23 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Kriminalisasi Perajin Jamu Tradisional

Kriminalisasi Perajin Jamu Tradisional

AKHIR Maret lalu koran ini memberitakan 252 perajin jamu lagi-lagi terancam masuk bui. Belakangan diberitakan  kasus jamu tradisional dari Banyumas yang diduga mengandung bahan kimia obat (BKO).

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 1.623 kotak besar jamu dan ribuan kemasan jamu yang diduga mengandung BKO.

Jika dicermati, kasus kisruh jamu tradisional nyaris tiap tahun ditemukan pelanggaran. Sementara itu, perajin jamu kebingungan sekaligus mengeluh. Mereka mengeluh bagaimana harus berbuat di tengah kesulitan hidup. Berusaha dan mengembangkan potensi lokal Banyumas berupa jamu tradisional yang sudah turun-temurun dijalani ternyata susah, ruwet bahkan sering berakhir ’’sial’’ karena selalu saja berurusan dengan penegak hukum. Tak jarang cap-cap kriminal juga harus mereka rasakan tanpa henti.


Disebut susah karena untuk mendirikan usaha di zaman krisis ini butuh kesabaran, ketabahan luar biasa. Tanpa itu maka usaha bisa mudah bubar. Dikatakan ruwet karena untuk sampai pada produksi jamu tradisional butuh berliku-liku izin usaha sampai thethek bengek birokrasi perdagangan lainnya yang menguras tenaga, waktu, dan biaya. Tak sedikit keluarga perajin harus menanggung beban upah dan penghidupan warga sekitar. Disebut sial karena keliru sedikit pun masalah mudah membesar bahkan tak jarang selalu diteror, diancam hingga diberangus oleh berbagai pihak.

Saring, (35), pelaku “pelanggaran” sekaligus pembuat jamu BKO di Desa Dukuhwaluh, Kecamatan Kembaran, Banyumas yang terancam dijadikan tersangka karena meracik jamu tradisional berbahan kimia obat, mengaku telah mengikuti prosedur, bahkan selama ini usahanya juga diawasi oleh pemda setempat.

Belajar dari beberapa kasus serupa yang dialami oleh perajin jamu tradisional asal Cilacap beberapa waktu lalu, (tahun 2002-an), kini Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga selalu mengawasi secara reguler. Tetapi ternyata semua itu tak berpengaruh apa pun terhadap masa depan usahanya. Lalu, di mana letak kekeliruan selama ini?

Menopang Pendapatan

Pertanyaan “kebingungan” dari Saring, perajin jamu tradisional itu mewakili banyak pertanyaan sejenis dari perajin jamu tradisional yang jumlahnya mencapai ratusan. Diperkirakan tak kurang dari 120 perajin jamu sedang beroperasi di Banyumas. Di Kabupaten Cilacap dan sekitarnya bahkan tak kurang dari 523 perajin jamu tradisional yang kini mampu mempekerjakan lebih dari 3000 tenaga kerja lokal.

Banyak pengaruh eksistensi usaha jamu tradisional di tingkat lokal itu. Tak hanya mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan kemiskinan, tetapi juga terbukti mampu menopang pendapatan daerah setempat hingga membangkitkan sektor usaha kecil yang kini justru sedang didorong pemerintah pusat dan daerah untuk tumbuh-kembang secara progresif.

Adanya kasus BKO dalam jamu tradisional tak hanya mengancam eksistensi usaha kecil perajin jamu tradisional di Banyumas, tetapi juga telah berimbas kepada citra jamu tradisional di daerah lain. Sayang klarifikasi kandungan BKO secara jelas dan komprehensif belum diumumkan aparat berwenang sehingga membingungkan perajin jamu lainnya bahkan mengancam eksistensi mereka di masa datang.

Di sinilah perlunya keterlibatan pemda setempat untuk pro-aktif melakukan investigasi sehingga diperoleh penjelasan yang terang tentang BKO dalam jamu, sekaligus secara simultan terus melakukan pemberdayaan potensi lokal tersebut sehingga dapat berkembang sebagaimana mestinya.

Pendidikan dan pemahaman memproduksi jamu tradisional yang aman dan sehat dengan kebijaksanaan, kesabaran, dan keadilan yang visioner dari pemerintah menjadi taruhan masa depan usaha kecil jamu tradisional di masa datang. Yang terpenting dari semua itu adalah menghentikan berbagai upaya aparat dan warga untuk mengkriminalisasikan para perajin jamu itu sendiri.

Hal ini strategis dilakukan, karena seusai penggerebekan jamu yang diduga ilegal itu, perajin merasa diteror. Mulai hadirnya preman pemeras yang datang ke rumah-rumah penduduk dan mengaku sebagai aparat, hingga tarikan dana tak jelas lainnya. Kejadian demikian terkesan terus dibiarkan saja.

Usaha jamu tradisional di Banyumas dan sekitarnya telah berjalan turun-temurun bahkan konon sudah eksis sejak zaman Jepang, tetapi mengapa selalu saja bermasalah di kemudian hari? Tentu di samping ada oknum yang mau mencari keuntungan diri dan kelompok, juga mencerminkan komunikasi dan koordinasi yang kurang maksimal di antara stakeholder yang terlibat . Padahal peran-peran komunikasi, koordinasi, dan konsolidasi tersebut sangat bermanfaat bagi masa depan usaha jamu tradisional itu sendiri. (10)

— Tasroh SS MPA MSc, pegiat Banyumas Policy Watch dan alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang


Wacana Suara Merdeka 24 mei 2010