Oleh: Mustari Irawan
(Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Siskar ANRI)
Ajaran agama mengatakan bahwa manusia adalah tempatnya lupa. Lupa adalah kodrat manusia. Suatu karakter yang menjadi fitrahnya manusia. Kapasitas mengingat dan memori menyimpan ingatan manusia relatif terbatas. Dasarnya, lupa menjadi karakter manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Lupa menunjukkan adanya keterbatasan sekaligus kelemahan kita sebagai manusia.
Lupa terjadi bukan karena rekayasa yang disengaja dengan niat. Manusia yang lupa tehadap sesuatu bukan karena niatnya ingin melupakan. Lebih karena kita tidak mampu lagi mengingat seluruh peristiwa yang terjadi. Semakin tua usia, semakin besar kemungkinan kita sering lupa. Lupa yang disengaja atau direkayasa untuk melupakan sesungguhnya bukan lupa yang hakiki sebagai kodrat sifat manusia. Lebih merupakan dusta. Karena, ada makna kesengajaaan yang dibangun.
Lupa yang disebabkan kondisi terganggunya daya ingat merupakan suatu penyakit. Penyebabnya dapat berupa gangguan organik atau fungsional. Dampak dari penyakit ini adalah ketidakmampuan membayangkan masa depan. Lupa yang sifatnya kondrati manusia berbeda dengan lupa sebagai suatu penyakit. Tapi, keduanya sama-sama tidak lagi mampu mengingat dengan normal.
Lupa peristiwa
Bangsa kita acap kali mudah melupakan peristiwa yang telah terjadi. Banyak peristiwa sosial, budaya, politik, hukum, dan ekonomi yang terjadi secara diam-diam kita lupakan. Masalah pelanggaran HAM, tewasnya Munir, atau kasus tragedi penghilangan orang, tidak jelas penyelesaiannya hingga kini. Masyarakat pun sepertinya menerima untuk kemudian melupakan.
Problem yang terjadi antara dua lembaga penegak hukum, kepolisian dan KPK, saat ini menjadi sorotan publik yang mendominasi pemberitaan hampir seluruh media massa. Peristiwa ini sangat menyita perhatian kita semua. Tapi, apakah peristiwa ini masih tetap kita ingat di tahun-tahun mendatang? Sepertinya, sama dengan problem hukum besar lainnya yang hilang dalam ingatan kita, problem ini juga akan dilupakan tanpa kita sadari.
Setiap tahun, Jakarta selalu kebanjiran. Apa pun penyebabnya dan siapa pun yang menjadi gubernur, masalah banjir sepertinya tidak pernah tuntas. Selalu saja muncul masalah sama akibat dari banjir. Sepertinya, kita melupakan musibah yang sering terjadi, banjir seperti menjadi rutin. Penanganannya pun selalu saja tidak cepat dan tepat.
Musibah bencana alam yang acap terjadi tidak menjadikan kita siap tanggap dan cepat menanganinya. Penanganan bencana gempa bumi atau tsunami selalu saja terkesan lambat. Padahal, kita punya pengalaman musibah yang banyak. Tampaknya, kita lupa belajar dari musibah yang sebelumnya. Musibah seperti menjadi hal yang biasa dialami. Kalau sudah demikian, kita pun berpikir linear, mencari kambing hitam. Tak ada tindakan preventif atau kuratif yang sifatnya antisipatif untuk membangun manajemen bencana yang tepat.
Lupa janji
Dalam kampanye pemilihan anggota legislatif yang lalu, banyak para kandidat yang memberikan janji dan harapan kepada masyarakat. Sekarang, para wakil rakyat ini sudah menikmati kursi yang empuk dengan segala fasilitasnya. Apakah mereka ini masih ingat dengan janji-janji dalam kampanyenya yang lalu?
Pemilihan presiden dan wakil presiden yang lalu juga semarak dengan janji-janji. Ada yang kadang terkesan tidak realistis dengan kenyataan. Janji dalam kampanye bukan sekadar bermaksud publikasi atau pencitraan diri. Tapi, maknanya lebih merupakan utang yang harus dipenuhi. Program 100 hari presiden dan kabinetnya haruslah berada dalam kerangka tahapan pemenuhan janji itu. Rakyat sendiri jangan sampai melupakan atau membiarkan diri untuk secara perlahan melupaknnya, menganggap apa yang dijanjikan seperti air yang mengalir ke muara untuk kemudian hilang ke lautan.
Saatnya, kini sampai lima tahun ke depan, rakyat harus tetap ingat dan menagih janji para anggota legislatif dan pimpinan nasional untuk memperjuangkan kebutuhan dan hak-hak rakyat. Jangan lagi ada yang berkelit dengan sengaja melupakan apa yang pernah mereka ucapkan. Sangat bijak, barangkali, bila mereka justru mengingatkan rakyat agar tidak lupa dengan janji yang pernah dilontarkan. Sehingga, kita tidak terjebak dalam kebiasaan penyakit amnesia kolektif, lupa secara berjamaah. Apakah memang bangsa kita mudah terkena sindrom amnesia?
Perubahan kultur
Melupakan peristiwa yang penting dalam sejarah perjalanan bangsa kita serta membenarkan dan membiarkan janji para anggota legislatif dan pimpinan nasional itu hilang begitu saja seperti asap, akan menyebabkan kita tidak mampu untuk membayangkan masa depan. Ketidakmauan kita mengingat janji itu akan menyebabkan kita berada dalam kondisi masa depan yang retak dan permisif. Karena, janji dalam kampanye yang lalu merupakan masa silam berisi informasi yang harus dipenuhi dan diwujudkan secara politis dalam kebijakan negara yang berpihak pada rakyat.
Perubahan mindset kita sebagai sebuah bangsa besar yang cenderung mudah melupakan peristiwa masa silam haruslah diubah. Ini dapat dilakukan dengan mengubah kultur lisan dalam masyarakat menjadi kultur tulisan. Rakyat jangan lagi mudah melupakan. Oleh karena itu, semua peristiwa bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara haruslah direkam ke dalam informasi yang autentik dan reliable .
Informasi ini akan menjadi cermin dan memori kita untuk terus mengingat dan mengingatkan mereka yang mengumbar janji dalam kampanye pemilu yang lalu. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan yang telah diundangkan pada 23 Oktober yang lalu merupakan public policy yang akan membangun memori kolektif kita sebagai sebuah bangsa. Hal ini akan menjadikan kita bukan sebagai bangsa yang mengidap sindrom amnesia. Semoga.
Opini Republika 7 November 2009
07 November 2009
(Bukan) Bangsa Amnesia
Thank You!