20 Februari 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Berdemokrasi secara Syariah

Berdemokrasi secara Syariah

DEMOKRASI sebagai suatu metode kini tampaknya sedang naik daun dan dipuja-puja, bahkan oleh banyak tokoh Islam dibahas secara objektif. Sejatinya hal yang menjadi keunggulannya seperti fairness dan egalitarian sudah banyak diperbincangkan sehingga tidak perlu dibahas lagi. Namun sebagai metode sosial perlu dipahami kelemahannya agar bisa diantisipasi untuk diatasi secara bersama-sama.

One man one vote dalam pemilu sebagai suatu praktik esensial dan fragmatis dalam demokrasi, katakanlah pada kualitas pemilu yang amat jurdil sekalipun, ternyata juga masih memiliki cacat sosial, yang bisa mengarah pada keruntuhan sosial. Suatu tatanan sosial yang mayoritas penduduknya lemah, tentu mudah diarahkan untuk memilih tokoh yang tidak berkualitas menjadi pimpinan nasionalnya.

Dalam kepemimpinan tokoh yang tidak berkualitas itu maka KKN bisa makin merajalela dan jumlah orang yang tidak berkualitas makin dominan, sehingga jika 5 tahun berikutnya digelar pemilu pasti dimenangi tokoh yang lebih buruk lagi.

Proses sosial seperti itu berlangsung terus sampai akhirnya hancurlah tatanan sosial bangsa negara oleh keburukan kualitas pemimpinnya. Proses sosial ini sering disebut spiraling down, yang mengantarkan suatu bangsa negara pada kehancuran total, terdisintegrasi, dan berantakan.
Demokrasi menjadi pendekatan sosial politik yang baik bila kualitas mayoritas penduduk memang relatif sudah baik. Artinya masyarakat tahu kriteria pemimpin yang bermutu, dan memilihnya berdasarkan ideologi, bukan karena membeli suara atau karena direpresi oleh kekuasaan. Hasilnya tentu mengarah menjadi negara yang makin kuat dan baik. Proses itu bisa disebut spiraling up.

Kita bisa mencontohkan Amerika Serikat dengan kondisi sosio kulturalnya yang amat diuntungkan oleh proses demokrasi liberal. Mayoritas penduduk berpendidikan SMU ke atas, ekonominya relatif baik, di samping visi sosial penduduknya yang umumnya sekulalistik mampu bergerak ke arah spiraling up.
Secara umum bisa dikatakan bahwa proses demokrasi amat rawan praktik money politic dan power politic, yakni permainan uang dan represi kekuasaan oleh mereka yang sedang menikmati kekuasaannya. Kedua praktik sosial itu sering dilakukan oleh kelompok sosial yang materialistik, tidak berakhlak, dan penguasa korup, gila kekuasaan. Rakyat tidak berdaya dan makin tidak berdaya.

Agenda Lain

Dengan memahami seluk-beluk proses demokrasi seperti ini maka tidak seharusnya negara muslim ikut-ikutan asal teriak demokrasi, tanpa memberi penjelasan pada umatnya akan kelemahan atau cacat metode demokrasi.
Proses demokrasi harus dijalankan dengan kendali ketat agar rakyat memilih pemimpin yang memang baik kualitasnya, yang bila menjadi pemimpin formal dapat menjalankan politik terpuji untuk menyelamatkan bangsa dan negaranya.

Satu kewaspadaan lain yang harus dicermati umat Islam Indonesia, karena sudah pernah dialami oleh umat Islam negara lain dalam mengaplikasikan pendekatan demokrasi, adalah adanya ancaman pengkhianatan terhadap proses demokrasi itu sendiri oleh kekuatan internasional yang sok demokratis namun memiliki agenda lain.
Contoh kasus di Aljazair misalnya, tidak akan pernah dilupakan oleh umat Islam Indonesia, yaitu pemilu yang dimenangi gerakan syariah setelah berpuluh tahun mematuhi ajakan berdemokrasi ternyata habis dalam waktu sehari oleh korps militer berjiwa demokratis dan memaksakan visi sosialnya yang antipati serta paranoid terhadap syariah Islam.

Kalau contoh itu menjadi kenyataan politik universal maka demokrasi sebenarnya adalah perangkap musuh dalam rekayasa politik untuk membendung aspirasi umat menegakkan syariah sosial kenegaraannya. Pasalnya mereka sadar bahwa bila umat Islam berkuasa dan menerapkan syariah sosial kenegaraan islami maka mereka tidak punya peluang mengeksploitasi dan menjarah kekayaan Tanah Air milik umat.

Dengan memahami tujuan gerakan syariah dan substansi syariah sosial yang diperjuangkan itu maka sekarang menjadi jelas bahwa gerakan syariah adalah sesuatu yang wajar dalam kehidupan sosial masyarakat heterogen. Perjuangan tersebut bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, termasuk di Indonesia dan pada saat ini. (10)

—  Hj Wuryanti Koentjoro, guru besar Fakultas Ekonomi Unissula Semarang
Opini Suara Merdeka 21 Februari 2011