03 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Gus Dur, 20 Tahun yang Lalu

Gus Dur, 20 Tahun yang Lalu

Oleh H.A.M. Ruslan
Rapat Redaksi Pikiran Rakyat awal Desember 1989, memutuskan perlunya dipilih "Tokoh Kita Tahun 1989". Rapat memunculkan lima nama yang akan dipilih pembaca melalui 1.000 angket yang disebar. Kelima nama itu (disusun menurut abjad), Abdurrahman Wahid, Aburizal Bakrie, Marzuki Usman, Neno Warisman, dan Susi Susanti. Pembaca diberi hak untuk memilih nama lain di luar lima nama tersebut. Jumlah angket yang masuk 78,1 persen. Perhitungan final menunjukkan, Abdurachman Wahid meraih suara terbanyak. Jadilah Gus Dur sebagai "Tokoh Kita Tahun 1989" menurut pembaca "PR".
Apa komentar Gus Dur tentang hasil pemilihan ini ? 

Dari ujung telefon ia menjawab singkat, "Wah , saya kaget. Namun sampaikan ucapan terima kasih kepada pembaca ’PR’ yang memilih saya."
Beberapa hari kemudian "PR" melanjutkan wawancara.
Tanya: Apa sebenarnya cita-cita anda waktu kecil dulu.
Jawab: Dulu saya ingin masuk Akabri, jadi militer. Namun tidak jadi karena saya pakai kacamata. Cita-cita saya jadi jenderal nggak kesampaian.
Tanya:Sejak kapan Gus Dur pakai kacamata ?
Jawab: Sejak umur 14 tahun. Memang ayah dan ibu saya berkacamata.
Tanya: Kacamata Gus Dur masih mungkin menebal?
Jawab: Wah, mudah-mudahan saja tidak.
Tanya: Omong-omong, bagaimana Gus Dur membagi waktu untuk keluarga?
Jawab: Saya memang dipaksa keadaan. Dengan sendirinya saya mengambil cara sendiri. Yang terpenting, beberapa kegiatan pokok tidak boleh ditinggalkan. Dalam waktu-waktu tertentu saya gunakan untuk keluar rumah dengan anak-anak dan istri. Kelayapan, lihat-lihat dan pada ujungnya makan di restoran. Itulah yang paling pokok.
Saya berusaha sejauh mungkin mengantisipasi kebutuhan mereka. Apakah kebutuhan itu bersifat anjuran atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan mereka di sekolah. Dengan cara ini, mereka akan merasa diayomi.
Saya tidak pernah keras, tetapi tegas. Umpamanya anak saya yang paling tua, kini duduk di kelas III SMA. Saya tidak pernah memberi izin untuk belajar mengemudi mobil. "Kamu harus ambil SIM sewaktu undang-undang membolehkan. Kalau bapakmu ngomong agar taat pada undang-undang, sedangkan kamu belum sampai umur sudah mengemudi, maka itu tidak boleh dan tidak baik." Saya memulai dari keluarga sendiri
Untuk menaati undang-undang, dan mereka taat. Namun hal ini berakibat, saya kecapaian mengantar mereka sekolah. Akhirnya saya mengambil sopir. Dengan demikian, antara kebutuhan mereka dan disiplin yang saya terapkan jadi sesuai. Mereka tahu persis.
Insentif saya kepada mereka tidak pernah secara material. Insentif saya mengarah kepada capaian. Mereka harus harus mencapai capaian-capaian tertentu yang sifatnya juga bisa komersial. Bagi anak saya yang paling gede, banyak tulisan saya yang diketiknya. Saya beri harga per lembarnya. Jadi dengan begitu ia merasa dia mencapai sesuatu, dan capaian itu dihargai ayahnya. Jadi bukan berupa penghargaan kosong dalam bentuk duit. Anak kedua juga melakukan hal yang sama.
Menurut saya, akhirnya mereka akan berkembang menjadi anak-anak yang mengerti apa yang dimauinya, tahu batas-batas kemampuan, tetapi harus berusaha mengerahkan kemampuannya.
Tanya: Setelah cita-cita menjadi jenderal gagal, lalu cita-cita Gus Dur beralih ke mana?
Jawab: Waktu itu saya langsung dihadapkan ke pesantren. Kalau nggak bisa ke sana, ke mana saja boleh.Waktu itu kakek saya (dari ibu) menawarkan agar saya ke pesantren saja. Lantas saya mesantren di Magelang. Beliau sendiri yang mengantarkan saya ke sana. Selain ngaji kitab suci, saya membaca berbagai buku. Memang dari kecil saya punya buku bacaan banyaksekali, dan buku-buku itu saya bawa ke pesantren. Di pesantren keinginan saya untuk menjadi sastrawan tumbuh. Saya bikin puisi. Saya pernah gandrungi puisi.
Namun berbagai pihak menganjurkan agar saya pergi ke Mesir untuk belajar. Saran ini juga datang dari K.H. Saifuddin Zuhri yang waktu itu jadi menteri agama. Saran itu saya ikuti. Alhamdulillah, di Mesir saya belajar agama secara konsepsional. Juga mendalami kaitan Islam dengan kapitalisme, kaitan Islam dengan sosialisme, Islam dengan kebudayaan modern, dan lain-lain. Terpaksa saya mendalami berbagai isme itu, terlepas dari hubungan satu dengan lainnya. Di Irak, karena orang Indonesia diharuskan belajar tentang Indonesia, maka saya belajar tentang sosiologi Indonesia, sejarah Indonesia. Saya merasa mendapatkan kematangan dari belajar itu.
Tanya: Dalam tahap sekarang, apa yang hendak anda capai lagi?
Jawab: Cita-cita saya sejak dulu adalah menjadi salah seorang guru bangsa. Bung Hatta itu guru bangsa kita. Soedjatmoko itu guru bangsa dalam hal pandangan masa depan bangsa kita. Ki Hadjar Dewantoro adalah guru bangsa di bidang pendidikan. Adik saya juga menjadi guru bangsa di bidang agama dan perubahan sosial. Namun, sampai saat ini saya sendiri belum tahu akan menjadi guru bangsa di bidang apa. Ya, itu keinginan saya, yang lain nggak pengen. Itu saja, mudah-mudahan berhasil.
Itulah sekelumit wawancara singkat "PR" dengan Gus Dur, dua puluh tahun yang lalu (A.M. Ruslan, Dari Hari ke Hari Percakapan dengan Sejumlah Tokoh, Granesia, 2000). Sejarah kemudian mencatat, sepuluh tahun kemudian (1999), Gus Dur dilantik sebagai Presiden RI yang ke empat. Bukan hanya sebagai guru bangsa, tetapi lebih dari itu.
Hari Rabu, 30 Desember 2009, K.H. Abdurrahman Wahid dipanggil Sang Khalik, sepuluh tahun setelah "Tokoh Kita Tahun 1989" menjadi presiden. Jasadnya disemayamkan untuk selama-lamanya di Pesantren Tebuireng, Jombang. Ribuan orang mengantarnya. Jutaan orang berselimut duka.
Selamat jalan guru bangsa, semoga benderang memelukmu di alam sana.***

Penulis, wartawan "PR" 1974-2004.
Opini Pikiran Rakyat 4 Januari 2009