19 Desember 2010

» Home » Opini » Suara Merdeka » Wikileaks dan Relativisme Budaya

Wikileaks dan Relativisme Budaya

BELAKANGAN ini dunia digemparkan oleh terkuaknya ribuan nota diplomatik yang dikirim para diplomat Amerika Serikat dari berbagai negara di dunia. Ulah yang dilakukan Wikileaks, situs nonprofit independen yang diluncurkan sejak 2006 dan bermarkas di Stockholm, Swedia menimbulkan kontroversi luar biasa dan ketegangan baru di ranah internasional. Tidak kurang dari Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin dan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva berkomentar dan menggugat ambiguitas negara-negara Barat terhadap kebebasan berekspresi (SM, 13/12/10).  Bahkan ada yang menghubungkan masalah tersebut dengan transparansi dalam rezim informasi  (Kompas, 14/12/10).

Dari perspektif hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi merupakan salah satu tonggak utama dari hak tersebut, dan memiliki posisi penting bagi berbagai hak dan kebebasan lainnya. Tak kurang dari Deklarasi Universal HAM (1948) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Kovenan HAM Sipol) menegaskan pengakuan atas hak tersebut sebagai hak tiap orang.

Dirumuskan bersamaan dengan hak kebebasan untuk berpendapat, secara normatif kebebasan berekspresi merupakan hak tiap orang, meliputi kebebasan mencari, menerima, dan menyebarluaskan segala jenis informasi dan ide, tanpa melihat batasan baik secara lisan, tulisan, maupun tercetak, dalam bentuk seni, ataupun melalui media lain sesuai pilihannya (Pasal 19 Ayat (2) Kovenan HAM Sipol). Dalam hal ini tidak ada pembedaan bentuk media yang digunakan untuk mencari, menerima, dan menyebarluaskannya.

Prinsipnya, semua orang berhak memeroleh dan menyebarluaskan informasi. Masalahnya, adakah batas atau pengecualian yang perlu diberikan agar kebebasan itu  tetap bisa menghormati hak orang lain? Pasal 19 Ayat (3) Kovenan menegaskan, pelaksanaan hak kebebasan berekspresi harus dilakukan seiring dengan kewajiban dan tanggung jawab khusus, sehingga dapat dikenakan pembatasan tertentu.  Pembatasan diberikan dalam bentuk UU dan dilakukan sepanjang diperlukan untuk menghormati hak dan nama baik orang lain, menjaga keamanan negara,  ketertiban umum, kesehatan atau kepentingan moral (kesusilaan). 

Batas Apresiasi

Mengenai siapa yang berwenang memberikan batasan, sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing negara. Setiap negara memiliki ”batas-batas apresiasi” (margin of appreciation) dalam menentukan batasan atau larangan atas sebuah kebebasan berekspresi. Hak negara untuk menentukan batasan ini harus diletakkan pada konteks kewajiban yang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum.

Artinya, masing-masing negara dapat menentukan sendiri pembatasan yang disesuaikan dengan kepentingan nasionalnya. Inilah yang disebut partikularisme atau relativisme budaya, yang memaknai universalitas penerimaan nilai dan ide HAM namun tetap berpijak pada moralitas yang inheren pada watak dasar manusia. Pemahaman ini bisa menjadi peluang bagi tiap negara untuk mengharmonikan antara tuntutan global dan kepentingan nasionalnya.

Dalam konteks itu maka bisa dipahami bila dalam kasus Wikileaks ini Lula da Silva mempersoalkan konsistensi negara-negara Barat terhadap pemaknaan universalisme HAM yang selalu mereka dengungkan sebagai sesuatu yang harus sama di mana pun, baik substansi maupun implementasinya. Faktanya, ketika kepentingan nasional mereka terusik maka bukan lagi universalisme yang menjadi pegangan melainkan tetap mengemukakan kepentingan nasionalnya sebagai yang utama, dengan mengedepankan keamanan negara.

Terminologi keamanan negara memang dapat digunakan sebagai pembatas bagi kebebasan berekspresi, misalnya dengan mencegah masyarakat umum untuk mendapat akses rahasia militer serta rahasia lain seperti dalam hubungan diplomatik atau urusan pemerintahan tertentu. Namun psatnya perkembangan teknologi informasi kini mampu menembus batas teritorial, makin transparan dengan aksesibilitas yang sangat tinggi.

Di satu sisi situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi sistem keamanan nasional negara-negara untuk membenahi dan makin memperketat sistem informasinya agar terhindar dari intervensi dan influensi asing, termasuk merumuskan kembali terminologi rahasia negara. Di sisi lain, kasus Wikileaks makin menyadarkan kita, sesungguhnya publik memiliki akses mengontrol kesewenang-wenangan pemerintah suatu negara sehingga kepentingan hak asasi publik pun akan makin terlindungi. (10)

— Doktor Rahayu SH MHum, dosen hukum dan HAM Fakultas Hukum Undip

Wacana Suara Merdeka 20 Desember 2010