03 Januari 2010

» Home » Kompas » Menghargai dan Mencari Figur Pengganti Gus Dur

Menghargai dan Mencari Figur Pengganti Gus Dur

Dua hari menjelang akhir tahun 2009, warga bangsa ini ditinggalkan seorang tokoh besar, mantan Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mantan Ketua Tanfidziyah PB NU selama 15 tahun (tiga periode) itu pergi untuk selamanya, hijrah ke alam baka memenuhi panggilan Sang Pencipta.
Yang merasa kehilangan atas kepergian Gus Dur tentu bukan saja kaum nahdlyin (warga Nahdlatul Ulama/NU), melainkan juga banyak pihak, utamanya bagi pencinta tegaknya nilai-nilai pluralisme di negeri ini. Bahkan, pada tingkat tertentu, ada kalangan minoritas yang sedikit gelisah lantaran membayangkan suasana psikologis yang bukan mustahil akan berbeda pada era pasca-Gus Dur.


Suasana kejiwaan sosial seperti itu memang wajar. Soalnya mereka sudah merasakan begitu signifikan dan selalu tulusnya cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, itu memberikan perlindungan terhadap kalangan minoritas sehingga bisa menjalankan hak-hak budaya dan agama yang dianut secara baik. Bahkan, lantaran pemikiran dan sikapnya yang demikian konsisten dalam melakukan pembelaan terhadap elemen bangsa yang terusik hak-hak budaya, agama, dan politiknya itu, Gus Dur memperoleh kritik tajam atau berhadapan dengan kekuatan konservatif dalam pandangan agama dan sikap politik tertentu.
Namun, bukan Gus Dur namanya kalau gentar atau kendur dalam menghadapi semua kritikan dan kecaman yang tertuju kepadanya. Sebaliknya, ia semakin gigih dengan memperoleh dukungan luas baik dari elemen-elemen masyarakat demokrasi di Indonesia maupun mancanegara. Semuanya menjadi bagian dari penguat gerakan pemikiran dan budaya dalam rangka mendarah-dagingkan nilai-nilai kemajemukan sehingga suasana kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan selalu harmonis dan penuh toleransi.
Eksistensi pluralisme
Gagasan dan tindakan Gus Dur seperti itu sebenarnya merupakan ajaran nilai-nilai kebangsaan yang hakiki berangkat dari realitas sosiologis keindonesiaan, berangkat dari penghargaan yang tinggi terhadap hakikat dan eksistensi kemanusiaan. Kita tak bisa menghindarkan diri dari kenyataan multi-etnik dan komunitas dengan budaya dan agama masing-masing; yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari fondasi filosofis bangsa ini: Bineka Tunggal Ika.
Tepatnya, ketika Gus Dur mengembangkan pemikiran dan gerakan sosial budaya untuk penghargaan terhadap eksistensi pluralisme, sebenarnya ia tengah melakukan penyadaran kepada masyarakat dan penyelenggara negara untuk terus memperkokoh bangunan keindonesiaan. Sebaliknya, bagi siapa pun yang menghalanginya, boleh jadi merupakan bagian dari segelintir warga atau elemen bangsa yang secara tak langsung berupaya merapuhkannya. Yang terakhir ini sudah pasti sangat tidak diinginkan.
Pemikiran kebangsaan dan perjuangan Gus Dur itu sudah sangat jelas dan seharusnya menjadikan rujukan bagi penyelenggara negara dan atau siapa pun yang berperan di ranah publik. Dengan demikian, tak perlu ada yang khawatir dengan menganggap ”jangan-jangan roh Gus Dur tak menjelma atau masuk dalam kalbu para penentu kebijakan di negeri ini”.
Masalahnya, memang, andai pun ”ajaran Gus Dur” diakui eksistensinya, tetapi belum tentu ada yang secara berani mengimplementasikannya. Padahal, penghargaan terhadap Presiden ke-4 RI yang itu bukan hanya sekadar menganggapnya berjasa sebagai ”pahlawan bangsa” dan atau istilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Bapak Pluralisme, melainkan pada tingkat di mana ajarannya benar-benar diwujudkan dalam praktik hidup bermasyarakat dan bernegara. Tanpa itu, berarti sama halnya dengan mengabaikannya, hanya menjadikannya sebagai pelaku sejarah sosial dengan pemikirannya yang selalu menarik untuk dikaji, tetapi sulit atau luput diaplikasikan.
Kekhawatiran seperti itu pada dasarnya juga beralasan. Mengapa? Pertama, tindak lanjut perjuangan Gus Dur memerlukan figur berkarakter di mana, kalau mau jujur diakui, hingga sekarang kita masih sulit menemukannya. Kita memang memiliki banyak tokoh yang menonjol (prominent figures) dengan kapasitas individu yang kuat. Akan tetapi, (1) jarang yang memiliki keberanian untuk secara progresif tampil ”melawan arus”, berkorban untuk sebuah idealisme bernilai kerakyatan dan kebangsaan, dan (2) memiliki basis budaya dan massa yang jelas sebagai modal sosial dan back up politik.
Terlambat menyiapkan
Gus Dur merupakan sosok pemikir Islam, aktivis dan pejuang yang tanpa ragu berjuang untuk tegaknya kebenaran dan keadilan, dengan dukungan kapasitas individu dan basis sosial politik yang jelas (yaitu NU); di mana semua itu menjadikannya disegani oleh kekuatan-kekuatan konservatif yang berupaya mengganggu atau menghalanginya.
Kedua, agaknya jajaran NU sedikit terlambat dalam mempersiapkan sosok pengganti Gus Dur.
Barangkali pada saat posisi NU di bawah pengaruh Gus Dur begitu menonjol, para tokoh lain di jajaran NU lebih menikmatinya ketimbang merancang skenario regenerasi atau sirkulasi elite ”dari NU untuk bangsa” secara berkelanjutan.
Gus Dur sendiri, dengan segala kelebihannya, terkesan mencengkeram NU untuk tetap berada di bawah ”kekuasaannya” sehingga secara langsung ataupun tidak langsung menghambat peluang munculnya figur-figur alternatif dari NU. Padahal, di dalam warga NU, tanpa perlu menyebutkan namanya satu per satu, telah dan sedang bermunculan figur-figur terdidik dan potensial yang berpikiran progresif seperti halnya Gus Dur.
Kondisi sekarang ini, tak berlebihan kalau dikatakan bahwa baik NU maupun beberapa elemen bangsa ini tengah berada dalam transisi pencarian figur-figur ”Gus Dur Baru” untuk melanjutkan perjuangannya.
Laode Ida Sosiolog, Wakil Ketua DPD RI, Artikel Ini Pandangan Pribadi
Opini Kompas 4 Januari 2009