MENCERMATI pernyataan Anggito Abimanyu di media bahwa alasan pengunduran dirinya sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan bukan karena mengejar jabatan melainkan karena harga dirinya yang terusik, kita tentu sangat memahaminya. Rasanya memang menyakitkan.
Anggito pada Februari lalu diumumkan akan diangkat menjadi Wakil Menkeu, namun batal dilakukan dengan alasan administratif. Ternyata pada pengumuman 19 Mei lalu pun namanya tidak disebut menjadi Wakil Menkeu, meski menurutnya secara administratif sebenarnya sudah tidak ada kendala lagi.
Sehingga, akhirnya ketika dia mengajukan pengunduran diri melalui suratnya 20 Mei lalu dengan menyatakan akan nonaktif mulai 24 Mei hal itu bukan hal mengagetkan lagi. Selama 10 tahun menggawangi masalah kebijakan fiskal yang kenyataannya mampu memelihara stabilitas ekonomi Indonesia saat ini, tentu telah membuktikan kepiawaiannya.
Di sisi lain, sangatlah manusiawi bila Anggito yang pernah diumumkan akan diangkat menjadi wakil menteri memiliki kepercayaan diri, serta (mungkin) berharap amanah yang pernah akan disandangnya tersebut, benar-benar menjadi kenyataan.
Karena itulah, bila akhirnya pengunduran diri karena terusiknya harga diri Anggito dikabulkan, maka hendaklah hal ini menjadi catatan bagi siapa pun kelak yang memegang tampuk kekuasaan. Kita ingat, pada awal pemilihan anggota Kabinet Indonesia Bersatu II pun, ada orang tersakiti.
Nyonya Farid Anfasa Moeloek yang ketika itu dipanggil Presiden dan menjalani tes kesehatan sebagai salah satu indikator akan dipilih menjadi Menteri Kesehatan, terpublikasi di berbagai media, serta telah menerima berbagai ucapan selamat, ternyata namanya hilang digantikan orang lain saat anggota kabinet diumumkan secara resmi.
Lepas dari hal-hal tersebut kesalahan siapa, serta mengapa hal itu bisa terjadi di era keterbukaan di mana berbagai media menunjukkan kemampuannya menjadi mata dan telinga masyarakat, maka hal-hal serupa harus benar-benar dapat dihindarkan. Dari sisi public relations (PR), baik dari sisi kepentingan lembaga pemerintahan, terlebih bagi individu yang bersangkutan, hal tersebut jelas mengusik serta merugikan dari sisi pencitraan, yang saat ini seolah sedang diprimadonakan.
Pertanyaannya, mungkinkah hal itu akan diperhatikan kelak, atau sebaliknya terabaikan oleh berbagai kepentingan? Serta apa dampaknya bila hal itu diperhatikan atau sebaliknya diabaikan?
Harga Diri Kita lalu ingat kata para ahli psikologi, antara lain New Comb dan Turner, yang mengatakan bahwa secara psikologis, manusia itu memiliki kebutuhan pokok utama terkait dengan harga diri. Keduanya mengatakan bahwa manusia secara psikologis cenderung mengabaikan apapun, selama harga dirinya terusik. Karena itu, sangat logis bila Anggito memilih meninggalkan jabatannya di Kemenkeu dan kembali ke habitatnya di UGM.
Padahal, dilihat secara finansial, penghasilannya terkait dengan jabatannya di Depkeu tentu jauh lebih besar dibanding menjadi dosen UGM. Bila memang itu yang dikejar, Anggito tentu tenang-tenang saja menempati jabatannya, dan tidak harus mengundurkan diri. Kenyataannya dia memilih mengundurkan diri, karena merasa harga dirinya terusik, alias merasa bahwa dirinya kurang dihargai.
Terkait dengan hal ini, Anggito pun marah dan kurang berkenan, tatkala sejumlah kalangan mengaitkannya dengan partai. Kemarahannya pun lumrah terjadi karena Anggito hingga saat ini tidak pernah berafiliasi ke parpol, selain hanya menunjukkan profesionalitasnya.
Kasus Anggito yang bila akhirnya disetujui (karena masih digondeli Menko Ekuin), tentu bak drama dua babak yang berakhir tragis atau sebaliknya happy ending, tinggal siapa yang melihat, serta dari sisi mana. Di era peran serta fungsi mediasi media massa yang cukup maksimal saat ini, apapun hampir tidak pernah lepas dari bidikannya.
Nasi telah menjadi bubur, Wakil Menkeu telah ditetapkan dan dilantik, dan Anggito telah mengajukan pengunduran diri, sehingga hal itu tidak mungkin diubah. Bagaimana pun kita juga ingat referensi bijak para sesepuh: mikul dhuwur mendhem jero, sekaligus ing ngarsa sung tuladha. (10)
— Drs Gunawan Witjaksana MSi, dosen STIK Semarang dan Jurusan Ilmu Komunikasi USM
Wacana Suara Merdeka 24 Mei 2010