mendatang. Harapan politik ini tentunya sangat serius bagi Anas. Tentu saja di sini membutuhkan strategi komunikasi politik yang lebih matang.
Kedua, menata kelembagaan organisasi Partai Demokrat. Hingga kini, kekuatan sumber daya kelembagaan dan organisasi Partai Demokrat belum sebanding dengan partai koleganya dalam koalisi, seperti Partai Gokar. Sosok Anas yang telah banyak belajar dari para seniornya yang menjadi tokoh di Partai Golkar tentunya harus bekerja keras dalam meng-upgrade sumber daya organisasi Partai Demokrat agar setara atau bahkan melampaui Partai Golkar. Pasca SBY, jelas eksistensi Partai Demokrat akan sangat dipengaruhi oleh kekuatan manajemen kelembagaan organisasi yang dimilikinya sebagai partai modern.
Ketiga, terkait dengan kaderisasi dan regenerasi Partai Demokrat. Sebagaimana kita tahu, saat ini Partai Demokrat masih didominasi oleh jajaran pengurus ''veteran'' organisasi sosial, keagamaan, ormas, OKP, birokrasi, militer, bahkan migrasi dari partai lain. Kondisi tersebut memang menyimpan potensi positif terkait dengan keragaman SDM dan jejaring politik. Kendati demikian, partai modern tentu membutuhkan pola kaderisasi dan regenerasi yang matang jika mau berumur panjang. Pasca SBY, di bawah kepemimpinan Anas, eksistensi Partai Demokrat masih belum sepenuhnya mampu menjadi partai papan atas nasional. Di tangan Anas, takdir politik Partai Demokrat kian menarik untuk kita lihat pada masa mendatang. (*)
*) Ahmad Nyarwi, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta
Opini Jawa Pos 24 Mei 2010
23 Mei 2010
Kepemimpinan Baru Partai Demokrat
Thank You!